Saya ingat pernah membaca satu postingan di IG. Ada seorang lelaki yang depresi karena ditinggal menikah oleh gadis yang sudah dibersamainya selama lebih dari 5 tahun.
Selama berpacaran, si lelaki ini benar-benar berkomitmen terhadap sang gadis. Bahkan ATM miliknya, diberikan kepada pacarnya itu.
Sampai suatu ketika, sang gadis memberitahunya bahwa ia akan menikah dengan lelaki lain.
Kabar yang tentu saja bagai bak petir di siang bolong bagi si lelaki.
Patah hati ditinggal wanita pujaan hati membuatnya terluka begitu dalam. Sampai-sampai, ia menangis memeluk pusara mendiang ibunya di pemakaman. Foto itulah yang kemudian viral di IG.
Rasa cinta dan pengorbanan, di balas dengan pengkhianatan. Barangkali itulah hal yang dirasakan oleh pemuda itu.
Semoga saja, saat ini, ia baik-baik saja.
Mentalitas Korban
Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak memiliki masalah.
Hanya saja, ada masalah yang menimpa diri kita namun bukan disebabkan karena kesalahan yang kita lakukan.
Kisah di atas adalah contohnya.
Sebagian orang memposisikan diri sebagai korban (victim mentality). Mereka menolak untuk bertanggung jawab karena itu bukan kesalahannya.
Itu kesalahan orang lain.
Hal itu memang akan membuat perasaan menjadi lebih baik untuk sementara. Namun, seiring berjalannya waktu, yang muncul hanyalah rasa tak berdaya dan putus asa.
Mereka cenderung bersikap pasif, tidak berinisiatif untuk membuat perubahan.
Mereka nyaman dengan posisinya sebagai korban. Mereka menunggu sang penyelamat - yang entah kapan - akan hadir memberikan jalan keluar dari permasalahan mereka.
Sebuah sikap yang tidak tepat.
Solusi
Sadarilah bahwa kita memang tidak bisa mengendalikan hal-hal apa yang akan terjadi pada hidup kita. Namun kita selalu bisa mengendalikan cara kita menafsirkan segala hal yang menimpa kita, dan cara kita meresponnya.
Dalam contoh di atas, sang wanita mungkin adalah pihak yang patut disalahkan atas apa yang dialami oleh sang lelaki. Namun, dia tidak bertanggung jawab atas apa yang dirasakan oleh sang lelaki. Dia juga tidak bertanggung jawab atas apa yang akan diperbuat oleh sang lelaki.
Si lelaki itulah yang harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Apa yang ia tafsirkan dan apa yang ia lakukan sebagai respons adalah tanggungjawabnya.
Pun demikian juga dengan di kantor.
Anda tidak bisa mengendalikan perilaku atasan kepada Anda. Pun demikian dengan penilaiannya terhadap Anda. Anda pula tidak akan bisa mengontrol perilaku rekan kerja kepada Anda. Bisa jadi, mereka akan bersikap toxic kepada Anda.
Kesimpulannya, kita tidak bisa mengontrol hal apa yang akan terjadi pada hidup kita. Berbagai hal buruk bisa saja terjadi. Namun kita selalu bisa mengendalikan cara kita menafsirkan dan cara kita merespons segala hal yang menimpa kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H