Mohon tunggu...
Musthofa Asrori
Musthofa Asrori Mohon Tunggu... -

Mahasiswa UIN Jakarta, Peneliti di Ciganjur Centre. Penulis lepas di berbagai media cetak nasional. Pemimpin redaksi majalah TRIAS Politika.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gelar Pahlawan Kesiangan

17 November 2012   06:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:12 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: A Musthofa Asrori

Pemimpin Redaksi majalah Trias Politika

Setiap jelang peringatan Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November tiap tahunnya, selalu ada pemberian gelar pahlawan nasional kepada orang-orang yang dianggap berjasa kepada bangsa dan negara. Sayangnya, untuk tahun 2012 ini, gelar pahlawan nasional hanya diberikan kepada kedua proklamator: Soekarno-Hatta.

Padahal, tahun 2011, setidaknya ada tujuh orang yang ditahbiskan sebagai pahlawan “baru” nasional. Sebetulnya, bukan baru menjadi pahlawan, namun maksudnya baru diakui bahwa beliau-beliau adalah pahlawan nasional. Ketujuh pahlawan tersebut adalah: 1) Mr Sjafruddin Prawiranegara, 2) KH Idham Chalid, 3) Buya Hamka, 4) Ki Sarmidi Mangunsarkoro, 5) I Gusti Ketut Pudja, 6) Sri Susuhunan Pakubuwono X, 7) Ignatius Joseph Kasimo.

Kesiangan

Mengapa pemerintah terkesan lamban dalam menetapkan gelar pahlawan kepada seseorang yang dipandang berjasa bagi bangsa dan negara? Bukankah negara yang besar adalah negara yang (cepat dan tepat) menghargai para pahlawannya? Mengapa pula baru sekarang Bung Karno dan Bung Hatta mendapat gelar pahlawan nasional? Deret pertanyaan itulah yang hingga kini masih bergelayut di benak publik. Bagi penulis, gelar yang telat ini justru membuat pemerintah digelari pahlawan kesiangan.

Ketika perang fisik telah usai dan negeri telah damai, pertanyaan baru juga muncul kemudian, di mana posisi pahlawan sekarang? Masih perlukah kita akan sosok pahlawan? Jangan-jangan kita tak lagi butuh pahlawan. Justru yang kita butuhkan adalah tindakan-tindakan kepahlawanan di zaman yang karut-marut ini, sebagaimana ramalan Ronggowarsito dalam “Zaman Edan”.

Sebagaimana dirilis merdeka.com, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie menyatakan pendapatnya terkait gelar pahlawan yang baru diberikan kepada Bung Karno dan Bung Hatta setelah 64 Indonesia merdeka. Kedua orang ini seperti diasingkan saat pemerintahan zaman Orde Baru. Menurut Jimly, hal tersebut disebabkan pada dampak tercemarnya nama Soekarno dalam pemberontakan G-30-S/PKI. Soekarno diduga terlibat dalam pemberontakan yang menewaskan beberapa Jenderal tersebut.

Bahkan, dugaan keterlibatan Soekarno tertulis dalam pertimbangan TAP XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno. Namun, pasca-penganugerahan gelar pahlawan tersebut, rasanya tak perlu lagi muncul polemik soal Ketetapan MPRS itu. Pasalnya, mantan Presiden Soekarno memiliki jasa-jasa yang besar laiknya pahlawan nasional lainnya.

Hingga ditetapkannya sang dwi tunggal sebagai pahlawan, Indonesia sudah memiliki 156 pahlawan nasional. Jumlah ini merupakan kumpulan dari berbagai gelar pahlawan yang nomenklaturnya selalu berubah sejak dilakukan pemberian gelar ini pada tahun 1959 oleh Presiden Soekarno. Setidaknya ada enam gelar yang pernah diberikan sebelumnya: 1) Pahlawan Perintis Kemerdekaan, 2) Pahlawan Kemerdekaan Nasional, 3) Pahlawan Proklamator, 4)Pahlawan Kebangkitan Nasional, 5) Pahlawan Revolusi, dan 6) Pahlawan Ampera. Sayangnya, lantaran terkait status yang masih debatable hingga kini, Pahlawan Perintis Kemerdekaan dan Pahlawan Ampera tidak dimasukkan ke dalam daftar tersebut.

Nah, untuk menyelaraskan gelar-gelar tersebut lahirlah gelar baru yang mencakup semua jenis gelar yang pernah ada, yakni Pahlawan Nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009.

Gelar dari rakyat

Tiga tahun silam, pasca-wafatnya Presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bangsa ini kembali diramaikan oleh beragam usulan, aspirasi, dan tuntutan hingga berujung sebuah desakan untuk menetapkan Gus Dur sebagai pahlawan nasional. Keinginan tersebut muncul dari segenap komponen bangsa. Mulai dari partai politik, organisasi masyarakat, cendekiawan, ulama, pemuda, hingga kaum perempuan. Bahkan mereka yang aktif di media online pun tak mau ketinggalan.

Semua satu kata, Gus Dur sangat layak dan pantas ditahbiskan sebagai pahlawan nasional. Di tempat terpisah, muncul pula kehendak yang sama menjadikan Presiden kedua RI HM Soeharto (Pak Harto) sebagai pahlawan nasional. Aspirasi ini wajar saja. Pasalnya, banyak pendukung setia Pak Harto yang berargumen bahwa sang “bapak pembangunan” ini juga amat layak dikukuhkan menjadi pahlawan.

Penguasa orde Baru itu disebut-sebut “keramat gandul” kepada Gus Dur. Artinya, sebagai sesama mantan presiden, berharap diperlakukan yang sama. Padahal semua tahu, bahwa Pak Harto sebagaimana pernah diungkapkan Gus Dur, jasanya amat besar bagi bangsa ini walaupun dosanya juga besar. Inilah yang membedakan antara Gus Dur dengan Pak Harto. Sudah tentu, Gus Dur telah menjadi pemimpin ormas NU selama 15 tahun sebelum menjadi presiden. Sebelum itu pun Gus Dur telah memberikan inspirasi bagi anak bangsa melalui tulisan-tulisannya di media massa pada era ‘70-an.

Pada titik ini, penganugerahan Gus Dur sebagai pahlawan jauh lebih didukung dari pada Soeharto. Sayangnya, hingga kini gelar bagi Gus Dur tak jua terbukti. Padahal, sebagaimana dilansir mediaindonesia.com, Gus Dur telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional sejak 1 Oktober 2010. Hal ini dikatakan oleh Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang mengaku mendapat kepastian tentang hal itu dari Kementerian Sosial. (5/10/10).

Artinya, berita tersebut hanya isapan jempol belaka. Toh, Gus Dur tak membutuhkan gelar pahlawan. Mestinya pemerintah dan bangsa Indonesia yang merasa perlu memberikan gelar tersebut. Gus Dur tak butuh apa-apa. Baginya, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Setidaknya itulah yang sering Gus Dur katakan kepada siapapun. Dengan demikian, rasanya kita tak perlu lagi mempersoalkan gelar tersebut. Masih banyak yang bisa dilakukan bagi bangsa ini daripada sekedar menjadi seorang pahlawan kesiangan. Bagaimana pendapat Anda? (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun