Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dunia Digital: Membangkitkan Lagu Daerah bagi Kaum Milenial

28 Agustus 2019   20:53 Diperbarui: 29 Agustus 2019   01:16 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, sekitar 17-19 tahun yang lalu, lamat-lamat masih saya dengarkan Yamko Rambe Yamko, lagu daerah Papua dan Ampar-ampar Pisang dari Kalimantan Selatan. 

Saya yang tinggal di kampung nun jauh di Madura sana, saat itu, dengan keterbatasan yang ada karena hanya ada televisi sebagai sarana masih bisa mendengarkan beberapa lagu daerah dari daerah-daerah yang lainnya di Indonesia. Tentu saja Kicir-kicir sebagai salah satu lagu derah Ibu Kota, Jakarta.

Sedikit-sedikit, dengan lirik yang asal karena hanya mendengarkan, bisa juga menirukan dan menyanyikannya. Paling apesnya tahu lagu dan menirukannya tanpa lirik alias hanya menggerutu. Ber-hmm, hmm, hmm, seperti Nisa Sabyan.

Namun realitasnya, saat ini lagu daerah semakin payah. Nasibnya, bahkan lebih tragis dibandingkan lagu anak dan digadang-gadang akan segera punah. Jarang sekali kita mendengar lagu "Gundul-gundul Pacul" dari Jateng, "Anak Kambing Saya" dan "Potong Bebek Angsa" dari NTT, "Sinanggar Tullo" dari Sumut, atau mungkin "Soleram" dari Riau. Bahkan lagu "Rasa Sayange" dari Maluku harus "dibajak" oleh Malaysia dulu baru dihebohkan seantero. Setelah kembali ke pangkuan, lagi-lagi dilupakan.

Wajar saja sebenarnya jika itu terjadi sebab hal itu seakan mudah diprediksi. Lagu daerah telah menjadi barang aneh dan mulai terlupakan, bahkan oleh putra-putra daerahnya sendiri. Ia akan menjadi barang langka, serupa ornamen yang hanya bisa dinikmati pada momen-momen tertentu saja. Semakin menyedihkan ketika bangsa ini mulai lupa, justru bangsa lain yang mengingatnya. Mengapresiasi lagu daerah dalam bentuk orkestra. Bisa dibaca disini (4 Lagu Daerah Mendunia)

Lagu daerah ditenggelamkan oleh lagu-lagu yang berhasil menjajah para milenial melalui dunia digital. Sebuah fenomena yang jamak ditemui ketika kebudayaan lokal ditindas oleh kebudayaan impor yang datang dengan aura lebih "menjanjikan" dan menyenangkan sekaligus menyedihkan, pada sisi tertentu. Seakan ada "pembiaran".

Justru itu masalahnya kenapa tak banyak milenial yang bisa menikmati lagu daerah dengan sebegitunya karena lagu daerah tak berbicara soal, yang dianggap lekat dengan, kehidupannya seperti cinta, misalnya. Ia tidak seperti lagu lain dengan susunan kata mendayu-dayu yang bisa dipersembahkan untuk pujaan hati, misalnya. 

Kebanyakan milenial, dengan insting musik kekinian cenderung lebih menyukai sesuatu yang menyentuh hatinya, sementara lagu daerah cenderung berbicara soal sejarah. Tak ada "feel" disana, tak menyentuh bagi mereka. Lagu daerah kerap berbicara makna yang dalam, memang, tapi pada sisi yang tidak diinginkan oleh kaum milenial.

Padahal dengan pesatnya perkembangan dunia digital, mestinya itu membuka peluang untuk memperkenalkan lagu-lagu daerah menjadi lebih bergairah. Dengan menjamurnya generasi milenial yang akrab dengan industri 4.0, harusnya ada kesempatan yang lebih banyak untuk membangkitkan lagu daerah dari ketak-berdayaannya.

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Pertama, pentingnya dukungan dari pemerintah melalui Kemenpar, Kemendikbud, BeKraf, dan Pemerintah Daerah masing-masing. Dukungan ini menjadi mutlak diperlukan karena pada merekalah kebijakan untuk membangkitkan lagu daerah itu ditemukan. Mereka memiliki cara melalui regulasi dan aturan perundang-undangan saat yang lain hanya bisa mengajukan dan mengusulkan. 

Mereka pulalah yang memiliki kuasan anggaran untuk menciptakan program bagaimana lagu daerah bisa dikembangkan. Korean Wave melalui K-Pop dan Drakor adalah contoh terbaik bagaimana investasi negara dalam hal kebudayaan membuahkan hasil yang memuaskan.

Promosi adalah hal yang bisa dilakukan melalui kanal-kanal media yang bisa diakses dengan mudah. Kerjasama dengan para musisi dan artis terkenal untuk mengangkat level lagu daerah sekaligus dengan aransemen yang terbarukan, bisa menjadi jalan. Jika dulu dinyanyikan oleh anak-anak, saatnya lagu daerah dinyanyikan secara lebih "layak" dengan penyanyi berkualitas atau diperkenalkan dengan cara yang lebih berkelas melalui musik orkestra, misalnya.

