Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sayangnya, Giring Memilih Jalur Murah(an)!

7 Februari 2022   13:04 Diperbarui: 7 Februari 2022   13:23 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://amp.kompas.com/nasional/read/2021/05/26/14390521/

Jujur saja, saya menyukai Giring Nidji. Giring yang lekukan dan khas suaranya berhasil menaikkan Nidji ke papan atas deretan Band Indonesia. Giring yang gaya hentak dan jingkrakannya ketika di panggung mampu melahirkan dan menularkan atmosfer kebahagiaan. Giring yang tak banyak tingkah dan polah dengan menciptakan kontroversi, memilih menunjukkan karya dan prestasi.

Beberapa lagunya masih sangat nempel di hati dan telinga. Mulai dari "Hapus Aku", "Jangan Lupakan", "Sudah", "Bila Aku Jatuh Cinta" hingga lagu-lagu monumental sebagai soundtrack film layar lebar seperti "Laskar Pelangi", "Di Atas Awan", atau "Rahasia Hati". Melalui "Biarlah" atau "Disco Lazy Time" dan beberapa lagu lain yang nge-beat, kita seolah diajak berjingkrak.

Saya menyukai Giring Nidji, sebagai penyanyi dan musisi.

Tapi masalahnya, semua berubah ketika Giring melepaskan Nidji-nya lalu mencoba petualangan baru menjadi seorang politisi dan bergabung dengan PSI: partai baru yang jualannya soal idealisme dan kemajuan; partai yang menahbiskan dirinya sebagai partai anak muda yang visioner; partai yang kata Pandji "luarnya manis, dalamnya kosong", partai yang menggebu-gebu tapi sayang belum lolos senayan.

Oke, kembali ke Giring.

Tak ada yang meragukan soal popularitas Giring sebagai artis, penyanyi, dan musisi. Tapi popularitasnya sebagai seorang politisi, tentu saja masih perlu diuji karena ini berkaitan dengan kapasitas, pengalaman, dan kapabilitas. Sampai disini, saya juga bingung kenapa Giring bisa menjadi Ketua Umum PSI. Apakah popularitas memang dijadikan sebagai satu-satunya pertimbangan atau memang nihilnya sosok-sosok potensial? Entahlah...

Popularitas Giring sebagai musisi tentu berbeda dengan popularitasnya sebagai politisi sebab dalam dunia politik, popularitas yang tidak bisa dikapitalisasi menjadi elektabilitas sama seperti pepesan kosong. Percuma terkenal jika tidak terpilih sebab politik, pada akhirnya, hanyalah soal disukai atau tidak, dipilih atau tidak. 

Sepertinya, itulah yang disadari oleh Giring, terutama ketika ia berani masuk ke dunia politik dan secara meyakinkan menyatakan diri sebagai Calon Presiden: ia harus mampu merubah popularitasnya menjadi elektabilitas yang nantinya akan menjadi modal politik yang bagus menuju kontestasi 2024, minimal dilirik partai lain atau ditawar-tawarkan ke parpol lain.

Tapi masalahnya, politik tidak selurus itu, Bro Giring. Dinamikanya seperti rooler coaster. Salah-salah, Bro akan muntah.

Sayangnya, kesadaran akan pentingnya popularitas-elektabilitas itu tidak diikuti dengan cara-cara yang terhormat. Entah kenapa, dalam pandangan saya, Giring lebih memilih jalan murah, bahkan cenderung murahan. Kesalahan metode ini benar-benar berakibat fatal, terutama dalam upayanya membangun citra sebagai seorang politisi, ketua umum partai, dan calon presiden.

Apa yang terjadi beberapa waktu terakhir ini menunjukkan betapa Giring menjadi perbincangan dan bahan candaan oleh banyak orang gegara manuver politiknya yang cenderung "pecicilan".

Ia tidak sedang membangun citra dirinya sebagai sosok politisi tapi dalam beberapa pandangan justru merusak citra PSI yang susah-susah dibangun dan sampai sekarang masih ngap-ngapan.

Mestinya Giring lebih sibuk membangun kekuatan partai melalui konsolidasi internal dari tingkat paling bawah, mengukur kekuatan elektoral bahkan kemampuan modal, mengesankan mau belajar dengan tetap menjaga kewibawaan, memperbanyak kunjungan sebagai pengalaman, menambah serapan informasi melalui baca buku-buku atau hasil penelitian dalam dunia politik, dan hal-hal positif lain yang memungkinkannya mendapatkan lebih banyak simpati dari masyarakat. Tentu saja itu butuh modal, sebab politik memang ada harganya, Bro.

Minimal, perbedaan Giring yang disukai karena musisi tidak terlalu kontras dengan Giring sekarang yang politisi tapi kemudian kehilangan simpati karena manuver politik yang berlebihan, terutama ketika menyerang Anies secara serampangan. Kesannya, benar-benar memusuhi tapi sebenarnya meraup untung melalui viralitas dan pemberitaan yang liar di media.

Cara mendongkrak seperti itu memang murah, sih, tapi orang melihatnya cenderung murahan untuk kelas PSI yang, anggap saja, dihuni oleh orang-orang idealis. Benci boleh, tapi melakukan kritik itu ada tata caranya, minimal ada data dan faktanya. Karena tata cara itulah, kita bisa membedakan mana yang kritik dan mana yang ngata-ngatain.

Giring seolah membabat habis dan menutup mata terhadap banyak isu yang sebenarnya tidak ia pahami betul dan mestinya ia tidak mengomentari itu. Tapi apa lacur, semuanya diberangus. Ia mencela Anies sebagai yang tidak mampu dan kompeten, pembohong yang tidak becus mengurus Jakarta, dan tidak pengalaman justru disaat ia tidak memiliki pengalaman jabatan apapun dalam politik kecuali posisinya sekarang ini. Jangan lupa juga, kalimat "pembohong" itu diucapkan di depan Pak Presiden!

Ia berbicara seolah Jakarta kacau-balau dan tidak ada kesuksesan pembangunan sama sekali, justru saat dalam beberapa hal, disadari atau tidak, ia ikut menikmati. Ya kali sebagai warga Jakarta, ia sama sekali tidak menikmati satu pun kebijakan Gubernurnya. Kalo memang iya, menarik, sih. Apa jangan-jangan Giring berpikir, yang ngurus Jakarta ini Pak Presiden? Entahlah...

Giring kerap kali berbicara soal radikalisme, intoleransi, membawa-bawa agama demi hasrat politik, justru pada saat ia melakukan hal yang hampir serupa dalam konteks akibat serta polarisasi yang dimunculkan, yaitu menyebarkan informasi tidak utuh dan melakukan kritik serampangan hanya demi hasrat politiknya!. Bukan menciptakan suasana adem, tapi malah melebarkan kembali polarisasi melalui diksi yang murahan.

Pada saat bersamaam, ia memuji-muji dan suka bawa-bawa Pak Jokowi dalam banyak pidatonya. Apa dikiranya penyuka dan pemilih Pak Jokowi akan otomatis memilihnya hanya karena ia memuji? Apa dikiranya politik itu sederhana dan akan mendapatkan rekomendasi parpol-parpol koalisi hanya karena ia memuja? Sepertinya, gak gitu-gitu juga.

Sebagian menganggap ia tidak jantan karena bersembunyi di balik ketiak orang lain. Sehingga tidak salah juga ketika ia jadi peloncoan dalam banyak meme dan video viral di kalangan netizen yang maha benar. Fahri pernah menyentilnya, Pandji juga pernah menyebutnya, Pasha pun pernah memberikan pandangannya. Beberapa komiker juga, pernah becandainnya. Termasuk emak-emak di pasar dan bapak-bapak di warung kopi, mungkin pernah menggunjingnya.

Giring seolah ingin mengajak berjingkrak penonton padahal lagu yang dibawakan mellow atau sebaliknya, mengajak penonton anteng dan khidmat dengan lagu-lagu beatnya. Ya, kacau! Seperti kata Pandji, "Gue tahu mimpi adalah kunci, tapi gak gitu-gitu banget dung,".

Saya suka Giring, sebagai musisi. Sebagaimana suka Ahmad Dhani, juga sebagai musisi. Bukan sebagai politisi. Saya suka juga beberapa musisi dan artis, yang kebetulan juga politisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun