Mohon tunggu...
Mustaqim Muslimin Abdul Ghani
Mustaqim Muslimin Abdul Ghani Mohon Tunggu... -

seorang bodoh yang sedang belajar untuk terus memberi manfaat ... ciyeeeeee! Idealis banget!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi "Ruwahan" ...Kenapa Tidak?

4 Juni 2014   23:28 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:19 3457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

- kenduri dan megengan (kirim-kirim hantaran makanan; yang di tradisi Aceh harus dengan daging = "meugang") adalah manifestasi dari paktik doa bagi semua keluarga sanak saudaranya yang masih hidup dengan saling bersilaturahmi, saling memaafkan dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasa dengan rasa yang suci penuh suka cita menjadi kesadaran orang Islam Jawa

- Pada acara nyadran bebungaan ditaburkan di atas pusara mereka yang kita cintai, karena itu nyadran juga disebut nyekar (menghantarkan bunga). Indahnya warna-warni bunga dan keharumannya menjadi simbol bagi orang Jawa untuk selalu mengenang semua yang indah dan yang baik dari diri mereka yang telah mendahului.

- mandi untuk mensucikan diri dari hadats besar, sehingga lengkaplah kesiapannya menapaki ibadah puasa nantinya.

Dengan demikian, ritus itu memberikan semangat bagi yang masih hidup untuk terus berlomba-lomba demi kebaikan (fastabiqul khoirat).

Bahkan di daerah kota santri di pantura, Tradisi megengan di bulan Ruwah yang bisa jadi berlangsung seminggu sebelum Puasa tidak hanya menciptakan relasi kesalehan sosial di masyarakat Jawa, namun tradisi ini juga menumbuhkan relasi putaran perekonomian. Pasar kaget ruwahan seperti halnya Dugderan di Semarang atau Dhandangan di Kudus, muncul sebagai dampak kebutuhan masyarakat pada waktu itu untuk menyemangati anak-anak dan keluarganya, misal untuk membelikan sarung, mukena, jilbab dan peci yang baru, kitab Quran yang baru, dan kain-kain untuk mengganti mihrab di surau dan masjid desa, atau agar dapat membeli bahan-bahan kebutuhan selama awal-awal minggu di bulan puasa. (inget kan dulu pasar tak setiap hari atau setiap jam buka seperti sekarang?)

Di dalam masyarakat Jawa sendiri setiap tindakannya erat sekali dengan simbol-simbol, dalam rangka untuk lebih memaknai suatu ibadahnya. Sebagai misal dalam tradisi megengan biasanya ada hantaran ke tetangga atau kerabat saudara, isi hantaran tradisi megengan di Jawa ini tidak pernah meninggalkan tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan apem. Makna dari ketiga makanan itu adalah :

- ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi,

- kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan barokah penuh kemanisan,

- dan apem berarti jika ada yang salah maka sekiranya bisa saling memaafkan (ahfum).
bahkan di beberapa tempat yang mayoritas warganya bekerja atau bertempat tinggal di luar daerahnya, di dalam tradisi ruwahan juga mengenal Mudik Ruwahan.

Mudiknya orang Jawa untuk ruwahan tak ubahnya sedang mereplika sirah Nabi Muhammad ketika beliau dan para sahabatnya hijrah ke Yatsrib atau Madinah, yakni mudik untuk melakukan tiga hal yang dibangun untuk mengukuhkan iman keislaman yakni mendirikan masjid, pasar, dan mengikat tali persaudaraan.

Naaah, begitu kiranya dasar pelaksaan tradisi ruwahan tersebut dalam kaca mata islam. Selama ibadah tersebut berarah horizontal, perbedaan pelaksanaan antara daerah satu dengan lainnya tentu tak layak jika serta merta dituding sebagai penyakit TBC (Takhayul, Bidáh dan Churafat). Ingat kan bahwa kunci dari semua amalan adalah NIATNYA?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun