Dari pelabuhan kita meniatkan diri untuk makan siang karena jarum jam terus bergerak dan sudah lewat tengah hari pula. Perut makin melilit tapi apa daya, kita harus sampai dulu di pusat kota Pangururan untuk mendapatkan pilihan makanan halal. Sebab, di seluruh pinggiran jalan cuma ada babi anjing babi anjing dan begitu seterusnya.Â
Setelah setengah jam, akhirnya kita sampai juga di pusat kota. Kesadaran saya sudah hampir hilang, mau pingsan rasanya setengah hari terpanggang di jalanan Samosir motoran meski berudara sejuk tetap saja tenaga terkuras banyak.Â
Mutar muter entah lah si opung yang satu ini mau bawa ke mana ku tak tahu. Akhirnya, saya putuskan dengan tegas karena semakin tidak jelas untuk berhenti di rumah makan padang. Si opung Sitorus tentu saja lahap makan sementara saya sekuat tenaga menelan ayam besar nan keras yang terhidang di hadapan saya.Â
Dari sini, saya berpikir mau kemana lagi setelah sebelumnya opung sitorus menolak untuk mengantarkan saya ke padang sabana Pusuk Buhit. Alasannya jauh dan di itu juga katanya ga boleh sembarangan karena tempat itu lokasi orang-orang semedi. Padahal saya sebenarnya sudah memaksa agar dia mau singgah sebentar ke sana tapi sia-sia dia tak mau.Â
![Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/06/18/46759998-10213054738547481-4135984095081529344-n-5d08df573ba7f7409d4ba223.jpg?t=o&v=770)
Hingga di suatu kali, ada gerombolan anak-anak datang bergerombol. Saya yang enggak mau jadi garing mengajak mereka berfoto, tak tanggung-tanggung sambil loncat.Â
Opung pun saya ajak untuk foto melompat meski hasilnya fotonya blur wkwkwkwkw... Kami cukup senang menghabiskan waktu disini meski tak ada yang menarik di wisata ini, cuma kehangatan khas masyarakat daerah bikin saya betah. Sepulang dari Toba saya baru tahu ternyata danau ini rupanya penuh muatan mistis. Untung saya enggak kesurupan gara-gara main loncat-loncatan hahaha.Â
![Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/06/18/46700791-10213054736467429-2557522758409912320-n-5d08df4f097f363bc9502122.jpg?t=o&v=770)
Tapi saya gak punya rencana mandi karena gak bawa salin juga dan siapa juga yang mau mandi di jam 2 siang bolong panas menyengat kalau enggak mau gosong kebakar. Makanya saya cuma mengintip saja dan balik kanan, padahal asik sih kalau pagi-pagi mandi air hangat yang alami ini.Â
Dari pemandian, si opung sibuk melihat-lihat destinasi wisata baru di selebaran kertas yang dibagikan. Namanya Pantai Air Tawar Batu Hoda, saya mengintip dan kayaknya memang full dengan spot-spot instagramble. Tapi sebenarnya kita tidak memutuskan ke sana awalnya malah mau ke pantai pasir putih yang ternyata tersebar di sepanjang jalan. Usut boleh usut juga ternyata pantai itu dimiliki oleh warga pemilik sana di sana jadi mereka berlomba-lomba membuka pantai di depan rumah mereka. Karena saya bingung mau pilih yang mana dan kelihatannya tidak semuanya bagus maka saya putusin aja untuk ke tempat di selebaran flyer itu.Â
Sampai di sana ternyata pantai ini tergolong baru dan dikelola oleh pemda setempat jadi kelihatan lebih profesional. Menurut saya, pengelola lumayan jeli memanfaatkan segala yang serba instragramable jadi beberapa spot ciamik banget bersanding dengan latar pegunungan di Samosir meski pantainya tidak terlalu mengkilap dan jernih.Â
Saya tahu opung sudah lemas makanya saya belikan di makanan dan membiarkan dirinya bersantai tanpa saya perlu ribut-ribut lagi minta difoto yang hasilnya saya banya kepotong atau properti lain masuk ke dalam foto wkwkwk. Di pantai ini guide dadakan seperti opung Sitorus masuk gratis dan dapat free drink. Tapi dasar opung Sitorus sangat baik hati maka dia ngejar-ngejar saya tanya apa saya mau difoto terpaksa saya mengangguk deh wkwkw.Â
Tapi sunset di sini lumayan indah dengan angin yang berembus pelan, sampai saya lupa jarum sudah masuk ke jam 6 dan sudah hampir magrib. Buru-buru kami gas untuk kembali pulang ke hotel di Tuktuk. Langit semakin pekat dan tiba-tiba motor pak sitorus berhenti tepat di dermaga yang tak jauh dari lokasi kecelakaan KM Sinar Bangun yang sampai sekarang tak diangkat berikut korbannya.Â
![Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/06/18/46759998-10213054738547481-4135984095081529344-n-5d08df6c3ba7f7701816fe52.jpg?t=o&v=770)
Ternyata bensin habis pak Sitorus pun mendorong motornya untuk gak jauh dari sana ada warung yang menjual bensin eceran. Alhamdulillah. Tapi sungguh saya benar-benar pengen segera keluar dari daerah ini, saking parnonya. Belum selesai dengan ketakutan saya, tiba-tiba opung Sitorus mengeluarkan sapu tangan dan mengikat tangannya. "Lho pak kenapa?" ternyata tangannya sakit akibat jatuh beberapa hari lalu. Duh, jadi merasa bersalah. Saat itu perasaan saya campur aduk dibonceng opung saat malam semakin pekat dan gerimis mulai turun rintik-rintik.Â
Sampai opung meminta saya bernyanyi untuk menghilangkan kebisuan di tengah gelap gulita dan ngebut ini. Sungguh medan yang kami lalui terlampau seram karena terlalu gelap dengan cahaya dari sepeda motor yang minim. Saya mulai bersuara lirih menyanyi lagu kesukaan saya ketika bertualang, Fiersa Besari-Petualangan.Â
Tapi nampaknya suara saya saat itu tertelan angin sehingga tak terdengar. Untung kondisi ini cepat berlalu sejam setelahnya kami sampai yey! Opung singgah sebentar di rumahnya baru mengantar saya ke hotel yang baru. Sungguh, opung ini orang baik dan Samosir dianugerahi dengan banyak orang baik. Keesokan harinya dia juga mengantar saya kembali ke Tomok untuk beli oleh-oleh. Di tempat oleh-oleh pun saya dilepas mesra dengan sebuah pelukan dari kakak kakak yang berjualan. bahkan untuk pamitan saja mereka rela datang dari rumahnya ke toko. Sunggung saya mau menangis terharu kala itu.Â
Opung sitorus pun paling mewanti-saya selama pulang agar hati-hati, sampai di Jakarta masih memberi perhatian bahkan saat momen lebaran kemarin. Ahh... kalau gini gimana ga bisa ga jatuh cintah sama Indonesia dan ornag-orangnya. Karena kemanapun kamu berpijak kamu pasti bertemu saudara yang siap sedia menolongmu. Itu yang selalu saya temukan. Jadi jangan lupa berbuat baik ya guys. Videonya lihat di sini