Orang bijak dan bajik selalu bilang, jangan meminta diringankan beban. Mintalah pundak kita untuk dikuatkan. Sebab pundak yang (dipersiapkan untuk) kuat, tidak akan surut menghadapi tantangan. Diktum ini berlaku untuk apa saja, termasuk juga jangan takut jika barang-barang di pasaran naik, kita lebih baik berdoa agar dimampukan untuk membeli.
Maka, ketika ada beberapa Ketua Umum partai politik (PKB, Golkar, dan PAN) yang mewacankan agar Pemilu ditunda, sebenarnya ini bukan proses pendewasaan dalam politik dan demokrasi. Sah-sah saja rasionalisasi dibangun, tapi masyarakat juga memiliki alasan logis yang sangat mampu untuk mematahkan rasionalisasi yang terkesan dibuat-buat itu.
Masyarakat menilai, suara yang muncul tentang penundaan pemilu sebenarnya berujung pada ketidak-siapan partai untuk bertarung atau mungkin terlalu nyaman diperlakukan istimewa oleh penguasa, bukan karena alasan pandemi dan perbaikan ekonomi. Â Apalagi, kebijakan seperti ini, bahkan tidak dilakukan oleh negara-negara lain yang dampak pandeminya lebih parah dibandingkan Indonesia.
Kalau selama ini pemerintah suka membanggakan keberhasilan di sektor ekonomi meski dihantam oleh pandemi (bahkan memiliki resistensi yang lebih baik dibandingkan negara-negara maju lainnya), bukankah sebuah keanehan ketika pandemi dan ekonomi dijadikan sebagai alasan?
Selanjutnya, soal perpanjangan ini adalah soal amandemen UUD yang jika diteruskan akan berpotensi melahirkan kegaduhan-kegaduhan tidak penting yang semestinya digunakan untuk hal-hal yang produktif dalam pembangunan negara. Dalam Undang-undang sudah jelas dituliskan, soal masa jabatan Presiden dan Wakilnya.
Mestinya, Presiden tidak terbuai dengan rayuan gombal siapapun tentang ini karena kredibilitasnya dipertaruhkan. Salut dengan penolakan tegas Presiden terhadap wacana penambahan periode jabatan, meski akhirnya aneh juga ketika berbicara soal perpanjangan masa jabatan, Presiden seolah "menikmati" ayunan sepoi-sepoi itu dengan alasan "bagian dari demokrasi".
Beberapa kali istana menyanggah soal ini. Tapi kalimat multitafsir Presiden juga membuat khawatir, polemik ini akan terjadi. Seperti menjadi testing the voice. Kalau respon masyarakat adem ayem, lanjutkan. Kalau memanas, hentikan. Istana mungkin akan menjadi pahalawan, sementara para pengusul itu cukup saja berkelit dengan "ini, kan, hanya wacana".
Tapi sebenarnya, ini bukan hanya soal preseden buruk bagi politik dan demokrasi saja, tapi juga soal legacy. Pak Jokowi mau dikenang sebagai Presiden seperti apa?
Maka, sudahlah. Siap tidak siap untuk Pemilu, hadapi saja, Tum. Toh, semua partai juga mengalami nasib yang sama. Masih untung bagi partai dalam lingkaran koalisi, bagaimana ceritanya dengan partai oposan pemerintah? Mestinya, kalau berbicara tidak siap, mereka yang paling getol menyuarakan. Secara modal boncos, secara isu kalah, elektabilitas sering diganggu, dalam kebijakan sering diam termangu.
Banyak-banyak menabung, hangatkan mesin partai, susun strategi yang jitu, dan rampok simpati rakyat secepatnya melalui kehadiran partai yang Anda pimpin. Itu jauh lebih baik daripada menunda Pemilu karena merasa belum siap. Agak aneh juga, ketika partai yang mengajukan dan mendukung itu sebenarnya bukan partai yang terancam banget secara elektabilitas dan tidak memerlukan polesan lebih untuk mencari muka dihadapan penguasa.