Mohon tunggu...
M Mushthafa
M Mushthafa Mohon Tunggu... lainnya -

Guru SMA 3 Annuqayah, salah satu sekolah di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep. Berlatar belakang pendidikan pesantren, lalu belajar filsafat dan etika terapan. Saat ini, selain mengajar, aktif di pendampingan kegiatan kepenulisan dan literasi serta kegiatan peduli lingkungan di sekolah.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Jam Bumi dan Keadilan Energi

31 Maret 2011   16:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:14 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebih dari itu, saya sering mendengar keluhan warga kepulauan Sumenep yang masih tak bisa menikmati keadilan energi di negeri ini, sedang wilayah mereka sebenarnya kaya migas dan telah dieksploitasi. Di Kangean, wilayah kepulauan Sumenep yang berada di arah timur Pulau Madura, misalnya, masyarakatnya masih kesulitan listrik, padahal sejak 1982 di blok migas Kangean telah beroperasi banyak perusahaan migas (Em Lukman Hakim, Harian Surya, 24 Januari 2009).

Sementara seruan aksi Jam Bumi tetap bernilai penting, di sisi yang lain, bagaimanapun, kita juga harus melihat fakta-fakta seperti ini, yang tiada lain menyiratkan adanya ketidakadilan energi.

Sampai di sini saya semakin merasa bahwa upaya yang lebih sistematis, utuh, dan menyeluruh sangatlah penting. Sekali lagi, kebajikan personal tidaklah cukup. Harus ada kebijakan publik yang mendukung. Saya teringat salah satu bagian dalam buku Di Bawah Bendera Asing (LP3ES, 2009) yang ditulis oleh teman kelas saya dulu di Filsafat UGM, M. Kholid Syeirazi. Saya kira saya perlu mengutip langsung bagian yang saya maksud itu:

“Menyerukan penghematan energi merupakan perbuatan mulia, tetapi akan sia-sia jika dia merupakan excuse dari kegagalan mengurus sektor energi. Menyerukan rakyat menghemat BBM, misalnya, tidak akan sinkron dengan kebijakan meliberalisasi industri otomotif yang membuat sektor ini tumbuh dua digit dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, sumber energi di sektor ini nyaris belum terdiversifikasi, dengan ketergantungan pada BBM mencapai 99,9 persen (hlm. 257-258).”

Namun penting pula untuk dicatat bahwa kealpaan atau kelalaian kita dan sejumlah pihak pada aspek keadilan energi ini tak juga berarti bahwa upaya membangun personal ethic di bidang energi berupa langkah penghematan (personal) menjadi tak penting. Jika ada orang yang abai dengan aspek personal ini dengan dasar tuntutan pemenuhan keadilan energi, maka mungkin itu dapat dilihat sebagai bentuk sikap yang salah kaprah dan cari-cari alasan saja.

Kesimpulannya, dua aspek itu sama penting. Dan poin utama tulisan ini sebenarnya hanya sekadar ingin mengingatkan dan menegaskan dimensi yang lebih utuh untuk melengkapi gaya hidup hemat energi, yakni sisi keadilan energi yang musti diperjuangkan oleh semua pihak.

Tulisan ini juga bisa dibaca di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun