Mohon tunggu...
Mustofa WahyuHadi
Mustofa WahyuHadi Mohon Tunggu... Polisi - POLRI

Saya suka menulis tentang hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pluralisme Hukum dalam Sistem Kewarisan di Masyarakat Indonesia

22 Juli 2024   08:16 Diperbarui: 22 Juli 2024   08:23 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pluralisme hukum Indonesia mulai terwujud pada masa Hindia Belanda. Fakta bahwa penduduk asli mengikuti hukum yang berbeda mengharuskan pemerintah Hindia Belanda untuk menegakkan hukum yang sama bagi semua penduduk asli. Persoalan mengenai kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam menerapkan undang-undang yang sesuai bagi masyarakat adat membuat beberapa ahli mencari bentuk hukum yang sesuai bagi masyarakat adat.

Pluralisme hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat Indonesia yang sangat plural dan beragam. Pada era kolonialisme, peran common law dan hukum agama lebih dominan dalam pluralisme hukum Indonesia, namun pada masa kemerdekaan, pluralisme hukum lebih disebabkan oleh peran agama dan negara, hukum pada masa kemerdekaan. 

tidak mendapat legitimasi positif dari negara, namun berbanding terbalik dengan hukum agama UU Perkawinan Indonesia. Menariknya, meskipun hukum adat tidak mendapat legitimasi dari negara, namun hukum adat masih hidup atau terus dipraktikkan pada masyarakat adat di Indonesia.Pluralisme hukum biasanya mengacu pada situasi di mana terdapat dua atau lebih sistem hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Pluralisme hukum mengacu pada lebih dari satu hukum yang diterapkan dalam masyarakat Indonesia (hukum umum, hukum agama, dan hukum Barat) oleh para ahli hukum.

Pluralisme hukum adalah sesuatu yang ada pada segala keadaan, merupakan sesuatu yang diakui secara umum dalam kehidupan bermasyarakat, dimana setiap hukum dan lembaga hukum dalam masyarakat tidak terikat dan berasal dari satu sistem, melainkan berasal dari setiap sistem pengaturan mandiri yang ada. sistem kegiatan di berbagai bidang sosial. 

Kegiatan-kegiatan tersebut dapat saling mendukung, melengkapi, mengabaikan atau menghalangi satu sama lain, dalam hal ini "hukum" masyarakat yang sebenarnya efektif adalah hasil dari proses persaingan, interaksi, negosiasi, dan isolasi yang kompleks dan tidak dapat diprediksi.

Pengaruh teori penerimaan pada zaman Belanda di Indonesia dimana hukum waris masih bersifat majemuk, setidaknya ada tiga sistem hukum yang tetap dilestarikan dan dikembangkan, yang diakui keberadaannya yaitu sistem hukum umum, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat. 

Pada prinsipnya ketiga hukum waris ini sama, yaitu. keduanya mengatur tentang peralihan hak mengenai harta milik putra mahkota kepada ahli waris putra mahkota. Meskipun terdapat perbedaan dalam praktiknya, karena hukum Islam dan hukum suksesi Barat (BW) menentukan syarat kematian, sedangkan hukum adat memiliki sistem suksesi. 

Dalam hukum waris Islam dan Barat (BW), harta warisan dapat dibagikan setelah ahli waris meninggal dunia, sedangkan dalam hukum adat, selama ahli waris masih hidup. Di sisi lain, bersama dengan budaya pergaulan, hukum adat masih mengakar dan berpengaruh kuat di masyarakat. Bahkan, di beberapa daerah di Indonesia, hukum Islam masih bertahan dan menjadi dasar common law.

 

prinsip pokok garis kekerabatan atau keturunan, yaitu:

1. Patrilineal, sehingga menimbulkan satuan keluarga besar seperti marga, marga yang setiap orangnya selalu mengasosiasikan dirinya hanya dengan bapaknya saja. Oleh karena itu, termasuk dalam marga bapak, yaitu menganut sistem patrilineal murni, seperti di negara Batak, atau di mana setiap orang mempunyai hubungan kekerabatan dengan ayah atau ibunya, tergantung pada bentuk perkawinan orang tuanya, dan dengan demikian termasuk dalam marga ayah. milik ayahnya. pernikahan marga atau marga dari ibunya yaitu sistem patrilineal yang berubah-ubah seperti di lampung dan rejang.

2. Matrilineal, yang darinya juga timbul kesatuan-kesatuan keluarga besar seperti marga, suku, yang setiap orang selalu mempunyai hubungan kekerabatan hanya dengan ibu atau ibu-ibunya sehingga termasuk dalam marga dan suku.

3. Parental atau biparental, yang dapat menimbulkan kesatuan keluarga besar seperti suku, kelompok, dimana setiap orang mempunyai hubungan keturunan baik dengan ibu maupun ayahnya.

Gerakan reformasi hukum di Indonesia, yang menggunakan pluralisme hukum sebagai landasannya, telah mengalami kemajuan pesat. Salah satunya adalah pengakuan konstitusional terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk hukum. Ketentuan-ketentuan yang menegaskan berlakunya hukum adat antara lain: Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengesahan, Pelestarian, dan Pembinaan Adat, Adat Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah. Amandemen UUD 1945, hukum adat diakui dalam Pasal 18 B ayat 2 yang menyatakan: Negara wajib mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. dan asas negara kesatuan Republik Indonesia diatur dengan undang-undang banding.

Adanya ambiguitas hukum waris di Indonesia tentu saja membuat para pencari hukum bertanya-tanya hukum waris mana yang paling tepat digunakan ketika timbul permasalahan dalam pewarisan. Biasanya masyarakat kemudian mencari keadilan di lembaga peradilan yang disediakan negara. 

Pada keluarga non muslim atau keluarga muslim yang tidak mau menggunakan hukum waris islam maka menggunakan hukum waris barat atau hukum positif yang berasal dari BW. Masyarakat yang taat hukum adat boleh menggunakan hukum waris adat, sedangkan umat Islam boleh menggunakan hukum waris Islam sebagaimana tercantum dalam Ringkasan Hukum Islam (KHI). Apapun hukum yang disahkan, yang terpenting adalah menegakkan keadilan dan diskresi. 

Walaupun hukum waris masih plural, namun hukum waris menurut hukum waris Islam diberlakukan bagi umat Islam, karena Munawir Zadhzali mulai melakukan reformasi hukum Islam yang menyatakan bahwa pembagian warisan adalah 1:1 antara laki-laki dan perempuan. 

Berdasarkan apa yang dilihatnya dalam keluarganya atau dalam adat istiadat atau budaya Indonesia, hal ini bertentangan dengan Al-Qur'an yang dengan jelas menyatakan bahwa perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Dengan demikian diterimanya hukum adat seperti itu menurut Ushul Fiqh apabila adat tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan qath yang sudah ada dalam Nash.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun