Semua manusia pernah berbohong, setidaknya sekali dalam hidupnya.
Tidak Percaya?
Coba Anda ingat-ingat lagi, pernahkah Anda berbohong kepada Atasan bahwa Anda sedang sakit?. Anda padahal sedang baik-baik saja, hanya mencari alasan untuk tidak masuk kerja.
Atau pernahkah Anda berbohong ketika diperiksa oleh dokter?. Pernahkah Anda berbohong kepada pasangan Anda atau kepada diri Anda sendiri?
Lalu apa yang membuat Anda tidak berbohong pada saat menjawab survei?. Berikut survei singkat untuk Anda:
- Pernahkah Anda melanggar lampu lalu lintas?
- Pernahkah Anda nonton Netflix ketika jam kerja di kantor?
Apakah Anda tergoda untuk berbohong?. Banyak orang yang enggan berkata jujur jika ditanya tentang perilaku atau pendapatnya yang dianggap tidak pantas. Semua orang ingin terlihat baik, bahkan jika survei yang dilakukan bersifat anonim.Â
Fenomena ini disebut sebagai social desireability bias.
Bias ini terjadi apabila respons seorang responden pada survei dibuat seperti apa yang ia persepsikan diinginkan oleh lingkungannya. Akibatnya, hasil survei tidak menggambarkan keadaan sebenarnya dari responden tersebut.
Apakah seseorang akan berkata jujur apabila ditanya tentang IPK-nya?Â
Jawabnya belum tentu.Â
Sebuah survei yang dilakukan di University of Maryland menghasilkan temuan yang menarik. Ditemukan bahwa secara konsisten orang memberikan informasi yang tidak benar, hanya agar mereka terlihat bagus.Â
Contohnya adalah kurang dari 2% peserta survei yang melaporkan bahwa mereka lulus dengan IPK kurang dari 2,5. Padahal di dalam kenyataannya (Jawabannya dibandingkan dengan catatan resmi universitas) sekitar 11% yang memiliki angka itu.
Fenomena pada saat Pemilihan Presiden Amerika 2016 menunjukkan hal yang serupa.Â
Lembaga jajak pendapat di Amerika telah gagal di dalam meramalkan kemenangan Donald Trump pada 2016. Secara rata-rata, mereka menaksir lebih rendah dukungan orang kepadanya.
Kenapa bisa begitu?
Cukup banyak orang yang mungkin malu mengatakan bahwa mereka mendukung Trump. Sebagian mungkin mengaku belum mengambil keputusan. Padahal sebenarnya sejak awal, mereka telah bersimpati kepada Trump. Mereka hanya enggan menyatakannya.
Bagaimana Agar Orang Jujur Pada Saat Disurvei?
Agar survei dapat menggambarkan keadaan atau pendapat sebenarnya dari responden, maka survei perlu didesain dengan memenuhi beberapa aspek berikut ini:
- Anonimitas. Semakin bersifat tidak personal, semakin jujur seseorang dalam memberikan informasi. Untuk mendapatkan jawaban yang jujur, survei internet lebih baik daripada survei telepon, yang lebih baik daripada survei langsung. Orang akan berkata lebih jujur bila sedang sendirian daripada jika ada orang lain bersama mereka
- Kerahasiaan. Aspek ini sangat penting untuk diperhatikan penyelenggara survei. Sebelum mengisi survei, pastikan responden yakin bahwa data yang mereka sampaikan dijaga kerahasiaannya. Apabila muncul kecurigaan dari responden, sukar diharapkan mereka akan memberikan jawaban sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya.
- Penentuan item pertanyaan. Jangan menulis pernyataan yang akan disetujui/tidak setujui oleh sebagian besar responden. Hal ini akan memicu terjadinya social desirability bias.
Namun, untuk topik-topik yang sensitif, metode survei apapun akan mendapatkan jawaban sesat yang cukup banyak.Â
Kenapa?Â
Jawabannya menurut Tourangeau, guru besar bidang riset di University of Michigan, adalah insentif. Orang tidak memiliki insentif untuk menyampaikan kebenaran pada survei. "Apa manfaatnya buatku jika menjawab survei ini dengan benar?"
Alternatif Metode Survei
Pada dasarnya, ada sumber resmi yang bisa dijadikan rujukan untuk mendapatkan data yang benar. Namun, untuk hal-hal seperti pendapat pribadi, perasaan dan hasrat seseorang, satu-satunya sumber data hanyalah berasal dari apa yang mereka katakan pada survei.
Solusinya adalah big data.Â
Salah satu tools bisa digunakan dengan gratis adalah google trends.
Misalnya Anda ingin mengetahui berapa banyak orang yang merasa depresi di suatu daerah. Anda mengadakan survei. Permasalahannya, apa manfaat yang diperoleh seseorang jika mengaku dia sedang depresi?.Â
Kemungkinan, mereka tidak akan memberikan jawaban yang sesuai dengan kondisinya.
Dibandingkan survei, data yang diambil dari google akan lebih objektif.Â
Seseorang dengan mudah akan mengetik pada mesin pencari google frasa seperti: "gejala depresi?" atau "ingin bunuh diri?".Â
Semua ini tanpa diketahui oleh orang lain, anonim dan ketika sedang sendirian.
Mari kita lihat hasil analisa sederhana dari google trends di bawah ini.Â
Sebuah analisa juga pernah dilakukan di Amerika.Â
Ternyata, pencarian google untuk "porn" lebih banyak daripada "weather". Jauh berbeda jika dibandingkan dengan data survei, karena hanya 25% laki-laki dan 8% perempuan yang mengaku menonton pornografi.
Belajar Dari Netflix
Netflix memiliki pengalaman yang sama terkait hal ini.Â
Semula perusahaan memperbolehkan pengguna membuat daftar urutan film yang ingin mereka nonton tapi belum bisa mereka nonton saat ini. Harapannya, ketika user punya waktu lebih banyak, Netflix bisa mengingatkan mereka tentang film-film itu.
Namun, apa yang terjadi?
Ketika user diingatkan tentang film-film di daftar tontonnya, mereka justru jarang menontonnya.
Masalahnya adalah, ketika ditanya tentang film apa yang ingin mereka tonton dalam beberapa hari ke depan, mereka akan mengisi daftarnya dengan film-film berselera tinggi, seperti dokumenter Perang Dunia 2 misalnya.
Namun, ternyata ketika memiliki waktu luang, mereka justru menonton film di genre yang sama seperti yang biasanya mereka tonton.
Orang berbohong kepada diri sendiri.
Netflix akhirnya berhenti meminta orang memberitahukan apa yang ingin mereka tonton dan membangun algoritma berdasarkan jutaan click dan view dari pelanggan yang sama.
Netflix menawarkan daftar film bukan berdasarkan apa yang mereka sukai dalam pengakuan mereka, melainkan berdasarkan data film-film yang mereka tonton.
Hasilnya? Orang mengunjungi netflix lebih sering dan menonton film lebih banyak.
"Algoritma mengenal Anda dengan lebih baik ketimbang Anda mengenal diri sendiri" kata Xavier Amatriain, mantan ilmuwan data di Netflix.
sumber:
- Everybody Lies by Seth Stephens-Davidowits
- https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/536-mewaspadai-response-bias-dalam-skala-psikologi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H