Sehari setelah saya pulang dari Paniai Papua, jantung saya hampir copot. Apalagi kalau bukan gara-gara kabar tim survei tempat saya dulu liputan diserang KKB.
Sore itu, langit makin membuat perasaan mendung. Telepon dari dia yang di sana membuat saya kesal. Padahal dia cuma bilang sambil nyengengesan,
"Enggak apa-apa semua baik-baik saja. Kami lagi santai-santai di sini,"
Sumpah! ini bukan hal yang patut ditertawakan. Dia pikir saya bodoh apa sampai tidak mempercayai informasi dari kawan jurnalis. Dia pikir ini sepele apa sampai senang ditertawakan.
Mulut saya terus merepet ke sahabat saya yang juga berusaha menenangkan. Saya lempar ke grup kabar itu. Tak ada tanggapan, yang ada saya diomelin karna menyebar hal-hal yang membuat takut anggota lain.
Come on! yang saya butuhkan klarifikasi dan informasi. Bukan kalimat "kami baik-baik saja,". Tapi kedongkolan hanya saya simpan hingga di hari itu sahabat TNI saya di Papua menelpon.
Dering telepon darinya lumayan membuat saya terkejut setelah berhari-hari tak satupun kabar darinya. Ditelepon di reject, dikirimi pesan dibaca saja. hmm....
Setelah telepon saya angkat, dia berbasa basi dulu, tapi saya yang tak mau terlalu lama penasaran akhirnya menggiringnya ke peristiwa kelam itu.
Dan cerita pun dimulai....
Pagi itu, katanya, semua bersemangat untuk survei ke tempat ketiga. Tim dibagi ke tiga desa dan pengawalan saat itu lebih ketat dari hari-hari biasa. Mengingat zona ini adalah zona merah.
Tempat itu adalah Distrik Wagemuka, Paniai. Sahabat saya ini mengaku sudah mendapat feeling tidak enak sesaat sebelum penyerangan.
"Ada warga yang mengatakan di sana aman-aman, kamu tahu gak setiap ada warga yang bilang begitu pasti terjadi sesuatu," kata dia.
Lambat laun, intuisinya menjadi nyata. Tim dipaksa kembali oleh warga yang menolak disurvei padahal daerah mereka yang gelap hendak diberi penerangan. Dia bilang, saat mau kembali dari desa itu, tiba-tiba teman saya dan timnya dikejar dan dikerubungi puluhan orang bersenjata mulai dari pistol hingga parang.
"Saya sudah melihat ada elang terbang yang biasanya akan ada sesuatu yang buruk. Saya ingin tim percepat langkah, namun tim masih saja fokus untuk mensurvei sekitar," ujar dia kecewa.
Dan akhirnya hal yang ditakutkan terjadi, dalam posisi pengepungan seperti ini, anggota TNI yang saat itu hanya beranggotakan 5 orang langsung menempatkan tim survei perempuan di tengah sementara anggota mengitarinya untuk penjagaan.
Untuk menakuti, KKB pun melepas tembakan ke atas dan ke tanah. Suara tembakan ini pun terdengar warga sekitar dan juga tim lain yang tersebar di Wagemuka. Tim ekspedisi lain langsung bergerak, ada yang diamankan di gereja ada yang kembali pos utama.
Para TNI tak mau ambil risiko ikutan menembak sebagai perlawanan karena mereka tahu, akan jadi lebih mengerikan nanti jika ada korban sipil yang jatuh.
Entah bagaimana, tiba-tiba kelompok sipil bersenjata ini merampas senjata prajurit. Aksi tarik menarik terjadi. Sahabat saya dihantam dan ditendangi berkali-kali, dari ujung rambut sampai kaki.
Hebatnya dia yang jago karate ini, tetap berdiri, jatuh, lalu berdiri lagi. Hingga akhirnya menyerah saat popor senjata yang dibawa KKB mengenai kupingnya ngggiiinggg....
Setelah dapat senjata, ancaman pembunuhan masih ada sampai warga datang dan menolong mereka. Warga yang rindu akan pembangunan membela tim survei mati-matian. Disebut-sebut ada juga warga yang terluka akibat melawan.
"Mereka ini orang baik" kata teman saya menirukan teriakan warga.
Setelah negosiasi alot dan keberhasilan merampas senjata serta barang berharga lainnya, KKB pun meninggalkan mereka dalam kondisi selamat meski luka-luka.
Teman saya bercerita kondisinya saat itu sudah tidak 'berbentuk'. Dia bilang jalannya sampai miring karena luka di seluruh wajah dan memaksa dirinya sadar. Menurutnya dia masih beruntung karena temannya lebih parah kondisinya karena terluka di kepala akibat sabetan parang.
Langsung saja, dia lepas jaketnya untuk kemudian dililitkan ke kepala temannya. Dia pun membopong teman yang luka itu.
Aksi heroiknya bukan cuma sampai situ, dia pun berusaha menyemangati tim survei untuk tetap semangat kembali ke pos pertama meski dilanda trauma dan ketakutan.
Bantuan datang untuk mengevakuasi mereka tapi berita terlanjur tersebar. Dia mengaku bahkan keluarga di Nabire sana sudah berkumpul karena ada kabar hoax para prajurit gugur termasuk dirinya.
Sampai di pos pertama, atasan sudah menyambutnya, memberi pelukan dan menguatkan. Disambut demikian, basahlah matanya. Tak tahan berlutut dan menangis.
"Yang saya pikirkan saat itu cuma anak istri saya, saya pikir saya akan mati lalu gimana anak istri saya," sebut dia.
Langsung saja dia kabari istri melalui pesan singkat bahwa dia baik-baik saja. Dan tak perlu ada upacara pemakaman karena semua kabar kematian itu bohong.
Meski selamat, nyatanya ada luka lebih berat yang menghantuinya sepanjang hidup. Apa itu, tungguin kelanjutan ceritanya ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H