My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins, adigium terkenal dari Manuel L Quezon, hanyalah omong kosong di Republik ini.
Karena lebih mementingkan pertimbangan politik, maka sebuah kebijakan kerap ditentukan oleh akrobat politik; soal dukung-mendukung untuk menguasai parlemen dan polarisasi koalisi-oposisi tetap memiliki peran yang permanen.
Kalau partai koalisi pendukung pemerintah menang, kebijakan dilanjutkan. Sebaliknya kalau kalah, oposisi yang memainkan peran. Meskipun yang terakhir ini jarang.
Para legislator pun kerap hanya menjadi tim sorak-sorai yang membela atau nyinyir pada pemerintah secara tak karuan, dipaksakan, dan asal-asalan. Pokoknya dibela saja. Pokoknya dihajar saja. Soal alasan, mudah dicarikan rasionalisasi dan pembelaan.
Mungkin karena inilah kita jarang melihat Adian Napitupulu, Budiman Sujatmiko, Johnny Plate, dan komplotanmya menyinggung atau melakukan kritik konstruktif terkait kebijaka "miring" pemerintah sebagaimana kita jarang melihat Fadli Zon, Fahri, dan komplotannya memuji proporsional pekerjaan pemerintah yang tak mungkin semuanya salah.
Dalam banyak kepentingan, mereka kerap tak menjadi wakil rakyat dan konstituennya. UU ITE, misalnya. Undang-undang yang menjadi sumber keresahan karena pasal karet yang mudah dipelintirkan itu tetap dilanjutkan.
Mereka kadang mengutuk pemerintah karena "asal lapor" dan "asal tangkap" sekaligus pada saat yang sama menerima manfaat karena bisa melaporkan yang dianggap tidak sejalan.
Termasuk juga kontrol yang diabaikan karena BPJS Kesehatan tetap dinaikkan meskipun dikecam habis-habisan. Lalu dimanakah sebenarnya posisi rakyat? Apakah mereka masih wakil rakyat yang terhormat? Tapi yang jelas mereka adalah wakil partai, 1000%!.
Karena itulah tingkat kepercayaan rakyat pada lembaga ini begitu rendah. Pada bulan Juli tahun lalu ada di posisi bawah, sementara pada bulan Agustusnya, tingkat kepercayaan terhadap lembaga ini meningkat signifikan. Mereka lalu merayakan, padahal mestinya, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini harus mutlak 100%.
Logikanya, Presiden dan Wakil Presiden, wajar kalau tingkat kepercayaannya tidak mutlak karena keduanya ada yang memilih, ada pula yang tidak. Sementara legislator itu terpilih karena perolehan suaranya.
Mestinya tingkat kepercayaannya mutlak, karena mereka menjadi wakil rakyat. Kalau kemudian berkurang, mungkin saja ada perubahan sikap pada rakyat atau bisa juga karena mereka (sebenarnya) tidak dipilih oleh rakyat. Lalu siapa yang milih, dong?