[caption caption="Sumber gambar : abangdani.wordpress.com"]
Sosial media tidak hanya digunakan sebagai sarana silaturahim, saling berkomunikasi dengan kerabat, membangun citra diri, membangun konspirasi antar elit, sarana eksistensi diri, dan banyak lagi lainnya. Selain beberapa fungsi sosial media yang telah saya sebutkan sebelumnya, menurut hemat saya sosial media memiliki perkembangan fungsi yaitu sebagai tempat menghakimi oknum atau orang yang di anggap bersalah. Seperti halnya beberapa kasus yaitu kasus foto Anak SD yang berfoto dengan lawan jenisnya dengan beberapa adegan yang tidak senonoh yang di unggah di akun facebook pribadinya yang menggemparkan jagat sosial media.
Sontak akun facebook anak SD ini diburuh banyak pengguna sosial media dan menuai banyak kecaman. Pengguna sosial mediapun tak hanya sampai berhenti di situ, mereka berbuah menjadi para hakim yang siap menjatuhkan hukuman pada pemilik akun tersebut dengan meng-share akun dan foto-foto bocah SD tersebut. Merekapun tak berfkir bagaimana metal dan psikologis anak SD tersebut yang foto dan akunya di Share. Hal itu dianggap pantas dan bagian dari sebuah hukuman agar menjadi titik jerah bagi pemilik akun tersebut. Tidak berhenti sampai di situ orang tua yang buta akan sosial mediapun dihujat dan dipersalahkan seolah menjadi tersangka dalam kasus ini. Sosial media telah menjadikan hakim-hakim karbitan yang buta akan undang-undang dan hukum yang berlaku.
Sosial media memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, bahkan lebih penting dari pada Al Quran dan kitab suci lainnya, mengapa demikian?. Kita seakan tidak bisa hidup tanpa sebuah sosial media. Sosial media Telah menggeser posisi Al Quran yang semesti kita baca setiap saat dan menjadi bagian dari kita kehidupan kita. Bangun tidur buka sosial media, mau sholat buka sosial media, setelah sholat buka sosial media. Kita sudah tidak sadar sosial media telah menggeser posisi Al Quran yang merupakan pedoman hidup yang seharusnya kita baca setiap saat lebih dari sosial media.
Tidak hanya fenomena hakim karbitan yang mucul akibat sosial media, ustadz-ustadz barupun lantas menjamur di sosial media. Fenomena ini bisa kita lihat dan saksikan diberbagai status sosial media yang ada terlebih pada kasus-kasus yang berhubungan dengan konstelasi politik saat ini. Pengguna sosial media pun soalah muncul dengan dalil dan ayat-ayat Al Quran yang sama. Ayat-ayat Al Qur’an hanya digunakan sebagai alat pembenar dalam menjatuhkan lawan politik lainnya.
Para birokrat yang masih berkubang pada upeti-upeti liar pun mucul dengan statusnya di berbagai sosial media meneriakan pembenaran yang dianggapnya benar. Para politisi pun tidak lantas diam, mereka pun unjuk gigi dengan berbagai argumennya yang suci, sesuci janji-janji yang tak kunjung terealisasi. Akademisi, mahasiswa, kuli bangunan sampai anak-anak muncul dengan status-status yang sama.
Berdalih ingin berdakwah dengan dalil “sampaikan walau satu ayat” mereka pun lantas berteriak lantang, bak tentara jihad yang siap mati di medan laga. Memang mereka menyampaikan “satu ayat” dan benar itu ayat Al Qur’an tapi tidak ditunjang dengan penjelasan yang komperhensif (hukum, hadist yang menunjang, bagaimana asbabun Nuzul, Ababun wurud). Terlebih hanya copi dari status orang yang belum tentu benar pula. Saya sangat yakin bahwa Ayat-ayat dalam Al Quran itu benar, rasional dan sangat menyejukan. Saya teringat bagaiamana pesan bunda saya bernama Suwantin Ismail yang juga tokoh Aisyiyah Kota Malang mengatakan “ketika kamu dalam kondisi yang kalut, buka Al Quran Insya Allah kamu akan medapat pencerahan dan ketenangan”. Tetapi kali ini ayat Al Quran yang ditebar di sosial media digunakan untuk kepentingan konstelasi politik hanya menimbulkan perpecahan dan tidak menenangkan.
Mari kita bersama mengingat bagaimana efek sosial media yang digunakan untuk kepentingan politik pada saat pemilihan presiden 2014, seolah sosial media terbelah menjadi dua. Kawan mejadi lawan, prahara rumah tanggapun terjadi antara suami istri karena beda calon. Saat ini kita rakyat Indonesia di hadapkan dalam kondisi yang sama. Kita dibenturkan pada sektor etnis dan agama, bineka tunggal ika yang menjadi slogan kita bersama menjadi tumbal. Saat ini kita tidak tahu siapa calon gubernur DKI Jakarta, banyak nama yang muncul. Seandainya ada 3 calon yang terdiri dari Calon yang Non Islam, Islam dan Islam.
Saya yakin umat Islam pasti akan terbelah, terpecah dan saling bermusuhan sesama muslim karena beda calon. Kita tak sadar dengan hal itu, atau jika nanti akan ada 2 calon saja yaitu Non Islam dan Islam kita pun akan terpecah karena saya yakin Ahok pun tetap akan bergandengan dengan Islam pula sebagai wakilnya. Genderang perpecahan saat ini sudah ditabuh, dan kita pun telah menjadi bagian yang memukul genderang itu. Sekali lagi kita tak sadar telah masuk dalam perangkap politik adu domba.
Mendadak Ustadz, fenomena inilah yang saat ini terjadi. Terbawa arus yang seharunya kita tidak masuk dalam ranah itu. Mereka yang tak punya hak suara pun lantas ikut ambil suara dengan lantang meneriakan Ayat Al Quran untuk kepentingan politik. Saya sangat tertarik dengan kata-kata Dosen Universitas Muhammadiyah Malang bernama Himawan Sutanto dalam akun facebooknya. Dia berkata “Tafsir bisa saja salah. Jadi jangan paksakan tafsirmu menjadi kebenaran kepada orang lain. Karena kebenaran menurutmu juga datang dari tafsir yang bisa saja salah. Tetapi kalo sudah merasa benar dan memaksakan kepada orang lain dengan tafsirmu. Maka temanmu adalah firaun”(www.facebook.com/himawan.richwan,23 Maret 2016). Mari kita semua berdakwah bersama yang menyejukan, menentramkan memberikan dasar-dasar hukum yang jelas agar dapat memberikan pencerahan bagi Umat, Bangsa dan Agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H