Tapi, di tengah perjalanan pulang, langkah gontaiku mendadak jadi bersemangat kembali ketika tak sengaja mendengar suara khas tungtung terdengar dari kejauhan. Tak berpikir lama, langsung saja saya mencari dimana sumber suara itu. Syukurlah, akhirnya aku bisa menemukanmu, Kang Es Tungtung!
Rejeki Anak Soleh. heheÂ
Kang Es Tungtung yang saya temukan ternyata masih muda, berusia sekitar 40 tahunan. Dia sudah berjualan sekitar 10 tahun, gerobak dan gong es tuntungnya menurut dia merupakan warisan dari bapaknya. Dia meneruskan usaha Bapaknya untuk menghidupi dua orang anak dan seorang Istri.
Di Masa Pandemi ini dia masih berjualan, memang tidak bijak dan cenderung berbahaya kalau kita idealis menuruti kebijakan dan saran dari Pemerintah. Namun menurut Kang Es Tungtung, kalau tidak berjualan, anak dan istri dia mau makan apa?Â
karena tak ingin pusing, saya jawab saja secara kelakar, "ya makan nasi lah, Um! Masa makan pasir!" Hehe.
Oiya, Es Tung-tung ini dia jual dengan harga hanya seribu rupiah per-cone nya. Saya beli dua cone Es Tungtung, jadi total duit dua ribu rupiah perlu saya keluarkan dari kantong sakuku.
Murah sekali, bukan kalau dibanding dengan harga Viennetta?Â
Toh sama saja, kita bisa merasakan rasa nostalgia. Rasa es tungtung ini juga tak kalah enak, malah lebih unik, saya bisa merasakan rasa manis sekaligus asin dalam satu gigitan. Hehe.
Akhirnya, petualanganku memburu es krim- es krim nostalgia dan legendaris menghasilkan akhir yang menyenangkan. Saya pulang dengan membawa perasaan yang Bahagia sekali.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!