Mohon tunggu...
Mustofa WahyuHadi
Mustofa WahyuHadi Mohon Tunggu... Polisi - POLRI

Saya suka menulis tentang hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pluralisme Hukum dalam Sistem Kewarisan di Masyarakat Indonesia

22 Juli 2024   08:16 Diperbarui: 22 Juli 2024   08:23 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: nursyamcentre.com

1. Patrilineal, sehingga menimbulkan satuan keluarga besar seperti marga, marga yang setiap orangnya selalu mengasosiasikan dirinya hanya dengan bapaknya saja. Oleh karena itu, termasuk dalam marga bapak, yaitu menganut sistem patrilineal murni, seperti di negara Batak, atau di mana setiap orang mempunyai hubungan kekerabatan dengan ayah atau ibunya, tergantung pada bentuk perkawinan orang tuanya, dan dengan demikian termasuk dalam marga ayah. milik ayahnya. pernikahan marga atau marga dari ibunya yaitu sistem patrilineal yang berubah-ubah seperti di lampung dan rejang.

2. Matrilineal, yang darinya juga timbul kesatuan-kesatuan keluarga besar seperti marga, suku, yang setiap orang selalu mempunyai hubungan kekerabatan hanya dengan ibu atau ibu-ibunya sehingga termasuk dalam marga dan suku.

3. Parental atau biparental, yang dapat menimbulkan kesatuan keluarga besar seperti suku, kelompok, dimana setiap orang mempunyai hubungan keturunan baik dengan ibu maupun ayahnya.

Gerakan reformasi hukum di Indonesia, yang menggunakan pluralisme hukum sebagai landasannya, telah mengalami kemajuan pesat. Salah satunya adalah pengakuan konstitusional terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk hukum. Ketentuan-ketentuan yang menegaskan berlakunya hukum adat antara lain: Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengesahan, Pelestarian, dan Pembinaan Adat, Adat Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah. Amandemen UUD 1945, hukum adat diakui dalam Pasal 18 B ayat 2 yang menyatakan: Negara wajib mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. dan asas negara kesatuan Republik Indonesia diatur dengan undang-undang banding.

Adanya ambiguitas hukum waris di Indonesia tentu saja membuat para pencari hukum bertanya-tanya hukum waris mana yang paling tepat digunakan ketika timbul permasalahan dalam pewarisan. Biasanya masyarakat kemudian mencari keadilan di lembaga peradilan yang disediakan negara. 

Pada keluarga non muslim atau keluarga muslim yang tidak mau menggunakan hukum waris islam maka menggunakan hukum waris barat atau hukum positif yang berasal dari BW. Masyarakat yang taat hukum adat boleh menggunakan hukum waris adat, sedangkan umat Islam boleh menggunakan hukum waris Islam sebagaimana tercantum dalam Ringkasan Hukum Islam (KHI). Apapun hukum yang disahkan, yang terpenting adalah menegakkan keadilan dan diskresi. 

Walaupun hukum waris masih plural, namun hukum waris menurut hukum waris Islam diberlakukan bagi umat Islam, karena Munawir Zadhzali mulai melakukan reformasi hukum Islam yang menyatakan bahwa pembagian warisan adalah 1:1 antara laki-laki dan perempuan. 

Berdasarkan apa yang dilihatnya dalam keluarganya atau dalam adat istiadat atau budaya Indonesia, hal ini bertentangan dengan Al-Qur'an yang dengan jelas menyatakan bahwa perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Dengan demikian diterimanya hukum adat seperti itu menurut Ushul Fiqh apabila adat tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan qath yang sudah ada dalam Nash.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun