Punya kesempatan bisa meliput di Timur Indonesia bak menemukan emas di tengah jalan. Betapa tidak, menurut saya ini adalah berkah dan keberuntungan.Â
Apalagi rundown yang dikasi itu menunjukkan tempat-tempat yang asing di perbatasan sana. Kebayang betapa adventure dan eksotisnya perjalanan saya nanti. Dan memang benar haaaa.... senangnya!Â
Suka duka itu terlupa dengan hadiah liputan trip ke NTT ini. Kali ini misinya, bersama Australia Aid dan Tifa Foundation, menggali cerita para TKI ilegal yang banyak datang dari NTT.Â
Sesampainya di sana, saya sempet mual karena saya disuapin makanan mulu. Trus saya juga sebelumnya gak bisa tidur di pesawat padahal perjalanan 5 jam. Ga bisa tidur gara-gara terlalu excited huuuu....Â
Setelah makan siang, saya langsung ke rumah seorang ibu yang tinggalnya ibu kota provinsi, Kupang, tapi meski dekat dengan kota, kondisinya masih desa yang serba pas-pasan.Â
Lantai rumah ibu itu bahkan masih berupa tanah tanpa ubin. Tapi jangan salah, di dalamnya ada semangat untuk memberdayakan para wanita yang mungkin bisa meruntuhkan gedung setinggi apapun.Â
Ya, dia berhasil membentuk wadah wanita semacam koperasi sekaligus pengelolaan usaha tenun dan perkebunan yang mampu memajukan kesejahteraan penduduk yang tinggal di sana. Super banget kan si ibu ini.Â
Nah, esoknya kita meluncur ke Atambua, sebuah kabupaten perbatasan dengan Timor Leste. Perjalanan yang ditempuh lumayan jauh dan bikin pegel karena sampai 8 jam. Lumayan kuat tuh drivernya nonstop nyetir dan hanya berhenti di tempat makan siang.Â
Kita juga sempat mampir di So'e yang terkenal dengan alpukatnya yang besar dan bagus banget, enak dan lembut. Para pedagang merupakan penduduk setempat yang berjualan di pinggir jalan tanpa alas kaki sambil bersiri.Â
Nah, sampai di Atambua hari sudah malam, kalau dipikir Atambua masih sangat terbatas kamu salah besar. Sebab sudah ada motel dan kotanya juga seperti desa-desa biasa tidak terlalu tertinggal.Â
Motel terbesar di sana seperti ruko bertingkat tiga, sinyal pun lumayan di sini. Dari Atambua, kita menuju Belu lalu Malaka yang sebagian besar merupakan perbukitan hijau dan mulai kena roaming masuk ke sini. Â
Jalannya pun terjal dan berpasir sehingga kerasa banget adventure-nya. Misi kali ini bertemu dengan mama yang juga berhasil maju dari menjadi TKI legal.
 Dia mengaku berbeda dari tetangganya karena sudah berhasil membangun rumah semi tembok dan sekolah lagi! (terharu). Kebermanfaatannya pun panjang karena dia mengajar dan membagikan ilmu yang dia dapat untuk penduduk desa.Â
Di NTT juga terkenal sama Se'i, masakan berbahan daging babi. Beberapa kali pihak LSM dan wartawan lain menawarkan saya makanan ini, meski mereka tahu saya gak makan babi. Segala cara dikerahkan mereka supaya saya makan, dan akhirnya saya  bete karena ujuk-ujuk terus dan mereka menyerah.Â
Di sini kita juga sempat mampir untuk berfoto dan menikmati hijaunya perbukitan. hmmm... segarnya. Sampai di rumah kedua, Â saya mendatangi seorang bapak mantan TKI yang juga memamerkan prestasinya sebagai sang mantan (lho).Â
Sama seperti sebelumnya, dia berhasil membangun rumah bertembok yang konon hanya dipunyai PNS dan TKI selebihnya penduduk Flores hanya bisa membangun rumah dari papan-papan kayu.Â
Saya juga sempat merasakan sensasi memakan pisang rebus dicocol sambal tomat yang disajikan oleh tuan rumah. Sensasi segar dan asam langsung menyatu dengan pisang yang legit. Hm.... saya lumayan suka. Dan dari semua itu akhirnya saya mengakui saya juga cinta sama Flores. Video serunya bisa dilihat di sini. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H