Mohon tunggu...
Must Itjand
Must Itjand Mohon Tunggu... -

civil servants yang mencoba menggores pena

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sahabatku Ayu

2 Mei 2011   02:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:10 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam ini jam dinding  terasa berjalan pelan menunjukkan lewat pukul 10 malam. Saya sedang duduk menyandarkan  diri,  sedikit   merebah dengan  airphone di kanan kiri telinga , mendengar  alunan lagu-lagu cinta menghantar  dalam lamunan panjang.  Entah mengapa   alunan nada cinta yang mengalun lembut  mengingatkanku  akan  seseorang  yang sangat  gigih mengarungi rona dan roda kehidupannya, teringat ucapannya  saat itu “ Must, kadang kala hidup ini  terasa tidak adil namun kadang kala kita merasa  sangat beruntung “.

Ucapan itu  saat kami berdua  melepas penat seperti hari-hari sebelumnya, tepatnya    dipojokan taman  kota  di kawasan  Kalibata. Saat itu,  sore  akan beranjak malam,  warna  merah semburat  keunguan  menghiasi  langit  yang mulai meredup, semilir angin  menggeser daun-daun  kiring yang berserakan di jalanan taman. Aku  dan dia  duduk berdua di kursi panjang yang  catnya mulai kusam,   aku masih diam saat dia  menceritakan bagaimana  harus  hidup dan mempertahankan  hidupnya.

Dengan memainkan asap rokok  dalam tatapan mata yang   menerawang,  tiba-tiba  “Hari ini begitu melelahkan” keluhnya .

“Kenapa” kataku  sambil  menyulut  sebatang rokok untuk yang  kesekian  kalinya.

“Tiga orang dari  lima orang klien ku seharian tadi cukup rewel ,namun  yah lumayanlah,  hasilnya bisa untuk  menutup biaya  rumah sakit  ibuku  hari ini“  katanya  terus memainkan  asap rokok,  dan sekali-kali meminum   kopi dalam  cangkir plastik yang  kami  beli di warung pojokan  jalan taman.

“Bagaimana kabar adikmu” mencoba aku mengalihkan  perhatian,  karena   ku tahu,  dia begitu sedih bila mengingat  sakit ibunya. Ibunya  telah terbaring lemah di rumah sakit  umum daerah di kamar klas III  sejak  6 bulan  lalu, saat itu,  dikala menyeberang   jalan  sebuah motor menyenggolnya ,  membuat  tidak sadarkan diri  untuk beberapa hari,   dan vonis  dokter mengatakan beberapa saraf di  tulang belakang mengalami gangguan karena  bergesernya beberapa sendi tulang belakang. Saat ini ibunya terbaring  lemah tampa bisa   menggerakkan  kedua  kakinya, dan selalu dalam pengawasan dokter ,  selain terganggunya saraf belakang, juga adanya keretakan tulang paru-paru  membuatnya harus dibantu dengan alat pernafasan.

“Eemm” katanya sambil menghabiskan sisa batang rokok, “Dia baik, sepertinya  tahun depan dia sudah bisa  mendapat gelar sarjananya, untunglah dia mengerti akan keadaan ini, dia memang aku minta untuk  berpikir pada kuliahnya saja bukan yang lain, walau sering dia meminta untuk ikut beekrja,  hanya dialah harapan kami   satu-satunya agar keluargaku tidak dipandang sebelah mata” katanya dengan  nada sedikit pelan.

Aku diam mendengarnya,  kulihat ada secerah  keceriaan di wajah ayunya, wajah dengan  mata bulat dan  pipi yang bersih  berhias  rambut lurus sebahu,  tidak salah bila banyak orang yang menaksirnya, walau  akhirnya banyak pula yang   mundur  hanya karena  mengetahui  bahwa  ada sejarah kelam dalam dirinya.  Kejadian itu 13 tahun lalu saat dia masih  awal berumur  belasan  tahun  tanpa kuasanya dia  dipecundangi  4 orang pemuda desa yang dipengaruhi alkohol, saat itu dia baru pulang sekolah seperti  biasa   dia  harus  melewati  jalan  sepi yang membelah kebun tebu,  entah apa yang ada di benak   4 pemuda yang dia kenal baik  sebagai kakak kelasnya,   secara bergilir merusak martabat  dan harga dirinya.  3 Bulan kemudian  sejak kejadian pahit itu  keluarganya   selalu menahan aib   karena  perut putrinya makin membuncit.  Aib itu   membuat  ayahnya  meninggal dengan  menjatuhkan diri  di derasnya  sungai yang membelah desanya.  Sejak itu pula dia, adiknya yang baru merumur  10 tahun   dan sang ibu  dengan bekal seadanya   merantau kekota. Hidup dalam ganasnya  sebuah kota metropolitan dan mencoba bertahan  dengan  sekeping dua keping  sang ibu    bekerja sebagai tukang cuci pakean.

Sepuluh tahun telah berlalu ,  dan sejak 2 tahun lalu  ibunya sudah tidak bekerja lagi, karena  dia telah menjadi  staff  staff marketing   dalam tim  yang sama denganku, katanya,  hasil kerjanya cukup menopang adiknya kuliah,  dan juga merawat anak semata wayangnya. Namun keadaan berbalik kembali , sejak  ibunya kecelakaan dan  biaya perawatan yang  sangat tinggi.

“Must” katanya, mengagetkan ku.

“Ya…” kataku  menimpali  dengan pelan.

“Kadang kala hidup ini terasa tidak adil, namun kadang kala kita merasa sangat beruntung dibanding yang lain” katanya dengan mata yang masih menerawang.

“Oh ya..” aku   mencoba memaknai  ucapannya.

“Ayu… “ kataku pelan, sambil menggeser duduk   dan mencoba menatapnya, belum sempat aku berucap, dia telah menimpalinya.

“Iya must” katanya  sambil  menatapku juga, kulihat ayu wajahnya, membuat  aku hampir tidak  bisa berkata apa-apa, namun perasaan itu segera aku tinggalkan, karena ku tahu  dia harus dengan lelaki yang  bisa memberinya kedamean  dan kecukupan materi untuk perawatan ibunya. Sedang aku walau  sangat mencintainya, hanyalah seorang    yang bisa bertahan untuk hidup  dalam ganasnya ibukota. Walau hati ini tak kuasa menahan untuk mengucap cinta padanya. Aku selalu menatap  wajah ayu-nya, ceria, sedih dan berpeluh bersama  dalam  kebersamaan untuk mencari dan melayani klien, mengitari ibu kota bersama, berdesak  di padatnya bis kota, dan asal berteduh  dalam guyuran hujan.

“Loh kok jadi diem” katanya sambil  tersenyum.

“Yah …, rasa ketidak adilan atau rasa keberuntungan, itu hanyalah apa yang ada dipikiran kita” kataku sok menggurui, dia tersenyum mendengarnya. Dan saat itu lalu kami  saling diam   hanya memandang  langit yang  mulai  hitam kelabu  dengan kerlip-kerlip bintang  menghiasinya.

Alunan nada-nada cinta masih  mengalun merdu di airphone  yang bertengger di kanan kiri telingaku, tiba-tiba  terdengan bunyi nada dering, dan kubaca dilayar ponsel  “Ayu”, kulihat pesannya , terbaca  “bagaimana kabarnya must, aku saat ini  hamil  sudah berumur 3 bulan,  doakan sehat dan lancar-ya?, anak dan ibuku juga dalam keadaan sehat saat ini , salam  Ayu“, Aku  tersenyum membacanya, syukurlah  2 tahun lalu gadis ayu itu disunting klien premium kami,  seorang   duda  cukup berumur dengan 2 anak yang  beranjak  remaja, dan  dia dan Ayu saling  menyayangi.  Tidak terasa 3 tahun telah berlalu saat aku mendengar dia berucap “kadang kala hidup ini terasa tidak adil, namun  kadang kala kita merasa sangat beruntung”.

“Ayu…, kamu memang sahabat ayuku.” Kataku lirih  sambil menikmati alunan nada cinta.

by must itjand

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun