Kelompok 2 Adhinata Prabaswara, Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) ke-4 Universitas Ahmad Dahlan (UAD) melaksanakan kegiatan Modul Nusantara Kebinekaan ke-3: "Napak Tilas Mataram Islam di Yogyakarta" yang berlangsung di Masjid Gedhe Kauman. Ahad, 31 Maret 2024.
Kegiatan Modul Nusantara ini, mahasiswa mengunjungi langsung Masjid Gedhe Kauman. Dengan tujuan mengenal lebih dekat Indonesia melalui sejarah kerajaan Islam, yakni mengunjungi masjid tertua yang ada di yogyakarta.
Kegiatan ini diawali dengan pengenalan sejarah Masjid Gedhe Kauman oleh bapak Anwar Bustami selaku pengurus Masjid Gedhe Kauman.
"Masjid Gedhe Keraton atau biasa juga di sebut Masjid Gedhe Kauman, yang merupakan salah satu masjid tertua di Yogyakarta setelah Masjid Gedhe Mataram" Jelas Pak Anwar Bustami
Masjid Gedhe didirikan pada hari Ahad Wage 29 Mei 1773 Masehi, atau 6 Rabi'ul Akhir 1187 Hijriah/Alip 1699 Jawa. Pendirian tersebut ditandai dengan candra sengkala yang berbunyi Gapura Trus Winayang Jalma, sengkalan tersebut tertulis pada prasasti di serambi masjid. Masjid Gedhe didirikan atas prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Kiai Fakih Ibrahim Diponingrat selaku penghulu keraton. Adapun rancang bangunnya dikerjakan oleh Kiai Wiryokusumo.
Pada masa awal Kesultanan Yogyakarta, masjid ini juga dipergunakan sebagai tempat untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan hukum Islam, terutama masalah perkara perdata. Pimpinan pengurus masjid adalah penghulu keraton yang berada di dalam struktur Abdi Dalem Pamethakan. Salah satu Abdi Dalem penghulu keraton yang pernah bertugas di masjid ini bernama Raden Ngabei Ngabdul Darwis, kelak dikenal sebagai Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Sebagai Khatib Amin, ia memiliki tiga tugas utama. Memberikan khotbah Jumat bergantian dengan delapan khatib yang lain, piket di serambi masjid, dan menjadi anggota Raad Agama Islam Hukum Keraton.
Masjid Gedhe Kauman juga memperlihatkan Gaya arsitekturalnya yang kental dengan nuansa Kraton menjadi daya tarik tersendiri untuk dijadikan objek wisata atau study tours sejarah bagi pelajar, mahasiswa, ataupun wisatawan lokal maupun asing. Posisi Masjid Gedhe Kauman tidak jauh dari Kraton Yogyakarta, sebelah barat tepat disamping Alun-alun Utara. Secara administrasi masjid ini beralamat di Kampung Kauman, Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
Filosofi tidak pernah lepas dari masjid Gedhe Kauman terbukti dari berbagai ruang, tiang, bahkan ukiran-ukiran yang ada di masjid memiliki filosofi keislaman, yang menjelaskan masjid ini merupakan keberadaan empat pilar utama atau dikenal dengan saka guru dengan atap berbentuk tajug lambang teplok. Tajug lambang teplok itu adalah bentuk atap bersusun tiga. Secara filosofis, tiga tingkatan pada atap mengartikan tahapan dalam menekuni ilmu tasawuf, yaitu syari'at, thareqat, ma'rifat, atau sering disebut sebagai iman, islam, dan ikhsan.
Hiasan pada puncak atap semacam ini disebut sebagai mustaka. Mustaka pada puncak-puncak masjid milik Sultan merupakan stilirisasi dari bentuk gada, daun kluwih, dan bunga gambir. Gada melambangkan keesaan Allah. Daun kluwih mengarah pada kata 'linuwih' atau lebih, yaitu manusia akan memiliki kelebihan jika telah melewati tiga tahapan ilmu tasawuf. Sedang bunga gambir melambangkan arum angambar atau keharuman yang menebar.
Masjid Gedhe Kauman juga memiliki 48 (empat puluh delapan) pilar di yang terdapat dalam bangunan, sementara atapnya terdiri dari 16 (enam belas) sisi dengan tiga tingkat. Bagian-bagian masjid terdiri dari mi'rab atau tempat pengimaman, liwan yaitu ruangan luas untuk jamaah, serambi yang merupakan bagian luar bangunan, dan tempat wudhu. Di dalam Masjid Gedhe juga terdapat ruangan khusus bagi raja ketika hadir di masjid, berada di baris (shaf) terdepan, dikenal dengan nama maksura.
Pemberian materi juga di selingi dengan sesi tanya jawab oleh Mahasiswa dan narasumber yakni bapak Bustami, agar mahasiswa bisa mempertanyakan dari keingin tahuannya setelah mendengar pemaparan pak Bustami.
"Selama masjid ini di ada, apakah pernah masjid ini di renovasi?" Tanya Sheva, selaku mahasiswa.
"Renovasi ada tiga kali. Pertama ketika masjid ini berdiri, atap masjid ini menggunakan alang-alang yang kemudian di ganti dengan sirap, kemudian setelah sirap di ganti lagi menjadi seng merah dan belum di ganti lagi hingga sekarang. Kemudian tahun 1939, lantai yang dulunya batu hitam diganti dengan tegel kembang dan bagian dalam masjid di ganti dengan marmer dari Italia dan belum pernah di ganti hingga sekarang. Pada tahun 1917 dibangun Pajagan (gardu penjaga) di kanan dan kiri regol." Jawab Pak Anwar Bustamin.
Aura salah satu peserta PMM 4 UAD dari Universitas Sam Ratulangi, mengaku terinspirasi setelah mengikuti Modul Nusantara, Kebinekaan-3 terkait "Napak Tilas Mataram Islam di Yogyakarta".
"Pandangan saya setelah mengunjungi mesjid Gede Kauman, jujur aura merasa takjub karena pemandangan di sekitar mesjid juga mesjidnya itu sendiri dan saya juga takjub akan makna/filosofi dari Mesjid Kauman, seperti makna dari tiang dan juga makna dari warna catnya" Tutur Aura
"Pertukar Sementara, Bermakna Selamanya"
Kutipan:
"Kalau orang tak tahu sejarah bangsanya sendiri, tanah airnya sendiri, gampang jadi orang asing di antara bangsa sendiri." (Pramoedya Ananta Toer)
Reporter: Mustikawati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H