Mohon tunggu...
M Mushthafa
M Mushthafa Mohon Tunggu... lainnya -

Guru SMA 3 Annuqayah, salah satu sekolah di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep. Berlatar belakang pendidikan pesantren, lalu belajar filsafat dan etika terapan. Saat ini, selain mengajar, aktif di pendampingan kegiatan kepenulisan dan literasi serta kegiatan peduli lingkungan di sekolah.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Jam Bumi dan Keadilan Energi

31 Maret 2011   16:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:14 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang akhir pekan lalu, di berbagai media, saya menemukan banyak sekali kampanye untuk ikut serta dalam program Jam Bumi (Earth Hour), yakni aksi memadamkan listrik pada hari Sabtu, 26 Maret 2011 pukul 20.30-21.30 waktu setempat. Aksi ini dimaksudkan untuk mengingatkan umat manusia tentang gaya hidup konsumtif, terutama dalam kaitannya dengan penggunaan energi, yang dalam taraf tertentu berdampak pada nasib dan keberlanjutan bumi.

Sulit untuk dipungkiri bahwa saat ini manusia memang telah mengubah wajah bumi sedemikian rupa. Di Majalah National Geographic Indonesia edisi Maret 2011, ada sebuah tulisan menarik yang menceritakan penelitian para ahli geologi dan stratigrafi tentang dampak aktivitas manusia di abad ini terhadap bumi. Seorang ahli kimia peraih Nobel dari Belanda, Paul Crutzen, menyebut era ini sebagai kala Antroposen untuk menggambarkan besarnya dampak aktivitas manusia di bumi. Memang, para ilmuwan masih sulit merumuskan bukti bebatuan yang akan menjadi rujukan geologis dari era ini, karena efek kala Antroposen lebih banyak bersifat tidak kasat mata, seperti perubahan komposisi atmosfer. Namun, melihat dampak besar yang terjadi saat ini, para ilmuwan itu memandang tak mustahil bahwa manusia bisa menyebabkan terjadinya “kemusnahan massal keenam”.

Dalam tulisan tersebut, digambarkan bahwa untuk mengukur dampak manusia terhadap bumi, kita bisa memasukkan tiga variabel: populasi, kemakmuran, dan teknologi. Nah, dalam kerangka ketiga variabel ini, saya pikir energi memiliki peran yang cukup penting. Dalam kemakmuran dan teknologi, jelas ada energi. Lebih jauh, dari berbagai sumber, kita dapat membaca betapa konsumsi energi kita luar biasa. Di tulisan yang saya sebut di atas juga digambarkan bagaimana perusahaan minyak bekerja mengebor tanpa henti untuk meratakan puncak pegunungan Appalachia untuk menambang batu bara, yang memasok separuh listrik Amerika Serikat. Juga ada foto hamparan ladang minyak South Belridge, California, yang ditemukan pada 1911 dan terus diekspolitasi dan menghasilkan 32 juta barel per tahun.

Jam Bumi, yang dilakukan pada akhir pekan terakhir di bulan Maret, adalah semacam jeda sejenak untuk menekan nafsu konsumtif manusia. Ia diharapkan dapat menjadi pengingat atas kehausan energi yang diumbar oleh manusia.

Saya sangat sepakat dengan ide dasar Jam Bumi yang katanya dicetuskan di Australia pada Maret 2007 ini. Namun, mungkin karena saya dibesarkan dan tinggal di pelosok desa di pedalaman Madura yang cukup sering mengalami pemadaman listrik, ada gagasan-gagasan lain yang muncul dalam pikiran saya sejak pertama berhadapan dengan kampanye masif Jam Bumi tahun lalu. Ide-ide itu semakin ramai berbicara di pikiran saya menjelang akhir pekan yang lalu karena kebetulan tiga bulan terakhir saya mencoba mencatat jumlah pemadaman listrik yang terjadi di tempat tinggal saya.

Saya melakukan ini karena tergerak oleh iklan Perusahaan Listrik Negara (PLN) di beberapa koran nasional pada tanggal 12 Januari 2011 lalu yang di antaranya memaparkan data pemadaman listrik tahun 2010. Di situ disebutkan bahwa di wilayah Pamekasan, sepanjang 2010 terjadi 25 kali pemadaman. Saya pikir, Sumenep termasuk dalam data tersebut. Begitu melihat iklan itu, saya spontan mempertanyakan data yang ditampilkan PLN tersebut. Memang, dalam iklan itu tidak dijelaskan yang dimaksud pemadaman itu apa, berlangsung berapa lama, dan seterusnya. Tapi saya merasa bahwa di daerah saya, listrik begitu sering padam. Karena itu, sejak melihat iklan itu, saya mencoba mencatat pemadaman listrik yang terjadi di wilayah saya. Hasilnya: hingga 26 Maret lalu, listrik padam sudah terjadi 27 kali.

Kalau saya bertanya apa saya perlu ikut serta dalam aksi Jam Bumi jika di daerah saya listrik sudah sering kali padam, ini sama sekali bukan berarti saya tak setuju dengan poin yang mendasari Jam Bumi. Sekali lagi, saya sungguh sepakat dengan nilai-nilai yang mendasari kampanye Jam Bumi. Pertanyaan ini sebenarnya saya munculkan lebih untuk melihat persoalan konsumsi energi ini secara lebih utuh dan menyeluruh.

Ajakan untuk menghemat energi tentulah nilai yang positif. Akan tetapi, penting untuk dicatat bahwa upaya pembentukan gaya hidup hemat energi dengan seruan seperti itu berada dalam kategori personal (environmental) ethic. Menurut saya, berbicara tentang energi, seperti juga isu lingkungan yang lain, kita tak boleh berhenti hanya pada tingkat personal semacam ini. Transformasi nilai yang semata bersifat personal tak akan punya kekuatan yang cukup kuat untuk bisa berdampak luas dalam bentuk perubahan sosial (Nordström, 2008: 133-134).

Harus ada upaya yang lebih luas ke arah kebijakan publik yang mendukung tak hanya pada upaya pembentukan gaya hidup hemat energi, tapi juga pada keadilan energi. Contoh keadilan energi yang paling mudah dicerna tergambar dalam data yang menunjukkan bahwa 23% energi global dikonsumsi Amerika Serikat yang penduduknya hanya 5% dari warga dunia (National Geographic, Detak Bumi 2010).

Gandi R. Setyadi, salah seorang kenalan saya saat di Trondheim, Norwegia, yang pernah memaparkan makalah tentang situasi energi di Indonesia dalam forum Persatuan Pelajar Indonesia Trondheim tahun lalu, menjelaskan bahwa di tahun 2008, 54% energi dikonsumsi oleh sektor industri, 32% oleh sektor transportasi, dan 14% oleh sektor rumah tangga.

Isu keadilan energi ini buat saya menjadi penting tak hanya karena listrik sering padam di wilayah saya, yang berada di wilayah pelosok atau kampung. Bukan hanya karena saya dan para tetangga saya—atau mereka yang kira-kira senasib—tampak mengonsumsi energi lebih sedikit dibanding mereka yang tinggal di Jakarta atau kota-kota besar dunia lainnya sehingga mestinya seruan dan aksi Jam Bumi harus diletakkan dalam proporsi yang lebih tepat.

Lebih dari itu, saya sering mendengar keluhan warga kepulauan Sumenep yang masih tak bisa menikmati keadilan energi di negeri ini, sedang wilayah mereka sebenarnya kaya migas dan telah dieksploitasi. Di Kangean, wilayah kepulauan Sumenep yang berada di arah timur Pulau Madura, misalnya, masyarakatnya masih kesulitan listrik, padahal sejak 1982 di blok migas Kangean telah beroperasi banyak perusahaan migas (Em Lukman Hakim, Harian Surya, 24 Januari 2009).

Sementara seruan aksi Jam Bumi tetap bernilai penting, di sisi yang lain, bagaimanapun, kita juga harus melihat fakta-fakta seperti ini, yang tiada lain menyiratkan adanya ketidakadilan energi.

Sampai di sini saya semakin merasa bahwa upaya yang lebih sistematis, utuh, dan menyeluruh sangatlah penting. Sekali lagi, kebajikan personal tidaklah cukup. Harus ada kebijakan publik yang mendukung. Saya teringat salah satu bagian dalam buku Di Bawah Bendera Asing (LP3ES, 2009) yang ditulis oleh teman kelas saya dulu di Filsafat UGM, M. Kholid Syeirazi. Saya kira saya perlu mengutip langsung bagian yang saya maksud itu:

“Menyerukan penghematan energi merupakan perbuatan mulia, tetapi akan sia-sia jika dia merupakan excuse dari kegagalan mengurus sektor energi. Menyerukan rakyat menghemat BBM, misalnya, tidak akan sinkron dengan kebijakan meliberalisasi industri otomotif yang membuat sektor ini tumbuh dua digit dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, sumber energi di sektor ini nyaris belum terdiversifikasi, dengan ketergantungan pada BBM mencapai 99,9 persen (hlm. 257-258).”

Namun penting pula untuk dicatat bahwa kealpaan atau kelalaian kita dan sejumlah pihak pada aspek keadilan energi ini tak juga berarti bahwa upaya membangun personal ethic di bidang energi berupa langkah penghematan (personal) menjadi tak penting. Jika ada orang yang abai dengan aspek personal ini dengan dasar tuntutan pemenuhan keadilan energi, maka mungkin itu dapat dilihat sebagai bentuk sikap yang salah kaprah dan cari-cari alasan saja.

Kesimpulannya, dua aspek itu sama penting. Dan poin utama tulisan ini sebenarnya hanya sekadar ingin mengingatkan dan menegaskan dimensi yang lebih utuh untuk melengkapi gaya hidup hemat energi, yakni sisi keadilan energi yang musti diperjuangkan oleh semua pihak.

Tulisan ini juga bisa dibaca di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun