Pelaksaan perluasan kawasan ganjil-genap (gage) di beberapa jalan utama di Jakarta telah resmi dimulai. Meski sudah melalui proses sosialisasi dan uji coba yang lumayan panjang, masih banyak yang masih terjaring razia.Â
Dikabarkan, pada hari kedua kemarin, polisi masih menilang setidaknya 1.761 kendaraan, berdasarkan jumlah akumulasi SIM dan STNK yang ditahan. Termasuk juga mereka yang mengganti dengan pelat nomor palsu.
Kebijakan perluasan yang meliputi 25 ruas jalan dan 28 simpang masuk-keluar jalan tol ini, selain dipandang sebagai strategi untuk mengurai tingkat kemacetan, juga tak bisa dilepaskan dari upaya Jakarta untuk mengurangi polusi udara yang semakin menyiksa, terutama ketika beberapa waktu lalu, Jakarta "dihajar" secara nasional karena kondisi udaranya yang menjadi terburuk di dunia.
Selain itu diharapkan juga munculnya kesadaran untuk kembali pada kendaraan umum, terutama ketika ada beberapa perbaikan pembangunan untuk menunjang kenyamanan para pengguna: angkot ber-AC, integrasi moda transportasi umum, TransJakarta, dan tentu saja yang paling modern: MRT.
Bagaimana hasilnya? Variatif, tergantung sisi mana yang mau dilihat. Menurut Dishub DKI Jakarta, dalam sebuah wawancara di Kompas TV, terjadi penurunan volume kendaraan hampir sekitar 25%.Â
Hal ini juga diakui oleh Polda Metro. Dari beberapa pengamatan, memang terjadi kelengangan dan kelancaran di jalan-jalan yang terkena aturan ganjil-genap seperti di Jalan Pramuka, Jalan Fatmawati, dan Jalan Gunung Sahari, misalnya. Kecepatan berkendara juga meningkat dari 25,6 km/jam hingga 28,16 km/jam.
Masalahnya, kemacetan memang berkurang di jalan-jalan yang terkena imbas perluasan ganjil-genap tapi bertambah parah di jalur-jalur alternatif, seperti Jln. Antasari, kawasan Grogol dan Roxy. Artinya ada efek balon: ditekan disini, melembung disana. Indah di tempat tertentu, tapi acakadut dan tempat lainnya. Jalan sini, tampak begitu eksklusif, sementara jalan sana, semakin berisik dan polutif. Begitulah sebuah kebijakan, memang.
Lalu bagaimana dengan polusi udara? Tiga hari pasca pemberlakuan perluasan ganjil-genap, kualitas udara DKI berada pada kategori tidak sehat menurut parameter US Air Quality Index (AQI US), atau dengan parameter konsentrasi polusi PM 2.5 sebesar 81 g/m dengan kelembapan 83 persen dan kecepatan angin 5,4 km/jam (liputan6.com), namun kenyataan ini terdengar "absurd" kalau dikaitkan dengan kebijakan yang masih terlampau baru.
Polusi di Jakarta itu bukan soal sederhana karena sudah berlangsung lama. Lucu juga mengharapkan penyakit kronis sembuh hanya dengan 1-3 kali suntikan.Â
Artinya, agak kurang nyambung ketika mengaitkan peringkat tiga dunia karena kualitas udara tidak sehat di Jakarta dengan kebijakan perluasan ganjil genap yang hanya 9 jam, seakan masalah tersebut bisa diselesaikan secara kilat, sekali ucap "abrakadabra". Jadi, ditunggu saja. Udara itu fluktuatif.
Bagaimana dengan kesadaran untuk menggunakan transportasi umum? Penumpang MRT dan TransJakarta, memang mengalami peningkatan, tapi itu belum tentu disebabkan oleh kebijakan perluasan.Â