"Waktu kamu menerima tugas ini, pertama kali hal apa yang kamu pikirkan?" Zaara kembali bertanya kepadaku.
"Aku ingin menyelamatkan dan membantu mereka yang membutuhkan aku." jawabku yang masih saja diiringi tangis.
"Jika memang iya, apakah kamu tega meninggalkan kami dalam kondisi kacau seperti ini, Ela?" Zaara lagi-lagi meluncurkan sebuah kalimat yang membuatku berpikir dalam.
"Rasa takut, rasa was-was, kami semua juga merasakan hal tersebut, Ela. Itu sudah sangatlah wajar. Tenangkan dirimu terlebih dahulu. Jika memang sudah benar-benar tenang, mari kita berpegangan tangan dan kembali terjun untuk menyelamatkan mereka. Ini waktu yang tepat untuk kita seorang dokter melakukan jihad fisabilillah. Serahkan semuanya kepada Tuhan, Ela. Semuanya, apa yang kita jalani saat ini sudahlah kehendak-Nya. Ini memang sudah menjadi tugas dan kewajiban kita. Ya sudah aku tinggal keluar dulu. Jangan lupa makan. Aku tunggu kamu di depan." Zaara adalah teman terdekatku yang selalu bisa membuatku tenang di keadaan yang tidak kondusif.
Zaara tak pernah gagal membuatku yakin akan hidup yang sudah berada pada porsinya masing-masing. Benar yang dikatakan oleh Zaara. Semuanya memang sudah ada garisnya. Setiap manusia memang sudah mempunyai garis masing-masing. Meski rasa takutku masih tetap bersemayam dalam diri, tapi aku akan tetap teguh membantu mereka. Harapanku tetap sama, "Tolong Biarkan Kami Hidup!".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H