Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mereka Menemukan "Selamat" dan "Aman" di Barat

22 Agustus 2021   13:52 Diperbarui: 22 Agustus 2021   14:17 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
jogja.tribunnews.com

Apa yang akhir-akhir ini dialami umat Islam di Afghanistan adalah kejadian luar biasa dimana ribuan rakyatnya memilih untuk berbondong-bondong meninggalkan negaranya ketika Taliban berhasil menjadi penguasa setelah 20 "berpuasa". Wajar ketika umat Islam di Afghanistan memilih untuk pergi sebab mereka tak mau tragedi itu terulang kembali.

Sebuah "penghancuran" psikologis dan mental yang luar biasa ketika, waktu itu, Taliban berkuasa. Taliban berjanji, tidak akan seperti dulu lagi. Tapi skeptisme yang membuncah tak akan surut sedemikian mudah.

Kemana saja tidak masalah. Hidup bisa dipikirkan nanti, asal selamat dan aman. Bayang-bayang mereka tentang Afghanistan yang akan mundur kembali bangkit. Apapun jalannya asal bisa keluar dari negaranya, mereka rela. Apapun risikonya, dianggap lebih ringan dibandingkan hidup di bawah kaki kepemimpinan Taliban.

Sebuah "keniscayaan" yang akan dipilih oleh siapapun yang tak ingin kembali hidup dalam bayang-bayang rezim, yang dalam ingatan kolektif-psikologis sebagian masyarakat Afghanistan, sangat tak manusiawi. Kita saja, sebagai rakyat Indonesia, tak ingin rezim kekerasan dan kekejaman itu bangkit, apalagi dengan mereka yang pernah mengalami eskalasi politik dan hidup yang mengerikan.

Maka sangat wajar ketika sebagian warga Afghanistan yang "tercerahkan" memutuskan untuk mengungsi. Namun fenomena ini, lagi-lagi, menyiratkan persoalan penting yang dialami Umat Islam, seluruh dunia, saat ini.

Pertama, lagi-lagi yang menjadi tujuan untuk mengungsi adalah negara-negara Barat, seperti beberapa negara di Eropa dan Amerika termasuk Kanada. Kenapa? Sebab mereka merasa akan selamat dan aman berada di negara-negara itu meski, meminjam istilah Prof. Media Zainul Bahri, acap kali dikritik dan dikonotasikan dengan humanisme ateistik. Namun apapun alasannya, beberapa negara itu siap menampung.

Seperti Jerman misalnya, yang sejak 2015 lalu sudah menampung umat Islam dari Suriah meski dikritik keras oleh sebagian rakyatnya terutama dari garis keras ultra-kanan seperti neo-Nazi. Tak hanya mengkritik dan menolak, mereka meminta Merkel untuk memundurkan diri karena dosa-dosanya yang telah menampung dan menambah beban negara.

Tapi apa lacur, saat ini, sebagian pengungsi itu sudah hidup layak. Tak lagi di camp pengungsian tapi tinggal di apartemen. Anak-anak mereka sudah bisa menikmati fasilitas pendidikan serta sudah fasih menggunakan bahasa Jerman. Berbuah manis dan solutif.

Inggris juga melakukan hal yang sama terhadap para pengungsi dari Afghanistan. Negeri Ratu Elizabeth itu menerima para pengungsi dengan tangan terbuka dan terang-terangan. Inggris direncakan akan menerima sekitar 20 ribu pengungsi dari Afghanistan dan sudah dipastikan akan menggandakan jumlah bantuan kemanusiaannya menjadi 393,34 juta dolar, sebagaimana cuitan Menlu Inggris, Dominic Raab. Bahkan sejumlah warga Inggris telah menyediakan Rumah Sementara bagi para pengungsi.

Begitu juga dengan Perancis yang siap menerima pengungsi dari Afghanistan. Emmanuel Macron ikut bertindak dan merespon positif meski tetap berpegang pada pentingnya melindungi Eropa dari imigran gelap dan hal-hal yang memungkinkan terjadinya penyelundupan. Tapi setidaknya 11 kota besar di Perancis siap menerima pengungsi Afghanistan dengan bermartabat.

Penolakan? Tentu saja besar. Para pengungsi akan selalu dianggap beban bagi negara. Perbedaan kultur dan sejarah juga memperberat penerimaan sebagian warga Eropa yang sekuler itu. Tapi semua tidak berguna ketika pemerintah di Jerman, Inggris, atau Perancis dan beberapa negara lainnya memiliki good and political will untuk menghargai kemanusian.

Lalu, kenapa para pengungsi itu tidak pergi ke negara mayoritas Muslim tetangganya yang lebih sejahtera? Sebut saja seperti Qatar, Kuwait, Bahrain, UEA, Bahrain, Arab Saudi, misalnya. Mungkin ke negara yang lebih jauh seperti Brunei dan Malaysia, misalnya. Atau kenapa tidak ke Indonesia yang jumlah umat islamnya terbesar di dunia?

Kedua, negara-negara Islam memiliki organisasi internasional sebagai wadah untuk saling membantu dan peduli. Jika pun tidak atas nama apapun, paling tidak atas nama ukhuwah islamiyah dan ukhuwah aqidah bisa dijadikan alasan. Ada Organisasi Kerja sama Islam (OKI) yang kini memiliki 57 anggota. Ada juga Liga Arab yang kini beanggotakan 22 negara. Sangat cukup diukur dari kuantitas.

Lalu apa yang mereka lakukan? Dengan tanpa menafikan peran dan fungsinya, kita acap kali disajikan oleh berita-berita yang isinya hanya "mengutuk" dan "mengecam". Ada tindakan bantuan kemanusiaan, itu pun diperoleh setelah rakyat melalukan sumbangan mati-matian. Selebihnya, kecaman dan kutukan.

Bagaimana kalau organisasi-organisasi hebat itu juga melakukan skema soal bantuan menampung pengungsi yang berpotensi terjadi di negara-negara Islam yang mudah disulut konflik? Jika pun tak secara keseluruhan, minimal dilakukan oleh negara-negara yang siap dan kehidupannya lebih sejahtera dibandingkan beberapa negara Islam lainnya yang sengsara.

Kemana negara-negara Muslim yang kaya raya dan penguasanya suka dijadikan liputan dalam hal hambur-hambur kekayaan itu? Memang, Turki telah melakukan hal besar untuk membantu ribuan pengungai dari Suriah tapi, bukankah Turki juga termasuk Eropa; tempat sekumpulan negara yang kita anggap sekuler dan agnostik itu?

Lalu, bagaimana kebijakan negara Islam yang lain? Tidak perlukah OKI atau Liga Arab memberikan instruksi persoalan ini, bahwa setiap pengungsi dari negara-negara yang sedang bermasalah akan diterima oleh "saudara" mereka atas dasar humanisme islami yang kerap dicorongkan?

Saya tidak ingin membahas lebih jauh soal sejarah dan intrik politik yang terjadi dalam keputusan tentang pengungsi ini karena akan sangat panjang. Sah-sah saja ada asumsi soal keuntungan politik, ekonomi, atau apapun itu.

Tapi yang jelas, pengungsi mendapatkan penerimaan yang baik dan bermartabat ketika mereka memutuskan untuk mengungsi ke Barat. Prospeknya juga dianggap lebih menjanjikan untuk kelanjutan hidup di masa depan. Di Barat, mereka "selamat" dan "aman".

Dalam perspektif tertentu, barangkali memang benar statement fenomenal Muhammad Abduh, "aku pergi ke negara Barat, aku melihat Islam namun tidak melihat orang muslim. Dan aku pergi ke negara Arab, aku melihat orang muslim namun tidak melihat Islam".

Salam,
Mustafa Afif

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun