Hujan turun deras saat Roni melangkah di jalanan yang berlumpur. Petir menyambar di kejauhan, memantulkan bayangannya di genangan air. Sesekali, Roni menolah ke samping kanan dan kiri melihat sawah-sawah yang dulu hijau kini sebagian kosong, warung di dekat balai desa sepi, dan pemuda yang dulu sering nongkrong di pos ronda entah ke mana.
Di depan warung kopi satu-satunya yang masih buka, ia melihat wajah familiar. Bagus, sahabatnya sejak kecil, duduk dengan secangkir kopi di tangan.
"Roni?" Bagus terkejut melihatnya.
Roni tersenyum, duduk di seberangnya. "Lama nggak ketemu, Gus. Gimana kabar?"
Bagus menghela napas. "Gini-gini aja. Aku masih di sini, tapi kayaknya nggak lama lagi."
"Mau ke kota?" Roni menebak.
Bagus tertawa kecil, pahit. "Iya. Udah lama nganggur, Ron. Sawah sepi, kerjaan susah. Aku nggak bisa terus-terusan begini."
Roni menatap secangkir kopi di tangannya, berpikir sejenak. "Tapi kalau semua pergi, siapa yang bakal ngurus desa ini?"
Bagus mengangkat bahu. "Kepala desa juga bingung, Ron. Mau bikin lapangan kerja, tapi gimana? Orang hasil tani aja kadang nggak laku. Kita udah coba bertahan, tapi sampai kapan?"
Roni terdiam. Ia tahu Bagus tidak salah. Desa ini menghadapi banyak tantangan: pemuda pergi merantau, lahan pertanian ditinggalkan, bencana banjir makin sering datang, dan listrik sering padam.