"Hidup ini ibarat lima buah bola yang melayang di udara. Kelima bola itu kita namakan pekerjaan, keluarga, kesehatan, teman dan jiwa yang semuanya melayang di udara. Sebentar lagi kalian akan mengenal bola karet bernama pekerjaan. Jika jatuh, bola ini akan langsung melambung lagi ke atas. Namun, keempat bola lainnya, yaitu keluarga, kesehatan, teman dan jiwa terbuat dari kaca. Jika salah satunya jatuh maka akan pecah, tergores, tidak bisa dipakai atau bahkan hancur berkeping-keping. Tidak akan sama lagi seperti sebelumnya. Maka sadarilah itu dan berusahalah untuk menjaga keseimbangan dalam hidup kalian."
Paragraf di atas adalah pidato Ex CEO Coca-Cola, Brian G. Dyson di dalam acara wisuda di sebuah universitas ternama.
Dunia kerja beserta hiruk-pikuknya seakan tidak menawarkan work life balance di dalamnya.Â
Dunia kerja seakan adalah suatu perlombaan. Korporasi melawan korporasi, dan tiap individu berlomba-lomba menggapai puncak karier di tempat bekerjanya masing-masing.
Lazimnya, jam kerja yang ditetapkan adalah pukul 08.00 - 17.00, hari senin s.d jumat. Namun, di tengah ketatnya perlombaan, hal itu amat jarang berlaku.
Hal yang lumrah terjadi adalah, tiap hari sesampainya di rumah (di luar jam kerja) tidak jarang kita masih harus membahas pekerjaan via grup WhatsApp.
Ketika bercengkerama dengan keluarga pun tidak jarang pikiran kita justru sedang berada di kantor. Akibatnya, quality time dengan keluarga menjadi tidak optimal.
Akhir pekan adalah waktu ideal untuk merefresh dan merecharge kembali fisik dan mental kita. Alih-alih, kita justru mengikuti sesi training atau kopdar komunitas profesi kita. Semua demi perlombaan yang ingin kita menangkan.
Wajar jika kemudian Brian G. Dyson memberikan wejangan di atas. Jangan sampai untuk mengejar sebuah bola, kita melupakan keempat bola lainnya.
Hustle CultureÂ
"Ingin istirahat, tapi merasa bersalah karena orang lain kerjanya non stop, sabtu-minggu pun dipake kerja".
"Pengennya pulang tepat waktu jam 17.00, tapi kalo dicap malas oleh atasan gimana?".
Kita berupaya untuk terus kerja dan menjadi lebih produktif, hingga merasa bersalah jika mengambil waktu istirahat.
Hustle culture adalah sebuah fenomena yang mendorong individu untuk terus bekerja keras, kadang-kadang melebihi batas keseimbangan hidup, demi mencapai kesuksesan dan produktivitas yang tinggi.Â
Hal ini sering kali dianggap sebagai cara untuk mencapai tujuan, namun juga dapat menyebabkan dampak negatif pada kesehatan mental dan fisik.
Circle Hustle Culture
Berikut adalah beberapa hal yang dapat menjadi indikasi bahwa kita sedang berada di circle hustle culture:
- Ketika kita merasa bahwa orang-orang yang kerja keras tanpa kenal waktu dan istirahat dipuji, sedangkan orang-orang yang memperjuangkan work life balance dianggap kurang rajin.
- Kehilangan hubungan sosial: Ketika kita mengabaikan waktu bersama keluarga, teman, atau aktivitas sosial karena terlalu fokus pada pekerjaan.
- Membanggakan sedikit tidur di malam hari: Ketika kita menganggap kurang tidur (sering lembur) sebagai simbol dedikasi pada pekerjaan.
- Perasaan terjebak: Ketika kita merasa sulit untuk keluar dari lingkaran kerja keras dan terjebak dalam rutinitas tanpa akhir.
- Kehilangan minat pada hal-hal yang disukai: Ketika kita mengorbankan hobi atau minat pribadi karena terlalu sibuk dengan pekerjaan.
- Mengukur kesuksesan dari pandangan orang lain: Ketika kita terlalu bergantung pada persetujuan atau pengakuan dari orang lain untuk merasa sukses.
Bagaimana Sebaiknya?
Bekerja keras demi karier yang lebih baik tentu adalah suatu hal yang patut diperjuangkan. Namun, perlu selalu diingat bahwa karier (pekerjaan) hanyalah satu dari lima bola dalam hidup yang perlu dijaga.
Ketika keempat bola (keluarga, kesehatan, sosial, hidup) lainnya dapat kita jaga dengan baik, tidak mengapa jika kita melentingkan bola karet (pekerjaan) setinggi mungkin.
Namun, jika ada satu atau lebih dari keempat bola tersebut yang hampir terjatuh, maka itulah saatnya untuk sejenak mengabaikan bola karet. Ketika terjatuh, ia akan bangkit lagi. Berbeda dengan bola-bola lainnya, yang apabila terjatuh, tak kan bisa kembali lagi seperti semula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H