Wong Jawa Ora Njawani
Selama puluhan tahun saya lahir dan hidup di tanah Jawa. Ada tiga perkara yang membuat saya merasa gagal menjadi orang Jawa.
Pertama, sampai saat ini saya tidak mampu fasih berbahasa Jawa yang berkasta-kasta. Kemampuan berbahasa bagi orang jawa adalah lambang kesopanan.
Oleh karena itu agar tak dibilang tak tahu sopan santun, Selama ini saya bertahan hidup di tanah Jawa, hanya dengan berbekal lima kata keramat: nggih, mboten, sampun, dereng, dalem.
Kedua, sampai saat ini, saya sama sekali tidak memiliki kemampuan wajib orang Jawa: pandai menentukan arah mata angin. Saya pikir lebih mudah bilang sebelah kiri, kanan, atas atau bawah untuk menunjukkan letak suatu benda.
Tapi entah kenapa Orang Jawa gemar sekali menunjukkan letak benda dengan mata angin Lor, kidul, wetan, kulon.
Saya harus menginstal aplikasi kompas di HP bututku agar tak semakin bingung saat temanku memberi tahu letak kunci motorku yang berada di “mbang kidule lemari”.
Ketiga, Orang jawa suka sekali untuk kumpul-kumpul, “Mangan Ra Mangan Sing Penting Kumpul”, sedangkan saya kebalikannya. Sampai saat ini saya tidak suka kumpul-kumpul.
Dibanding nongkrong di Kafe, saya lebih suka nongkrong sendirian di Kursi Kamar Kos saya sambil memandangi ikan-ikan Guppy yang lincah berenag di aquarium. Temen saya sampai bilang “Koen dadi Wong Kok, Ndekem bae!”
Tetapi, setiap ada orang yang menyindir dan bilang kepada saya sebagai “Wong Jawa Sing ora Njawani”, saya menjawab, bagaimanapun, saya ini masih orang Jawa yang masih njawani.
Buktinya, saya bisa menguasai skill khas orang Jawa: Ora gumunan (tidak mudah heran), ahli Maido (Mencibir) serta saya dapat dengan lancar jika ditantang untuk menyanyikan lagu “Gundul Pacul”.
Tiga skill ini saya kira sudah cukup untuk dijadikan indikator saya tetap sebagai orang jawa yang masih njawani. Setuju atau tidak, Anda tidak usah protes. Hehe
Warga Sewakul, Aja Gumun, dan Refleksi Syair Gundul Pacul
UNGARAN, KOMPAS.com - Rencana pemakaman seorang perawat asal Kabupaten Semarang yang meninggal karena positif corona atau Covid-19 di Taman Pemakaman Umum (TPU) Sewakul, Ungaran Timur, akhirnya berubah. Perubahan lokasi pemakaman ini karena ada penolakan sebagian warga.
Dalam menyikapi peristiwa penolakan pemakaman jenazah seorang Perawat korban wabah oleh warga di suatu Rukun Tetangga di Negeri Sewakul, mungkin anda tidak habis pikir, serta merasa heran mendengar kabar itu.
Sebagai seorang yang suka berpikir, Saya juga sama, tidak habis pikir. Namun sebagai manusia yang lahir dan puluhan tahun hidup di tanah jawa, saya tidak heran sama sekali dengan peristiwa tersebut.
Mbah Buyut saya konon dulu sejak jaman penjajahan adalah seorang pengrajin batu akik dan keris keramat. Salah satu petuah Beliau turun temurun diwariskan kepada keluarga yang menjadi favorit saya adalah petuah “Dadi wong Aja gampang gumun!”.
Dalam menjalani kehidupan, akan banyak peristiwa yang membuat kita merasa terheran. Mulai dari keajaiban yang membuat kagum, hingga keanehan-keanehan yang membuat terpana. Semua itu hanya cobaan. Sebagai manusia “aja gumun”, jangan sampai hal-hal itu membuat kita terlena dan melupakan Gusti Pangeran ingkang Maha Kuasa.
Seorang teman saya merasa keheranan ketika peristiwa tersebut ramai diberitakan. Dia beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian warga Negeri Sewakul itu sebagai peristiwa hilangnya rasa kemanusiaan.
“I see Human, But No Humanity”
Begitulah caption yang dia berikan pada sepotong gambar tangkapan layar berita yang telah saya kutip di atas dalam status whatsapp dia yang artinya kira-kira, “Saya melihat Manusia, tetapi tidak punya rasa kemanusiaan”.
Saya memaklumi sikap yang diambil teman saya dalam memaknai tindakan yang telah dilakukan oleh warga sewakul itu. Bahkan hampir saja saya ikut-ikutan untuk mengeluarkan skill “Maido” tingkat intermediet milik saya.
Tetapi sebagai seorang yang pemikir, setelah dipikir-pikir lagi, saya akhirnya lebih memilih untuk mengambil jalan ninja pendekar yang berbeda dari sikap teman saya itu.
Hasil Bahtsul Masail di Otak saya memberi keputusan bahwa tidak tepat jika saya memaknai kejadian itu sebagai uculnya (terlepasnya) rasa kemanusiaan, tetapi tindakan warga Siwakul menolak pemakaman jenazah adalah sikap wajar yang muncul dari seorang manusia, disebabkan karena ketidaktahuan dan ketakutan.
Mungkin Teman saya itu lupa, selain sifat keramahan yang menonjol, Orang-orang Jawa juga terkenal memiliki sifaf yang polos dan lugu. Apalagi bagi orang kampung, sifat keluguan dan kepolosan (baca: ketidaktahuan) itulah yang sering dimanfaatkan oleh orang-orang “pintar” untuk memberi sugesti berupa ketakutan.
Dalam ketidaktahuan, terkadang manusia akan dengan mudah melakukan tindakan-tindakan apapun untuk menyelamatkan diri mereka saat merasa terancam oleh bahaya.
Saya beranggapan, ketidaktahuan itulah yang membuat sebagian warga di Negeri Sewakul untuk terperdaya oleh hasutan orang yang tak bertanggungjawab sehingga mereka melupakan sifat keramahan (menerima pendatang baru) yang selama ini mereka junjung.
Mereka hanya warga yang ketakutan yang ingin menyelamatkan diri dari sebaran wabah, tetapi karena ketidaktahuan, tindakan mereka tidak menyadari tindakan yang mereka lakukan ternyata salah.
Saat meresapi peristiwa ini, telinga saya seperti mendengar masyarakat Negeri Sewakul hanya sedang menyuguhkan alunan gamelan dan seruling, mereka bernyanyi syair Jawa Gundul Pacul. Mengingatkan saya sebagai manusia, untuk lebih bijak dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, baik sebagai warga biasa maupun sebagai seorang pemimpin.
Gundul gundul pacul-cul, gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar
Gundul gundul cangkul, tidak hati hati
Membawa bakul (di atas kepala) dengan tidak hati hati
Bakul terguling, nasinya tumpah sehalaman
Bakul terguling, nasinya tumpah sehalaman
Syair Gundul Pacul ciptaan R.C. Hardjosubroto yang dalam sumber lain adalah ciptaan dari Sunan Kalijaga tersebut, tersirat makna bahwa dalam membangun kehidupan bermasyarakat yang sejahtera, baik sebagai warga biasa maupun sebagai seorang pemimpin, diperlukan kerendahan hati agar kehormatan masyarakat tidak terlepas.
Syair ini mengingatkan kita, dalam menjalani kehidupan bermasyarakat itu perlu berhati-hati dalam setiap tindakan. "Wakul ngglimpang, segane dadi sak latar". Gegabah sedikit saja akan membuat masyarakat berantakan.
Ya. warga, Pak RT, dan Tokoh Masyarakat di Negeri Sewakul, bagi saya hanya potret dari Syair gundul Pacul. Mereka sedang memberi nasihat kepada kita, bangsa Indonesia. Saya harap apa yang dilakukan oleh warga Negeri Sewakul menjadi pelajaran berharga agar masyarakat di negeri lain tidak mengulangi kesalahan warga Sewakul lagi.
Eling-eling gundul pacul, Aja nganthi Ucul
Memadamkan Amarah dengan Memaafkan
Setiap Manusia memiliki kesalahan. Terus menerus memendam amarah atas kesalahan yang dilakukan oleh manusia lain, saya rasa tidak baik. Kata orang Jawa, "Ora Ilok".
Maka bagi yang masih memiliki amarah kepada tindakan yang dilakukan oleh warga sewakul yang menolak pemakaman pahlawan kemanusiaan kita itu, saya sarankan untuk mengurangi amarah tersebut dengan legowo, memaafkan mereka.
Lagi pula, Pak RT dan Tokoh masyarakat yang dianggap sebagai dalang peristiwa itu sedang menjalani proses hukum untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka. Baca: 3 Terduga Provokator Penolakan Pemakaman Jenazah Perawat Positif Covid-19 Ditangkap
Warga Sewakul yang melakukan penolakan juga sepertinya sudah sangat menyesali, bisa dilihat dari mereka yang mulai khawatir tidak dilayani dalam pelayanan kesehatan mereka, Warga Sewakul Khawatir Tak Dapat Pelayanan Kesehatan Setelah Insiden Penolakan Pemakaman Perawat.
Saya pikir melakukan pengiriman karangan bunga yang satir seperti di bawah ini, hanya akan menambah beban mental para warga Sewakul yang justru akan menambah ruwet urusan.
Memaafkan memang berat, tapi itu tak seberat rinduku padamu. Muehe.
Yuk fokus lagi ke perjuangan kita, perjuangan melawan corona! Musuh kita adalah corona, bukan warga Sewakul.
Jika bersama-sama berusaha, saya yakin corona segera kalah. Dan Kita akan Menang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H