Apa yang akhir-akhir ini dialami umat Islam di Afghanistan adalah kejadian luar biasa dimana ribuan rakyatnya memilih untuk berbondong-bondong meninggalkan negaranya ketika Taliban berhasil menjadi penguasa setelah 20 "berpuasa". Wajar ketika umat Islam di Afghanistan memilih untuk pergi sebab mereka tak mau tragedi itu terulang kembali.
Sebuah "penghancuran" psikologis dan mental yang luar biasa ketika, waktu itu, Taliban berkuasa. Taliban berjanji, tidak akan seperti dulu lagi. Tapi skeptisme yang membuncah tak akan surut sedemikian mudah.
Kemana saja tidak masalah. Hidup bisa dipikirkan nanti, asal selamat dan aman. Bayang-bayang mereka tentang Afghanistan yang akan mundur kembali bangkit. Apapun jalannya asal bisa keluar dari negaranya, mereka rela. Apapun risikonya, dianggap lebih ringan dibandingkan hidup di bawah kaki kepemimpinan Taliban.
Sebuah "keniscayaan" yang akan dipilih oleh siapapun yang tak ingin kembali hidup dalam bayang-bayang rezim, yang dalam ingatan kolektif-psikologis sebagian masyarakat Afghanistan, sangat tak manusiawi. Kita saja, sebagai rakyat Indonesia, tak ingin rezim kekerasan dan kekejaman itu bangkit, apalagi dengan mereka yang pernah mengalami eskalasi politik dan hidup yang mengerikan.
Maka sangat wajar ketika sebagian warga Afghanistan yang "tercerahkan" memutuskan untuk mengungsi. Namun fenomena ini, lagi-lagi, menyiratkan persoalan penting yang dialami Umat Islam, seluruh dunia, saat ini.
Pertama, lagi-lagi yang menjadi tujuan untuk mengungsi adalah negara-negara Barat, seperti beberapa negara di Eropa dan Amerika termasuk Kanada. Kenapa? Sebab mereka merasa akan selamat dan aman berada di negara-negara itu meski, meminjam istilah Prof. Media Zainul Bahri, acap kali dikritik dan dikonotasikan dengan humanisme ateistik. Namun apapun alasannya, beberapa negara itu siap menampung.
Seperti Jerman misalnya, yang sejak 2015 lalu sudah menampung umat Islam dari Suriah meski dikritik keras oleh sebagian rakyatnya terutama dari garis keras ultra-kanan seperti neo-Nazi. Tak hanya mengkritik dan menolak, mereka meminta Merkel untuk memundurkan diri karena dosa-dosanya yang telah menampung dan menambah beban negara.
Tapi apa lacur, saat ini, sebagian pengungsi itu sudah hidup layak. Tak lagi di camp pengungsian tapi tinggal di apartemen. Anak-anak mereka sudah bisa menikmati fasilitas pendidikan serta sudah fasih menggunakan bahasa Jerman. Berbuah manis dan solutif.
Inggris juga melakukan hal yang sama terhadap para pengungsi dari Afghanistan. Negeri Ratu Elizabeth itu menerima para pengungsi dengan tangan terbuka dan terang-terangan. Inggris direncakan akan menerima sekitar 20 ribu pengungsi dari Afghanistan dan sudah dipastikan akan menggandakan jumlah bantuan kemanusiaannya menjadi 393,34 juta dolar, sebagaimana cuitan Menlu Inggris, Dominic Raab. Bahkan sejumlah warga Inggris telah menyediakan Rumah Sementara bagi para pengungsi.
Begitu juga dengan Perancis yang siap menerima pengungsi dari Afghanistan. Emmanuel Macron ikut bertindak dan merespon positif meski tetap berpegang pada pentingnya melindungi Eropa dari imigran gelap dan hal-hal yang memungkinkan terjadinya penyelundupan. Tapi setidaknya 11 kota besar di Perancis siap menerima pengungsi Afghanistan dengan bermartabat.