Mohon tunggu...
Mustaqim Muslimin Abdul Ghani
Mustaqim Muslimin Abdul Ghani Mohon Tunggu... -

seorang bodoh yang sedang belajar untuk terus memberi manfaat ... ciyeeeeee! Idealis banget!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi "Ruwahan" ...Kenapa Tidak?

4 Juni 2014   23:28 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:19 3457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tak terasa betul ternyata tinggal sebentar lagi masuk bulan Ramadhan. Duuuh senengnya. Tapi ... persiapannya bagaimana ni? musti check and re-check lagi ni ya?!.

Targetnya adalah selalu lebih baik dari Ramadhan tahun kemarin, kan? Harus itu! Perencanaan step by stepnya lalu bagaimana lho?

Naaah, kalau di Jawa biasanya ni ada tradisi Ruwahan untuk menyambut Ramadhan ... eiit, bener gak sih tradisi Ruwahan untuk menyambut Ramadhan?
Hmm, biar ga salah langkah, yuk kita tinjau dulu apa dan bagaimana sih tradisi Ruwahan itu? Lalu bagaimana posisinya dalam wacana Islam? Yuuuuk, mariiiii!

Ruwah adalah sasi atau bulan ke 8 dalam kalender Jawa, yg sistem penanggalannya memakai sistem peredaran bulan. Karena sama-sama memakai sistem penanggalan bulan atau Qomariyah, maka bulan ini pun jadi identik dengan bulan ke 8 dalam kalender Islam, yakni bulan Sya'ban. Identik, tapi tidak sama. Karena penanggalan Jawa berganti tanggalnya setelah lepas tengah hari bolong, atau setelah masuk waktu sholat Dluhur sekitar jam 13-14. Sedangkan dalam penanggalan Islam bergesernya tanggal adalah selepas terbenamnya matahari, atau sama dengan masuk waktu sholat Maghrib. Itu katanya almarhumah nenek saya dulu lho. CMIIW ya

Dalam kamus bahasa Indonesia, tradisi berarti (1) suatu adat kebiasaan yang diturunkan oleh nenek moyang yang masih dijalankan oleh masyarakat sampai sekarang, (2) sesuatu yang dianggap bermakna baik atau luhur sampai dengan saat ini. Nah, demikian pula untuk tradisi Ruwahan.

Tradisi ruwahan sebenarnya merupakan tradisi peninggalan nenek moyang kita dalam ajaran Hindu. Ritualnya sendiri meliputi ritual keliling desa, ritual bersih desa hingga bersih kubur, ritual kenduri, ritual ziarah kubur dan berakhir dengan ritual padusan / mandi. Dalam tradisi tersebut yang diagungkan adalah roh-roh penunggu punden desa, roh nenek moyang dan para dewa.

Ketika islam pertama kali diperkenalkan kepada nenek moyang kita oleh para wali, tradisi ruwahan ini tetap dipertahankan khususnya nilai-nilai luhur yang sejalan dengan ajaran Islam secara ibadah horizontalnya, namun sudah dibedakan NIAT-nya untuk bukan lagi mengagungkan roh atau dewa, namun semata-mata ibadah krn Allah SWT dalam bentuk ukhuwah, shodaqoh, ziarah kubur, doa anak shaleh, dsb.

Menyuplik dari yang disampaikan pak Ary Budiyanto dalam suatu makalahnya, "Kearifan tradisi Ruwahan", dalam ajaran para wali tradisi ruwahan tersebut telah banyak bergeser ke ajaran Islam dengan pemaknaan tertentu, misal :

- tradisi nyadran (ziarah kubur), dimanifestasikan untuk mengingat kpd datangnya kematian dan memicu kesiapan bekal kita untuk masa hidup setelah kematian tersebut.

- tradisi nyadran juga dimanifestasikan sebagai wujud amalan bakti anak yang shaleh kepada ortunya, sebagai amal yg tak putus2 (birul walidain).

- bersih desa, lebih menitik beratkan kpd kegotong royongan dan guyub rukunnya warga untuk memelihara lingkungannya (ukhuwah) agar jadi bersih dan lebih indah ketika bulan puasa nantinya. Kebersihan sendiri merupakan salah satu wujud keimanan, bukan?

- kenduri dan megengan (kirim-kirim hantaran makanan; yang di tradisi Aceh harus dengan daging = "meugang") adalah manifestasi dari paktik doa bagi semua keluarga sanak saudaranya yang masih hidup dengan saling bersilaturahmi, saling memaafkan dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasa dengan rasa yang suci penuh suka cita menjadi kesadaran orang Islam Jawa

- Pada acara nyadran bebungaan ditaburkan di atas pusara mereka yang kita cintai, karena itu nyadran juga disebut nyekar (menghantarkan bunga). Indahnya warna-warni bunga dan keharumannya menjadi simbol bagi orang Jawa untuk selalu mengenang semua yang indah dan yang baik dari diri mereka yang telah mendahului.

- mandi untuk mensucikan diri dari hadats besar, sehingga lengkaplah kesiapannya menapaki ibadah puasa nantinya.

Dengan demikian, ritus itu memberikan semangat bagi yang masih hidup untuk terus berlomba-lomba demi kebaikan (fastabiqul khoirat).

Bahkan di daerah kota santri di pantura, Tradisi megengan di bulan Ruwah yang bisa jadi berlangsung seminggu sebelum Puasa tidak hanya menciptakan relasi kesalehan sosial di masyarakat Jawa, namun tradisi ini juga menumbuhkan relasi putaran perekonomian. Pasar kaget ruwahan seperti halnya Dugderan di Semarang atau Dhandangan di Kudus, muncul sebagai dampak kebutuhan masyarakat pada waktu itu untuk menyemangati anak-anak dan keluarganya, misal untuk membelikan sarung, mukena, jilbab dan peci yang baru, kitab Quran yang baru, dan kain-kain untuk mengganti mihrab di surau dan masjid desa, atau agar dapat membeli bahan-bahan kebutuhan selama awal-awal minggu di bulan puasa. (inget kan dulu pasar tak setiap hari atau setiap jam buka seperti sekarang?)

Di dalam masyarakat Jawa sendiri setiap tindakannya erat sekali dengan simbol-simbol, dalam rangka untuk lebih memaknai suatu ibadahnya. Sebagai misal dalam tradisi megengan biasanya ada hantaran ke tetangga atau kerabat saudara, isi hantaran tradisi megengan di Jawa ini tidak pernah meninggalkan tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan apem. Makna dari ketiga makanan itu adalah :

- ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi,

- kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan barokah penuh kemanisan,

- dan apem berarti jika ada yang salah maka sekiranya bisa saling memaafkan (ahfum).
bahkan di beberapa tempat yang mayoritas warganya bekerja atau bertempat tinggal di luar daerahnya, di dalam tradisi ruwahan juga mengenal Mudik Ruwahan.

Mudiknya orang Jawa untuk ruwahan tak ubahnya sedang mereplika sirah Nabi Muhammad ketika beliau dan para sahabatnya hijrah ke Yatsrib atau Madinah, yakni mudik untuk melakukan tiga hal yang dibangun untuk mengukuhkan iman keislaman yakni mendirikan masjid, pasar, dan mengikat tali persaudaraan.

Naaah, begitu kiranya dasar pelaksaan tradisi ruwahan tersebut dalam kaca mata islam. Selama ibadah tersebut berarah horizontal, perbedaan pelaksanaan antara daerah satu dengan lainnya tentu tak layak jika serta merta dituding sebagai penyakit TBC (Takhayul, Bidáh dan Churafat). Ingat kan bahwa kunci dari semua amalan adalah NIATNYA?

Sebagaimana disampaikan khalifah Umar r.a, Sesungguhnya semua amalan bergantung kepada niatnya. Barang siapa berhijrah untuk memperoleh ridlo Allah dan Rasul-Nya, maka dia mendapatkannya (bersama dengan Allah dan Rasul-Nya). Barang siapa berhijrah karena harta atau wanita yg akan dinikahinya, maka dia memperolehnya.

Okeee kalau begitu, mari kita sambut Ramadhan dengan suasana yang lebih maju dan modern lagi. Yuk beli ipad atau gadget lain untuk memudahkan menghafal Quran, minimal Juz Amma lah. Atau beli Quran yang lengkap dg terjemah per kata dan asbabun nuzul dan haditsnya yg sesuai. Hantaran ke tetangga pakai Bebek Goreng pak Slamet, gudheg Yu Jum, atau Kepiting Cak Gundul pun boleh. Yang penting, lillahi taálla.

Nganjuk, 4 Juni 2014

dari beberapa sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun