Seperti sebuah pernikahan, bahwa yang penting itu adalah komitmen untuk membangun keluarganya, bukan resepsinya. Komitmen itu berbicara esensi, sementara resepsi lebih bersifat sensasi.
Begitu pula yang perlu diperhatikan dari berakhirnya kepemimpinan Jokowi sekaligus bermulanya jam kerja periode keduanya, bahwa yang penting adalah komitmen untuk membangun dan memajukan bangsanya yang terejawantahkan melalui, salah satunya, penyusunan kabinet dan para pembantunya.
Sederhana sekali, bahwa optimisme rakyat Indonesia terhadap kepemimpinan periode kedua Jokowi sebagai presiden, yang didampingi oleh KH. Ma'ruf Amin sebagai Wapresnya, dibangun dan bergantung pada bagaimana susunan kabinet dan komposisi menteri yang akan membantunya selama lima tahun ke depan. Bukan pada sisi serimonial prosesi pelantikan, tasyakuran, pawai, atau apapun kemeriahan yang telah dipersiapkan sedemikian rupa.
Sebabnya, Jokowi masih memiliki banyak hal yang telah dijanjikannya tapi belum dipenuhi --kecuali itu sudah dianggap selesai sebagaimana selesainya tugas periode pertama-- sebagian sudah dan sedang dikerjakan, dan tentu saja janji kerja baru yang disampaikannya pada masa kampanyen kemarin. Banyak hal yang mesti dipikirkan, dikerjakan, dan itu jauh lebih urgen dibandingkan seremonial.
Perekonomian yang tak cukup baik, meski dengan dalih tidak stabilnya perekonomian global, karena tak mencapai target; kehidupan sosial yang kemudian mudah dipantik untuk menjadi kekerasan; korupsi; penyelesaian kasus pelanggaran HAM; persoalan hukum yang tak cukup memuaskan rasa keadilan.Â
Banyak persoalan-persoalan kebangsaan yang tak mungkin disebutkan satu-satu persatu, terutama ketika berbicara janji-janji politiknya 5 tahun lalu. Masih jauh panggang dari apinya.
Secara politik, setelah melalui pergulatan dan kehebohan panjang, pelan-pelan Jokowi berhasil meredakan. Menguat saat Pilpres, tapi adem ayem dan rekonsiliatif setelahnya.Â
Kenapa kabinet dan menteri itu menjadi penting dalam konteks menumbuhkan optimisme dan tak merayakan hal-hal yang seremonial? Karena kita tahu, bahwa keberhasilan dan kegagalan Jokowi akan ditentukan oleh siapa-siapa yang berada di dekatnya, pembantunya, dan para pembisiknya. Dalam lima tahun perjalanannya kemarin, rakyat menyadari betul peran itu.
Susunan kabinet Jokowi haruslah diisi orang-orang yang tepat, bisa bekerja, dan memiliki komitmen. Tidak bisa hanya tampak sebagai bagi-bagi kursi bagi pihak-pihak yang telah berkeringat. Sah-sah saja mengakomodasi partai, sebenarnya, tapi harus diberikan pada sosok yang sesuai kebutuhan, bukan hanya untuk jatah-jatahan.
Tak perlu juga Jokowi tersandera oleh keinginan partai, sebagaimana tampak dalam beberapa lakon yang diperankan kemarin. Tak perlu juga merasa didesak karena ada keinginan agar Milenial menduduki kursi menteri, kecuali benar-benar sosok yang tepat.Â
Kalau hanya sekadar memenuhi "kursi Menteri milenial" sementara sosok yang diangkat tidak tepat apalagi hanya mempertimbangkan saran partai-partai koalisi, lebih baik tidak usah. Toh, Menteri milenial itu tak genting dan tak penting-penting amet.
Jokowi juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan, bahwa para pembantunya di Kabinet adalah benar-benar orang yang tepat dengan kemampuan dan kerja yang hebat.Â
Tak banyak berkomentar, tapi banyak membuktikan. Selain itu, suasana kekompakan juga harus dibangun sehingga tak ada lagi kesan silang-sengkarut antar lembaga negara dan Kementerian sebagaimana kerap menjadi sajian pada periode-periode sebelumnya.
Tak perlu juga ada Menteri yang cenderung arogan, seolah serba tahu segala hal, yang sekali memberikan statement justru menciptakan kegaduhan. Apalagi sampai ada istilah "Menteri Segala Urusan".
Mestinya, Jokowi banyak belajar dari kegagalan-kegalannya di periode pertama, mengakui dengan legawa bahwa ada hal yang belum dikerjakan dan dipenuhi. Itu menjadi modal penting untuk memulai kepemimpinan periode keduanya. Terkecuali, sebagaimana yang lalu-lalu, ada banyak bisikan-bisikan yang tak bisa diacuhkan.
Artinya, optimisme itu tidak sama sekali tampak pada acara-acara seremonial. Kepercayaan rakyat kepada Jokowi akan terlihat dari bagaimana Jokowi memilih dan mengangkat Menteri serta bagaimana ia memperlakukan mereka dalam konteks manajemen kepemimpinan, bukan pada bagaimana acara pelantikan besok berlangsung sedemikian rupa.
Sah-sah saja sebenarnya mau "berpesta" sedemikian rupa, meluapkan gembira. Tapi jangan lupa, bagi Jokowi menjadi presiden itu adalah kerja dan derita. Luapan emosi gembira itu akan menjadi naif ketika, misalnya, justru mengecewakan susunan kabinetnya. Optimisme itu, lalu terbunuh sebelum tumbuh.
Tapi, menarik kita tunggu. Hari Minggu, jangan lupa berlibur dan bahagia.
Salam
Mustafa Afif
Kuli Besi Tua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H