Bagaimana mungkin pendidikan dapat berkontribusi pada proses pemiskinan? Bukankah jika demikian yang terjadi berarti pendidikan telah jelas-jelas bertentangan dengan tujuan awalnya, yakni untuk meningkatkan martabat manusia?
Istilah pemiskinan merujuk pada adanya upaya aktif yang berakibat terjadinya keadaan atau status miskin pada individu atau kelompok masyarakat tertentu. Adapun kemiskinan itu sendiri pada dasarnya dapat dilihat sebagai pencederaan atas konsep keadilan sosial yang sejatinya juga menjadi bagian dari cita-cita atau tujuan berdirinya negara.
Namun demikian, dalam situasi tertentu, bisa saja negara mendukung bagi terlembaganya proses pemiskinan di masyarakat, termasuk melalui pendidikan.
Sejauh mengenai institusi pendidikan, kritik Ivan Illich (2000) dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Deschooling Society, amatlah relevan untuk dikemukakan di sini. Illich menegaskan adanya konspirasi antara kapitalisme dan sekolah yang didukung oleh kekuasaan hegemonik negara. Sekolah, seperti juga halnya negara, hanya menjadi pelayan para pemilik modal. Sekolah dalam lingkungan kapitalis sama sekali tidak mengembangkan kegiatan belajar atau mengajarkan keadilan, sebab sekolah lebih menekankan pengajaran menurut kurikulum yang telah dipaket demi memperoleh sertifikat. Sertifikat ini nantinya akan digunakan sebagai alat legitimasi bagi individu untuk memainkan perannya dalam pasar kerja yang tersedia.
Senada dengan Illich, Vandana Shiva juga menegaskan bagaimana institusi pendidikan mempromosikan pendekatan reduksionis yang menjadi paradigma sains modern. Reduksionisme, yang menjadi basis epistemologis paradigma pembangunan (developmentalisme), menampik berbagai pengetahuan lokal masyarakat sebagai suatu mode pengetahuan (Shiva, 1989: 14-26).
Paradigma semacam inilah yang kemudian menjadi landasan kebijakan dan cara kerja banyak lembaga pendidikan di negeri ini, yang pada tingkat tertentu, tanpa terasa, telah juga merasuk ke lembaga pendidikan yang sebelumnya secara mandiri dikelola oleh masyarakat. Dengan iming-iming bantuan dana (pembiayaan) oleh negara, perlahan paradigma semacam ini semakin menguat dan menyingkirkan nilai-nilai lokal yang dimiliki lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat.
Dari sinilah proses pemiskinan melalui pendidikan terjadi. Lebih parah lagi, pemiskinan melalui pendidikan bergerak mulai dari level kesadaran, yakni semenjak dalam pikiran, melalui bagaimana masyarakat memandang apa itu yang disebut miskin. Bersamaan dengan paradigma pembangunan yang dianut negara, kemiskinan kemudian didefinisikan terkait dengan kepentingan kapitalisme. Orang-orang yang telah mencukupi kebutuhan dasarnya secara mandiri dipandang miskin, karena mereka tidak turut serta dalam ekonomi pasar, yakni tidak mengkonsumsi komoditi yang diproduk dan didistribusikan oleh pasar (Shiva, 1989: 10-12).
Jadi, tanpa disadari, masyarakat digiring untuk berpikir dalam kerangka komodifikasi. Kita dapat mengamati bagaimana produk-produk kebudayaan modern perlahan menyingkirkan berbagai khazanah lokal, mulai dari sektor pangan, sandang, dan papan. Padahal, produk kapitalisme yang bersifat monokultur sangat besar berkontribusi bagi pengurasan sumber daya alam dan mengancam keanekaragaman hayati (Aditjondro, 2003: 330-346).
Nah, eksploitasi yang berlebihan yang sudah menubuh dengan semangat kapitalisme ini dan kemudian menimbulkan krisis ekologi saat ini tak mampu untuk dimunculkan dalam kesadaran masyarakat melalui pendidikan karena memang sekolah tidak didorong untuk kritis terhadap aktivitas ekonomi macam ini.
Lebih jauh, kita menyaksikan bagaimana berbagai disiplin ilmu yang diajarkan di sekolah banyak yang tidak lagi berupaya untuk merawat berbagai khazanah pengetahuan lokal yang ada di masyarakat. Ia justru membawa jenis pengetahuan “baru” (yang secara paradigmatik masuk dalam kategori sains reduksionis) yang senapas dengan kepentingan kapitalisme. Pada titik inilah kemandirian masyarakat terganggu, sehingga pada waktu yang sama proses pemiskinan pun berlangsung.
Ancaman pemiskinan ini menjadi cukup serius saat belakangan kita menyaksikan fenomena infiltrasi kekuasaan negara untuk masuk ke berbagai bentuk sistem pendidikan otonom yang dimiliki masyarakat. Misalnya, negara mulai masuk untuk ikut membiayai madrasah diniyah yang ada di pesantren. Yang patut dikhawatirkan, selain tergesernya salah satu nilai utama pesantren yakni nilai pengabdian, adalah tuntutan pengarahan dan penyeragaman dari negara sebagai kompensasi dari pembiayaan tersebut.