Tak hanya sampai disitu, dukungan pemerintah sangat diperlukan terutama karena mereka-lah yang bisa dengan mudah memperkenalkan lagu daerah melalui acara-acara formal maupun non-formal. Kita bisa belajar dari Gemu Fa Mi Re yang pernah viral dan dinyanyikan dimana-mana. Selain karena lagunya yang membawa kebahagian, Gemu Fa Mi Re juga asik ketika ditambah dengan tariannya yang khas.

Dalam konteks ini, bukan hanya soal viralitasnya yang mencuat tapi karena ia, bahkan sering dibawakan ketika ada acara-acara non-formal kepemerintaha seperti apel misalnya. Tentu saja kita masih ingat bagaimana Puan Maharani, Menko PMK, dan puluhan pejabat lainnya ikut menyanyi dan menari pada Pekan Kerja Nyata Revolusi Mental 2017. Baca disini (Gemu Fa Mi Re).

Maka, mestinya peran itu semakin digalakkan oleh pemerintah dengan memperkenalkan lagu-lagu daerah secara lebih massif, terutama akan semakin efektif ketika itu dilakukan diruang-ruang pendidikan dengan cara memperkenalkan atau mungkin mewajibkan hafal lagu daerah masing-masing.

Kedua, kreativitas dengan aransemen ulang lagu. Sebuah lagu bisa disukai, salah satunya, karena aransemennya yang bisa dengan mudah diterima oleh telinga. Lagu-lagu yang awalnya tidak disuka bisa berubah menjadi suka ketika aransemennya digubah. Akan semakin berbeda tingkat penerimaan masyarakat ketika yang menyanyikannya adalah penyanyi-penyanyi berkelas. Para musisi, seniman, dan pekerja seni menjadi kunci pada poin ini.

Konsep menyanyi "All Artist" juga menjadi cara yang jitu sebagaimana telah dilakukan pada lagu "Rayuan Pulau Kelapa" atau "Indonesia Pusaka". Banyak orang yang telah memulai dengan cara meng-cover lagu nasional dan terbukti lebih asik dan nyaman didengar dengan aransemen dan penggunaan genre musik baru. Hal yang sama juga perlu dilakukan untuk lagu-lagu daerah.

Kita perlu mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Bagus Nugroho, seorang Youtuber sekaligus sering meng-cover lagu, yang menyanyikan beberapa lagu daerah secara medley. Apa yang dilakukannya keren, menurut saya. Dengan aransemen berbeda dan sederhana, ia bisa menggabungkan beberapa lagu daerah menjadi lebih "diterima" di telinga siapa saja. Silahkan nikmati video-nya disini (Budi Nugroho - Medley Lagu Daerah).

Ketiga, optimalisasi media. Ini tak bisa lagi ditawar. Dunia digitalisasi yang begitu pesat dengan akses media yang cepat menjadi momentum untuk memenuhi ruang publik dengan lagu-lagu daerah. 

Sejak memasuki apa yang disebut dengan industri 4.0, dunia mulai bergeser. Generasi terbarukan, yang lebih dikenal dengan generasi milenial, memiliki cara tersendiri untuk bisa menghadapi "kenyataan", bahkan di alam penuh kepalsuan berupa medsos dan internet.

Media berperan penting dalam menunjang viralitas sebuah konten. Ruang-ruang media sosial perlu dimasuki untuk menyamakan frekuensi dengan perkembangan para milenial. Kesamaan frekuensi inilah yang nantinya akan memudahkan mereka menerima dan menyukai lagu daerah. 

Pada titik inilah, dunia digital menjadi sarana yang paling pas untuk membangkitkan lagu daerah dan memungkinnya untuk lebih diterima, terutama oleh generasi sekarang dan selanjutnya.

Ada Facebook, IG, Whatapps, Youtube, dan media sosial lain yang bisa dijadikan kanal. Bahkan mungkin dengan aransemen yang terbarukan, lagu daerah bisa masuk ke game-game online ciptaan anak-anak negeri. Lagu daerah juga bisa masuk dan dipromosikan di film-film layar lebar.

Ketiga hal tersebut tidak berdiri secara parsial. Satu dan yang lainnya harus saling mendukung dan diupayakan secara berkesinambungan sehingga menjadi good will bersama untuk membangkitkan dan memajukan lagu daerah. 

Berkah digitalisasi yang semakin maju mestinya menjadi momentum untuk kembali mencintainya; untuk kembali menembang lagu daerah bagi para kaum milenial karena mereka yang akan melanjutkan tongkat estafeta sebagai penjaga dan pemelihara kekayaan budaya bangsa. Pemerintah hanya perlu merangsang, selanjutnya biarkan anak bangsa ini bekerja.

Sebelum diakhiri, mari kita bertanya pada diri kita masing-masing, "kapan terakhir kali kita mendengar atau menyanyikan lagu daerah? Lagu daerah mana yang masih diingat?" Cukuplah menjawab di hati saja.

Salam,

Mustafa Afif

Kuli Besi Tua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun