PENYERGAPAN terduga terorisme yang berakhir dengan eksekusi mati bukanlah kasus pertama. Hampir di setiap penyergapan, selalu ada nyawa terduga melayang. Sehabis para terduga tewas, kemudian diketemukan berbagai macam benda yang disebut barangbukti terorisme, yang tidak berkembang dari masa-ke masa. Pada kasus terakhir di Ciputat, yang paling memprihatinkan barangkali selain soal pembantaian para terduga, juga soal penyitaan Kitab Suci Al Qur’an oleh Densus 88. Pembantaiannya sendiri sudah melanggar HAM, apalagi penyitaan Kitab Suci. Lengkap sudah masyarakat menyaksikan tindakan sadis dan biadab aparat yang berkedok penegakan hukum pemberantasan terorisme.
Pembantaian atau Penegakan hukum?
Pertama, dilihat dari proses peristiwanya, kegiatan aparat di Ciputat bukanlah kegiatan penegakan hukum, melainkan sebagai shock teraphy semata. Bentuk shock teraphy ini, lebih cenderung kepada pembantaian brutal nan sadis, ketimbang penegakan hukum seperti yang diatur dalam Undang-undang. Terutama bagi kelompok yang masih memiliki keinginan berjihad, maupun berkeinginan melawan keinginan Pemerintah dalam hal ini keinginan Pemerintah mengikuti himbauan Amerika Serikat dalam War on Terror (perang melawan teror), maka shock teraphy tersebut sepertinya memang bagian dari program deradikalisai untuk membantu program pemberantasan terorisme global. Sayangnya, yang mengalami kecemasan atas ‘drama’ pembantaian di Ciputat, tentu bukan hanya kelompok garis keras, namun juga semua yang mengetahui peristiwa sadis tersebut. Kalau maunya disebut sebagai penegakan hukum, maka proses penyerbuan brutal lebih dari 9 jam yang berakhir dengan eksekusi mati, bahkan dilakukan bertepatan dengan pergantian tahun ini, jelas bukan kegiatan yang efektif.
Kedua, penegakan hukum jelas tidak dibenarkan jika dilakukan dengan melawan hukum. Pembantaian di Ciputat dan juga pembantaian-pembantaian pada kegiatan pemberantasan terorisme sebelumnya, sering dilakukan kepada pada orang yang masih terduga, yang proses peristiwanya tidak akuntabel. Selain dilakukan tertutup, bahkan dipublikasikan hanya melalui pemberitahuan sepihak dari aparat kepolisian. Informasi sepihak, dalam dunia jurnalisme jelas tidak memenuhi syarat untuk disampaikan kepada masyarakat luas. Meski begitu, karena fakta peristiwanya ada, maka berita ‘penegakan hukum’ tersebut tetap harus disampaikan kepada masyarakat meski kesaksian terhadap transparansi proses kejadiannya tergolong minim.
Ketiga, dengan adanya peristiwa Ciputat, maka mau tidak mau kawasan Ciputat dan sekitarnya, dimana di kawasan itu dikenal sebagai kawasan kampus religius terkenal seperti dengan adanya Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta), STIE Ahmad Dahlan, Yayasan Lentera Hati Pusat Studi Al Qur’an, dan lain-lain, kini menjadi kawasan yang akan sering disebut sebagai kawasan ‘teroris’. Ada apa ini?
Keempat, dengan pembantaian yang dilakukan di Ciputat, maka akan memberi pesan kepada masyarakat luas bahwa kawasan Ciputat yang banyak kampus religius itu, terbukti menjadi tempat subur bagi para terduga terorisme. Karena sebelumnya, di kawasan yang sama juga pernah dilakukan eksekusi mati pada Saifudin Zuhri dan kawan-kawan, serta adanya kasus perampokan toko emas yang diduga dilakukan oleh terduga terorisme. Alhasil, banyaknya istilah terduga, menyebabkan keraguan apakah seluruh peristiwa terorisme di Ciputat selama ini adalah benar-benar kegiatan terorisme yang nyata?
Kelima, jika memang niatnya penegakan hukum dengan meringkus para terduga, Densus pun sudah pasti bisa melakukannya tanpa pembantaian. Peralatan keamanan pertahanan diri yang dimiliki personal Densus tidak ada yang bisa menandingi di seluruh dunia. Sangat canggih dan lengkap. Mulai dari baju anti peluru, helm, sampai decker (peindung siku). Alat deteksi dini berupa robot pengintai, alat penyadap komunikasi canggih di Cyber Crime Investigations Satellite Office (CCISO) pemberian Australia, hingga gas air mata. Dengan banyaknya peralatan deteksi dini serta alat pengintai serta pelumpuh dahsyat, dipastikan tidak ada kecolongan dari pihak Densus. Karena semua bisa diantisipasi dengan baik. Dengan segala kelebihannya, Densus jelas memiliki peralatan yang tidak dimiliki oleh teroris. Oleh karena itu, alasan “adanya perlawanan dan bakutembak terduga” tentu tidak akan lagi terdengar karena semua aktifitas para terduga sudah bisa dideteksi sebelum penyergapan. Kalau hanya bisa membantai, tentu tidak perlu alat-alat itu. Densus cukup membawa senjata serbu, serta bom pelumat. Yang tidak pernah saya dengar adalah, keinginan Densus melumpuhkan terduga menggunakan teknologi sederhana misalnya gas ber-bius. Sederhana sekali.
Kenapa Al Qur’an Disita?
Dari rilis yang dikeluarkan Mabes Polri, ada yang menarik untuk dicermati. Ada 31 item barangbukti, dan diantara semua barangbukti, terdapat banyak item yang tidak jelas keterkaitan barangbukti dengan para terduga yang sudah tewas mengenaskan. Dari sekian barangbukti yang tidak jelas keterkaitannya dengan terorisme, salahsatu adalah adanya 4 (empat) Al Qur’an yang turut disita oleh Densus 88. Penyitaan Al Qur’an ini benar-benar membuat miris, karena bisa berakibat kecurigaan siapa yang berada di balik topeng pasukan burung hantu ini.
Parahnya, penyitaan Al Qur’an oleh Densus 88, bukanlah yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, di Pondok Pesantren Umar Bin Khatab (UBK) Bima, Nusa Tenggara Barat, Densus juga menyita 1 (satu) peti berisi penuh Al Qur’an dalam kasus dugaan terorisme. Semua Al Qur’an yang disita Densus ini jelas untuk diseret ke Pengadilan, dan mungkin untuk selanjutnya, Al Qur’an itu akan dimusnahkan atau disimpan di gudang barangbukti terorisme, dijadikan satu dengan barang-barang kotor lainnya. Jangan lagi ditanya, bagaimana cara dan proses penyitaan Al Qur’an ini oleh aparat.
Penyitaan Kitab Suci jelas pelanggaran berat, baik secara hukum maupun sosial. Tidak ada kaitan sedikitpun antara Al Qur’an dan terorisme. Kalaupun, sekali lagi kalaupun ada penyalahgunaan ayat Qur’an oleh seorang terduga pada masa lalu, tentu bukan dijawab dengan menyita Al Qur’an-nya. Langkah ini sudah pasti langkah biadab, terkutuk, dan bahkan tidak pantas dilakukan oleh manusia, apapun itu jabatannya. Parahnya, penyitaan Al Qur’an tersebut dilakukan di Ciputat dan di tempat lain pada proses penggeledahan di kontrakan para terduga. Apakah dengan demikian Densus dan Polri tidak sadar bahwa tindakannya ini sebagai bentuk penghinaan terbesarnya kepada mayoritas pemeluk agama Islam di Indonesia?
Saya jadi ingat perkataan petinggi BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Petrus Golose saat peluncuran bukunya Deradikalisasi Terorisme di Universitas Indonesia (UI) Agustus 2009 silam. Petrus mengatakan, bahwa kunci kesuksesan deradikalisasi ada 3 (tiga). Pertama, humanis. Dimana pemberantasan terorisme harus menghormati Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, soul approach. Pemberantasan terorisme harus dilakukan dengan komunikasi yang mendidik, bukan dengan kekerasan dan intimidasi. Ketiga, menyentuh akar rumput.
Program deradikalisi dan pemberantasan terorisme harus menyentuh pada semua orang yang ter-ekspose paham radikal. Dari kelimat Petrus, jelas sekali tujuan deradikalisasi dan pemberantasan terorisme bukan membentuk kekerasan baru maupun dengan menghina agama tertentu. Juga harus menghormati HAM, serta disertai komunikasi yang baik. Sayangnya, yang terjadi dalam pemberantasan terorisme saat ini, bahkan sejak awal tidaklah bisa seperti yang tertulis di dalam buku Petrus. Justru terjadi kebalikannya: keras, sadis, dan hina. Jelas, ini ada something wrong.
Bahkan, kalau boleh saya tulis, saking banyaknya something wrong dan kejanggalannya, upaya pemberantasan terorisme justru lebih dekat pada upaya labelisasi terorisme ketimbang pemberantasannya. Banyak orang-orang yang tidak tahu menahu terorisme, tiba-tiba disergap, dianiaya, disiksa, dan sebagian dijebloskan ke penjara hanya karena label terduga tersebut. Baik yang terduga maupun yang ‘terbukti’ di pengadilan, kini telah menimbulkan label-label baru tidak hanya kepada orang-orang terduga tersebut sebagai teroris. Sekali lagi, yang mendapatkan label teroris bukan hanya terduganya, tetapi juga kepada keluarganya, tetangganya, bahkan kawasan terjadinya pembantaian seperti Ciputat.
Fenomena tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan Clarence Schrag (1971) bahwa seseorang menjadi penjahat bukan karena dia melanggar Undang-undang, melainkan karena dia ditetapkan demikan itu oleh penguasa. Wallahua’lam bishawab. #
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H