Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hijrah Itu Keren, tapi...

11 Agustus 2021   11:16 Diperbarui: 11 Agustus 2021   11:52 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hijrah adalah fitrah. Siapapun akan selalu menginginkan kebaikan dan yang terbaik untuk dirinya, keluarganya, dan lingkungannya. Semangat untuk hijrah (mestinya) dimiliki oleh semua orang sebab hijrah adalah momentum perubahan, baik fisik, psikologis, perilaku, dan kebiasaan. Semetara perubahan harusnya hanya untuk kebaikan, kemajuan, dan kebermanfaatan.

Itulah kenapa tahun baru hijriyah selalu dimaknai sebagai perubahan sebab dari asal kata dan sejarahnya saja sudah menggambarkan soal perpindahan. Jika dulu adalah hijrahnya Nabi Muhammad bersama sahabat Abu Bakar dari Makkah ke Madinah (Yatsrib), maka secara kontekstual hijrah lalu dimaknai sebagai perpindahan dan perubahan ke arah yang lebih baik.

Semangat inilah yang kemudian menjadikan hijrah bukan lagi soal waktu, tapi kapanpun dan dimanapun. Ia bisa terjadi setiap hari, bahkan setiap detik. Sesuai keinginan hati, yang terus berbolak-balik.

Itulah kenapa dalam hadits Nabi bersabda, bahwa yang hari ini lebih buruk dibandingkan kemarin itu celaka, yang hari ini sama dengan yang kemarin itu rugi, yang hari ini lebih baik dari yang kemarin itulah yang beruntung. Artinya, perubahan menuju kebaikan adalah keniscayaan tanpa henti. Terus menerus sampai mati.

Dari yang malas, menjadi lebih rajin. Dari yang suka tidur pagi, lalu bangun olah raga atau jalan-jalan keliling kampung. Dari yang suka telat shalat, berubah untuk bergegas. Dari yang suka bohong, belajar untuk lebih jujur. Dari yang suka ngerasani dan gosip, berpikir untuk berhenti dan jaga mulut. Intinya, dari hal-hal yang sederhana, kebiasaan dan pola hidup sehari-hari saja.

Maka, ditilik dari sisi manapun, hijrah menuju kebaikan itu keren sebab akan selalu ada proses tak mudah yang kemudian menjadikan sesorang sadar, bahwa ia harus berubah. Ia tak bisa terus menerus seperti ini. Ia harus hijrah. Kadang, harus melakukan itu "berdarah-darah", meninggalkan yang sebelumnya dianggap tak terarah.

Lalu, kita tahu siapapun ingin berubah dan merubah. Artinya, secara psikologis perubahan yang terjadi pada diri ingin ditularkan pada orang lain sebagai sarana menyalurkan kebermanfaatan. Agar sama-sama melakukan hijrah dan kebaikan-kebaikan yang diyakini. Tapi, alangkah lebih baiknya agar tidak salah kaprah. Lebih-lebih langsung mencaci dan menghujat apa yang sebelumnya menjadi bagian dari dirinya.

Kita sering melihat, orang yang oleh Allah diberi hidayah, lalu hijrah dari agama tertentu menjadi seorang muslim. Tak lama kemudian, kita melihat ia wira-wiri di media sosial menceritakan soal proses hidayahnya yang heroik dan monumental, sambil sesekali jelek-jelekin bekas agamanya dan mantan Tuhannya. Kadang secara satir, kadang juga terang-terangan. Ngenyek, kata orang Jawa. Sebentar kemudian ia menjadi pendakwah, penceramah. Gelarnya ustadz.

Kita juga sering melihat, orang yang oleh dibuka pintu hatinya lalu memilih meninggalkan dunia gelap dan premanisme menuju hamba rajin ibadah. Tak lama, ia menceritakan proses hijrahnya dari satu medsos ke medsos lainnya. Terkenal. Lalu ngomong asal dan kasar soal profesi sebelumnya yang ia tekuni, seolah lucu tapi menyakitkan bagi teman-temannya yang belum hijrah. Sebentar kemudian, serentak memggelarinya ustadz. Diundang sana-sini untuk menjadi penceramah.

Lalu, yang sangat sering kita dengar saat artis-artis melakukan hijrah. Dari yang asalnya terbuka lalu mengenakan hijab, atau mulai rutin menggunakan kopiah, baju koko, bercelana cingkrang dan berjenggot, serta meninggalkan profesi sebelumnya sebagai artis atau memoles keartisannya dengan cara yang lebih baik dan sesuai ajaran agama. Sebentar kemudian, netizen menggelarinya ustaz/ustazah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun