Setelah menerbitkan kumpulan tulisan terpilih selama saya belajar di Eropa—yang diberi judul 10 Bulan Pengalaman Eropa—secara mandiri tanpa label penerbit pada awal November 2012 lalu, saya tergoda untuk menghimpun tulisan-tulisan saya yang lain dan mencetaknya sebagai arsip pribadi. Saya kemudian membuka berkas arsip tulisan saya, dan saya menemukan tulisan-tulisan bertema pendidikan yang cukup banyak. Ada yang berbentuk artikel. Ada pula yang seperti catatan harian. Saya kemudian memilah, menyusun urutan, menatanya secara perwajahan di komputer, dan mencetaknya secara POD (print on demand) untuk arsip pribadi. Melihat wujud bukunya setelah selesai dicetak, saya kok jadi tertarik untuk mengajukan naskah kumpulan tulisan bertema pendidikan yang dalam versi POD saya beri judul Membangun Peradaban Melalui Pendidikan: Kumpulan Artikel dan Esai Pendidikan itu ke penerbit. Saya lalu berpikir soal penerbit yang cocok untuk kumpulan tulisan saya itu. Singkatnya, pada pertengahan Desember 2012, naskah itu disetujui oleh Penerbit LKiS untuk diterbitkan. LKiS mengusulkan agar judul buku diubah karena terkesan terlalu serius. Saya juga punya pikiran yang sama. Maka saya lalu mengusulkan judul yang kemudian disetujui, yakni Sekolah dalam Himpitan Google dan Bimbel. Judul ini saya pikir dapat merangkum tiga persoalan utama yang termuat dalam 30 tulisan saya. Namun, untuk menegaskan, saya mencoba memperjelasnya dalam kata pengantar yang saya buat. Berikut kata pengantar yang saya buat khusus untuk penerbitan buku Sekolah dalam Himpitan Google dan Bimbel. Pengantar Penulis Setelah lebih enam tahun pulang kampung dan bergiat di dunia pendidikan, khususnya sekolah, saya menyaksikan banyak hal yang berubah baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan siswa dan komunitas kependidikan pada umumnya di kampung saya. Rujukan perbandingan saya adalah pengalaman saya sendiri saat menempuh pendidikan dasar dan menengah di kampung halaman saya mulai pertengahan dekade 1980-an hingga tahun 1990-an. Perubahan sosial di kampung saya telah banyak terjadi dalam rentang waktu belasan tahun. Saya masih ingat, awal 1996, telepon masuk ke desa saya dan sekitarnya. Sekitar delapan tahun kemudian, jaringan telepon seluler masuk. Tiga tahun setelah itu, jaringan internet mulai populer. Revolusi teknologi informasi dan komunikasi seperti ini memang semakin meluas ke berbagai pelosok Indonesia beberapa tahun terakhir. Inilah era informasi dan globalisasi. Generasi tua, para pendidik, dan lembaga-lembaga masyarakat, termasuk sekolah, tampak kerepotan dan cukup gagap menghadapi berbagai bentuk perubahan dan dampak nyata dari derasnya arus informasi dan komunikasi. Lembaga pendidikan, seperti pesantren (yang cukup populer di Madura) dan sekolah pada umumnya, menjadi harapan masyarakat untuk menyiapkan generasi yang mampu bertahan dan berkembang dalam situasi perubahan yang begitu dahsyat ini. Masyarakat Madura pada khususnya banyak menaruh harapan yang besar pada pesantren untuk membekali anak mereka dengan moral agama yang kuat. Akan tetapi, dalam pergulatan saya sehari-hari di lembaga pendidikan, termasuk pesantren, saya menyaksikan keakutan yang cenderung terus semakin menumpuk di dalam tubuh lembaga pendidikan itu sendiri. Dari lingkungan pergaulan saya sehari-hari, saya lamat-lamat mendengar lembaga pendidikan yang katanya “menjual murid” demi mendapatkan kucuran dana dari pemerintah. Saya juga menemukan guru yang menggunakan sertifikat atau dokumen palsu untuk mendapatkan tunjangan profesi. Dokumen rencana pembelajaran yang dibuat beberapa guru di sekolah tampak hanya merupakan hasil salin-tempel. Berbagai perubahan di lingkungan pendidikan tampak terlambat diantisipasi. Di rapat-rapat guru dan sekolah, saya kadang menemukan sikap yang amat pragmatis dalam melihat masalah pendidikan. Untuk soal yang terakhir ini, saya kadang menangkap bahwa ini terjadi di antaranya karena arah kebijakan pengurus publik yang memang memaksakan cara pragmatis dan instan digunakan di sekolah. Yang cukup mendasar, saya merasa cukup kesulitan untuk menemukan upaya-upaya pengambil kebijakan di sekolah atau pengurus publik untuk membawa arah pendidikan sebagai upaya antisipatif menghadapi tantangan zaman di masa depan. Kurikulum bisa jadi memang telah berubah. Pada waktu saya dulu menjadi murid, saya mendengar istilah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Beberapa tahun yang lalu, ada istilah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Namun, di lapangan kenyataannya saya cukup sulit untuk menyaksikan perubahan yang cukup signifikan di bidang kurikulum, terutama terkait dengan visi antisipatif pendidikan terkait dengan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan di masa mendatang. Beberapa tampak hanya berhenti sebagai jargon semata. Pengurus publik di jajaran pemerintahan saya tangkap kadang kesulitan untuk menjelaskan visi atau rencana strategis arah pendidikan di wilayah kewenangannya. Mungkin juga di tingkat satuan lembaga pendidikan hal yang bersifat strategis masih amat jarang dibicarakan—entah karena merasa tidak tertarik, tidak penting, tidak tahu, atau enggan berbuat sesuatu. Mungkin juga cara sebagian guru mengajar di ruang kelas pun secara mendasar belum banyak berubah—bisa jadi juga termasuk cara saya mengajar. Tampak bahwa iklim dinamis dan progresif masih agak sulit ditemukan di lingkungan pendidikan, khususnya dalam bentuk yang lebih terencana dan terpadu. Keprihatinan semacam ini sebenarnya ada di benak banyak pihak. Saya sangat yakin bahwa dalam soal ini saya tidak sendiri. Di antara mereka, ada yang kemudian mencoba melakukan sesuatu di wilayah yang paling mungkin mereka lakukan, sesuai dengan besar cakupan lingkaran pengaruh mereka. Perjumpaan saya dengan beberapa guru di tingkat daerah dan regional menunjukkan hal itu. Demikian pula, pergaulan saya di milis Ikatan Guru Indonesia (IGI), sebuah organisasi guru yang banyak melakukan sesuatu untuk peningkatan profesionalitas guru dan mutu pendidikan pada umumnya, memperlihatkan banyak guru yang punya kegelisahan atas arah dan nasib dunia pendidikan Indonesia saat ini. Banyak di antara mereka yang dengan penuh ketulusan dan semangat berusaha melakukan sesuatu di tengah segala keterbatasan yang mereka miliki. Bersentuhan secara langsung dengan berbagai gejala dan peristiwa di dunia pendidikan semacam ini beberapa tahun terakhir di sebuah kampung pedalaman Madura, saya bersyukur bahwa saya sempat membuat tulisan sebagai refleksi, meski mungkin sifatnya amatiran, atas berbagai hal yang saya temui itu. Catatan-catatan yang di antaranya cukup singkat itu beberapa waktu lalu sempat saya himpun sebagai dokumentasi pribadi. Saya pun kembali bersyukur saat Penerbit LKiS Yogyakarta tertarik untuk menerbitkan kumpulan naskah saya ini. Secara tematik, buku ini dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama mendiskusikan visi dan hal-hal mendasar dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Beberapa tulisan mungkin memang membahas hal yang bersifat praktis. Tapi saya rasa ada muatan yang cukup mendasar yang diangkat di dalamnya. Bagian kedua mengulas literasi dan tantangan era informasi, termasuk pembelajaran bahasa. Bagian ketiga mengupas pendidikan lingkungan hidup di sekolah. Ketiga tema ini di satu sisi menggambarkan tantangan sekaligus tuntutan terhadap dunia pendidikan yang menurut saya secara mendasar harus mampu menjawab tantangan zaman dan membawa arah pendidikan untuk semakin tersambung dengan kenyataan dan kebutuhan masyarakat—terutama mereka yang dipinggirkan dalam proses kehidupan sosial. Saya sering merasa sedih saat berpikir bahwa mungkin saja kegiatan sekolah dan kegiatan kependidikan yang lain justru bisa mengasingkan anak didik dari kenyataan dan akar kehidupannya. Dana, waktu, dan tenaga yang telah mereka keluarkan—sebagian dengan susah payah—pada akhirnya mungkin tidak dapat dimanfaatkan secara penuh untuk kepentingan mereka dan komunitas mereka sendiri. Bagian yang membahas tentang pendidikan lingkungan merupakan refleksi saya setelah sekitar lima tahun mendampingi kegiatan peduli lingkungan di sekolah. Saya berkesimpulan bahwa jika diberi sentuhan visi yang mendalam, pendidikan lingkungan di sekolah membuka kesempatan bagi terhubungnya kegiatan kependidikan dengan isu-isu kontekstual—tidak hanya tentang perubahan iklim, tetapi juga soal keadilan, hak-hak warga, dan sebagainya. Isu literasi bagi saya sangat penting diangkat karena hal mendasar dalam perubahan sosial kita saat ini adalah laju era informasi yang melahirkan sejumlah tantangan konkret bagi dunia pendidikan. Kemampuan mencerna informasi secara kritis, memilah dan mengolahnya secara tepat, sangatlah diperlukan. Penjajahan model baru sangat mungkin terjadi jika generasi muda kita tak dapat menggunakan perangkat teknologi informasi dan komunikasi dengan baik sehingga mereka mungkin akan cukup mudah digiring untuk kepentingan kelompok tertentu. Pada tingkat yang lebih jauh, semangat literasi dapat membawa anak didik pada terbentuknya semangat pembelajar yang tak kenal ruang dan waktu. Sejauh ini, saya melihat sekolah kurang berhasil untuk membentuk jiwa pembelajar pada diri generasi muda. Salah satu tandanya, sekolah tampak gagal memberikan bekal keterampilan dan kebiasaan membaca dan menulis secara baik kepada anak didik. Belajar di sekolah belakangan ini cenderung didorong untuk orientasi pragmatis—untuk mendapatkan nilai, naik kelas, lulus Ujian Nasional (UN). Caranya pun cenderung instan. Google dan bimbingan belajar (bimbel) tampak bisa menjadi simbol yang cukup tepat untuk menunjukkan problem pendidikan dan kegiatan kependidikan di sekolah saat ini. Google saat ini digunakan oleh siapa saja dan untuk apa saja. Sayangnya, guru, misalnya, kadang terlalu mengandalkan mesin pencari di internet yang paling populer itu untuk memperkaya bahan pengajarannya. Akibatnya, bahan yang dihimpun masih banyak berasal dari sumber yang dangkal. Saya pikir, mereka yang hampir sepenuhnya mengandalkan internet dan mesin pencari bagi saya tampak belum menjadi sosok pembelajar sejati. Sedangkan tentang bimbingan belajar, saya teringat sebuah laporan penelitian Forum Kajian Sosial Humaniora (FKSH) Yogyakarta yang dimuat di Majalah Basis edisi Juli-Agustus 1997 tentang maraknya lembaga bimbingan tes untuk menyiapkan siswa lulusan SMA ikut seleksi masuk ke perguruan tinggi. Dalam tulisan yang berjudul “Bisnis Kecemasan” itu, diungkap beberapa hal dari fenomena lembaga bimbingan tes yang sekarang juga disebut dengan istilah bimbingan belajar itu. Di antaranya, fenomena itu dipandang menunjukkan kegagalan sekolah untuk memberi bekal kemampuan akademik yang cukup kepada anak didik untuk masuk ke jenjang pendidikan berikutnya. Pada titik ini, lembaga bimbingan tes itu tampak kental dengan orientasi pragmatis. Kurang lebih, ini juga yang terjadi saat kecemasan anak didik harus datang lebih awal dengan adanya UN. Kecemasan menghadapi UN cenderung mendorong sekolah dan guru untuk memberikan model pembelajaran yang arahnya hanya bertujuan agar anak-anak didik bisa menjawab soal dengan baik—seperti yang tampak dalam kegiatan bimbingan belajar. Saya berjumpa dengan beberapa guru yang gelisah dengan kecenderungan ini. Ada yang merasa seperti terjebak pada dilema saat kebijakan pengurus publik cenderung menggiring guru untuk menggunakan model pragmatis ini, sedangkan dia memiliki gambaran ideal yang lain. Persoalan dan tantangan dunia pendidikan semacam inilah yang menurut saya penting untuk terus direfleksikan oleh para pegiat kependidikan dan pengambil kebijakan. Penerbitan kumpulan tulisan ini di antaranya didorong oleh semangat saya untuk berbagi gagasan dan kepedulian tentang masalah-masalah dalam dunia pendidikan. Saya pikir, dengan berbagi, berbagai kekuatan masyarakat, baik perorangan maupun kelembagaan, dapat bergabung dan bersama-sama melakukan sesuatu untuk perubahan yang ujungnya adalah peningkatan mutu manusia dan kehidupan yang lebih beradab. Berbagi dan berefleksi ini menurut saya sangatlah penting untuk terus dilakukan baik secara perorangan maupun kelembagaan. Saya mengucapkan terima kasih kepada Penerbit LKiS Yogyakarta yang telah bersedia menerbitkan kumpulan tulisan ini. Saya juga berhutang budi kepada guru-guru saya yang penuh dengan ketulusan dan pengabdian, terutama yang memberikan pendidikan dan pengajaran di tingkat dasar, sehingga saya sampai saat ini bisa menulis dan berkarya. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua yang selama ini dengan tulus terus memberikan dukungan dalam berbagai bentuk. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah menginspirasi saya dan menjadi guru secara tidak langsung bagi saya sehingga turut mendorong lahirnya tulisan-tulisan dalam buku ini. Kepada semuanya, semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik. Kepada pembaca yang sudi membeli buku ini dan mencerna gagasan-gagasan saya, saya mengucapkan terima kasih. Dari pembaca, saya sangat mengharapkan kritik dan masukan agar gagasan-gagasan saya dalam buku ini pada khususnya dapat lebih teruji, bersinergi, bahkan mungkin mewujud lebih nyata, dan terus berkembang. Semoga perjumpaan gagasan ini dapat melahirkan sesuatu yang lebih baik untuk kehidupan kita dan generasi mendatang. Yang paling penting, semoga buku ini bernilai di sisi Allah swt. Wa mâ tawfîq illâ bi l-Lâh. Guluk-Guluk, 26 Januari 2013 M. Mushthafa Tulisan ini semula ditayangkan di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H