Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terorisme dan Bisnis Syariah Bodong Semakin Merusak Citra Islam

29 November 2019   00:30 Diperbarui: 29 November 2019   12:26 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
m.liputan6.com & diskartes.com

Islam yang rahmat tercoreng karena perilaku mereka yang menyimpang dari keluhuran nilai-nilai beragama. Tak hanya semakin tercoreng, saudara umat Islam yang lain juga ikut tertarik dalam pusaran mengerikan yang tak semestinya terjadi. Sederhananya, "kekhawatiran" berlebihan terhadap cadar dan cingkrang yang muncul akhir-akhir ini, salah satunya, disebabkan oleh kebiasaan para teroris menggunakan cadar dan cingkrang saat melakukan aksi.

Dengan realitas seperti itu, menyedihkan bagi kita ketika melihat umat Islam yang benar-benar murni melaksanakan ajaran agamanya dengan cara bercadar dan cingkrang, kemudian ikut menjadi "tertuduh" dan hidup dalam kewaspadaan serta kecurigaan orang lain hanya karena saudara seagamanya memiliki keyakinan berbeda: ekstrim dan radikal lalu menjadi bagian dari gerakan terorisme.

Andai saja saat mereka melakukan tindakan terorisme tidak menggunakan cadar atau celana cingkrang, barangkali tak terlalu berakibat fatal. Kalau perlu gunakan saja baju tank top, baju-baju you can see, saat melakukan aksi. Tampil saja secara berani, toh, data diri mereka juga akan terbongkar oleh negara, pada akhirnya. Seru kali ya!

Lah, ini. Dalam setiap kejadian, pelaku perempuannya bercadar dan pelaku prianya bercingkrang juga. Berjenggot pula. Klop. Sinisme dan apatisme terhadap mereka yang bercadar dan bercingkrang semakin menguat, padahal banyak umat Islam yang lain yang secara tulus dan murni hanya ingin menjalankan perintah agamanya. Tak lebih dan tak kurang.

Mereka bercadar, bercingkrang, memelihara jenggot, dan simbol-simbol keislaman lainnya memang murni untuk menjalankan ajaran Islam yang diyakininya, tanpa berperilaku ekstrim dan radikal, kemudian ikut menderita dan menanggung beban karena ulah saudara seimannya yang "tergelincir" dan menjadi kaku dalam memahami teks agama sehingga memilih menjadi ekstrim ekstrimis.

Kedua, apa saja kalau sudah menjadikan agama sebagai bagian dari promosi dalam bisnis, akan mudah diterima, bahkan diapresiasi. Apalagi ditambah dengan narasi-narasi menggugah soal kepatuhan beragama, syar'i, demi Islam, menjalankan Islam yang kaffah, beramal demi agama, padahal tujuan sebenarnya adalah murni bisnis semata. Termasuk di dalamnya investasi, simpan pinjam, travel dan pariwisata syar'i, dan lain sebagainya.

Kembali pada Islam yang kaffah. Tidak ada bunga. Tidak ada riba. Kerap menjadi jualan manis pelipur lara sembari menjelekkan Bank Konvensional, bahkan yang sesama syari'ah tapi tak sesuai dengan madzhab mereka.

Sebagai orang Islam, semangat untuk Islamisasi adalah keniscayaan. Perekonomian berdasarkan prinsip-prinsip keislaman harus menjadi solusi untuk menghadapi kapitalisme, sosialisme, serta isme perekonomian lain yang tak kunjung menjadi solusi. Islam harus menjadi solusi dari perekonomian dunia, karena Islam memiliki sejarah manis tentang semua itu.

Muncullah kemudian istilah ekonomi syari'ah, yang mampu melepaskan diri dari kungkungan riba, ketidak adilan, dan ketimpangan. Sebagai turunannya, muncul juga kemudian bisnis-bisnis syar'i yang kini banyak ditemui. Investasi syari'ah, travel dan pariwisata dengan pengelolaan syar'i, hotel syar'i, bahkan pakain syar'i. Semuanya serba syar'i, termasuk respon Bank konvensional yang kemudian membuat versi syari'ah seperti BCA Syari'ah, BNI Syari'ah, BRI Syari'ah, dan lain sebagainya.

Permasalahannya adalah, semangat kebangkitan ekonomi Islam itu dirusak oleh oknum-oknum tertentu yang kerap menjual istilah syari'ah padahal tujuan utamanya lebih cenderung mendekati serakah. Tipu-tipu menggunakan diksi dan iklan yang "suci" tapi aslinya tak lebih profesional dibandingkan yang konvensional.

Apa contohnya? Baru saja, Polda Metro menangkap pengembang Rumah Syariah yang menggelapkan uang sekitar 23 miliar. Iklannya sama, tanpa bunga dan bersih dari praktik riba. Penangkapan ini tak berapa lama setelah publik dikagetkan dengan kejadian serupa, yaitu bisnis investasi Kampoeng Kurma. Meski diakui tak ada embel-embel syari'ah disitu, tapi melalui promosi iklan habis-habisan di medsos serta penggunaan tokoh-tokoh agama dalam meng-endorse (seperti alm. Ustad Arifin Ilham dan Ust. Ali Jaber) menjadi nilai jual tersendiri dalam menggaet "korban".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun