"Hari ini. 17 Agustus 2019. Di Indonesia dan di mana-mana, bendera Merah-Putih berkibar dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan.
Dan sore ini, dari Go Dau Stadium, Ho Chi Minh City, Vietnam, kita melihat Merah-Putih dibentangkan dan Indonesia Raya dinyanyikan ketika Timnas U 18 kita berlaga di semi final melawan Timnas U 18 Malaysia.
Apa yang kita rasakan saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan? Apa yang kita rasakan saat melihat wajah David Maulana, Bagas-Bagus, dan lainnya begitu khusyuk?"
Seberapa gereget lagu Indonesia Raya di hati kita? Seberapa kuat ia membuat kita bergetar dan luruh dalam rasa haru? Atau, pernahkah suatu ketika, sekali saja dalam hidup kita merasakan satu perasaan yang tak bisa dijelaskan saat lagu kebangsaan dan kebanggaan itu dinyanyikan?
Jawabannya beragam. Tentu saja subjektif-personal, sesuai pengalaman. Tapi yang jelas, entah bagaimana prosesnya, dalam setiap menyanyikan lagu Indonesia Raya, seperti ada kekuatan magis yang mendorong kita untuk semakin cinta pada bangsa ini. Tak jarang pula, pada titik tertentu, ada air mata bahagia yang menetes tak sengaja.
Jika perasaan itu masih ada, mungkin saja itu pertanda, bahwa rasa "nasionalisme" kita masih tersisa. Meski tak sesimpel itu untuk mengetahui kecintaan seseorang terhadap bangsa ini, tapi setidaknya, dengan kecamuk bahagia dan bangga saat ia dinyanyikan, kita tahu bahwa rasa nasionalisme itu tetap terjaga.
Selain saat dinyanyikan dalam acara formal, lagu Indonesia Raya menemukan daya magisnya yang paling "liar" saat dikumandangkan dalam momen-momen yang sifatnya perjuangan, membawa, menjaga dan mengharumkan nama baik bangsa di ajang-ajang internasional.
Kita, yang tak mampu berbuat banyak untuk mengisi kemerdekaan ini, kadang suka mbrebes mili saat lagu itu dinyanyikan, apalagi bagi mereka yang sudah melakukan sesuatu yang berharga, berprestasi, dan ikut memberikan sumbangan bagi bangsa ini.
Maka tidak aneh ketika Susy Susanti dulu berlinang air mata saat lagu Indonesia Raya dan bendera Merah Putih berkibar di Olimpiade Barcelona. Taufik Hidayat juga pernah merasakannya, termasuk Timnas U-19, pada 2012, dan para peraih Olimpiade Sains dan kejuaraan internasional lainnya.
Pernahkah nonton langsung pertandingan timnas sepak bola di lapangan dan merasakan bagaimana gemuruh suara lautan manusia menyanyikan lagu Indonesia Raya? Tak jadi soal bagaimana timnas kita berlaga, tapi saat lagu itu dikumandangkan, serasa ada yang bergetar dan membuat kita selalu merinding.
Waktu perhelatan AFF 2010, saya tak melihat langsung, tapi tulisan jenius Zen RS dalam "Simulakra Sepakbola"-nya seperti membuat kita sadar, bahwa lagu kebangsaan kita benar-benar memiliki daya magis yang luar biasa, dan itu hampir bisa dipastikan akan selalu dirasakan saat momen-momen besar, bersejarah, dan berharga bagi bangsa ini.
Kita yang bukan apa-apa dan tak berbuat apa-apa, hanya menyaksikannya melalui televisi atau membacanya melalui berita, keesokan harinya, selalu merasa terhipnotis. Menularkan semangat, haru dan bahagia, rasa cinta dan bangga pada bangsa ini. Apapun yang terjadi.
Sejenak, saat ia dinyanyikan, semua masalah bangsa ini seperti terlupakan, berganti keharuan sekaligus kegetiran karena kita masih belum berbuat banyak untuk memajukan negara tercinta ini.
Kita tak bisa membayangkan bagaimana proses pembuatannya, tapi yang jelas selalu ada hal luar biasa untuk sebuah karya yang luar biasa. Secara deskriptif-komprehensif, apa yang dialami WR. Soepratman belum bisa dijlentrehkan.Â
Tapi sebagai sebuah karya besar, hampir pasti ia mengalami apa yang disebut banyak orang sebagai "tirakat". Sebuah masterpiece, selalu didahului tidak hanya proses kreatif tapi sekaligus proses "magis", mungkin saja perjalanan spiritual atau emosional. Karena itulah, karya besar selalu mampu bertahan.
Imam Maliki, Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Hanbali hingga generasi Imam Nawawi. Dari Ibnu Arabi, Ibnu Sina, hingga Ibnu Khaldun. Semuanya memiliki karya-karya besar yang kerap didahului oleh sebuah masa bernama "perenungan", tak pernah ujug-ujug dan sekali jadi.Â
Da Vinci, Picasso, Coelho, Sartre, Tolstoy, juga pernah melakukannya. Proses kreatif yang tak pernah sederhana. Termasuk juga Chairil Anwar, Mochtar Lubis, hingga Rendra, Zawawi Imron, dan KH. Mustofa Bisri pun, barangkali mengalami hal yang sama. Begitu pula dengan orang hebat lainnya dan karya yang dihasilkannya.
Mungkin disitulah karya WR. Soepratman itu berada. Berjejer dengan sederet karya besar lainnya. Karena itulah, dalam setiap dendang, ia mampu memporak-porandakan apa yang ada dalam dada. Masuk dan meresap hingga tak tersisa.
Maka, dalam momentum sangat berharga ini, 17 Agustus 2019, usia kemerdekaan kita genap 74 tahun, perlu kita tanyakan sekali lagi, sebarapa gereget lagu Indonesia Raya di hati kita? Dengan segenap rasa atau biasa-biasa saja?Â
Betul, ini buka simplifikasi satu-satunya atas rasa cinta sebab bisa saja orang biasa-biasa saja saat menyanyikan tapi sebenarnya ada cinta dalam dirinya, tapi setidaknya, dengan segenap rasa yang ada itu menunjukkan nasionalisme kita masih tersisa, tetap terjaga.
Selain momentum untuk memupuk rasa nasionalisme, kecintaan, menghargai jasa-jasa para pejuang dan pahlawan, hari kemerdekaan ini adalah hari kebahagiaan. Hari di mana segenap elemen bangsa ini, dari Sabang hingga Merauke melakukan perayaan.Â
Kita bersyukur karena kita menjadi bangsa yang paling tahu cara bahagia saat hari kemerdekaan menyapa. Mungkin menjadi hari perayaan paling seru, heboh, asik dan unik di dunia. (Baca juga: Cerita Agustusan, Kita Tak Perlu Risau!)
Dari kampung ke kota, kita melihat bendera berkibar, hiasan merah-putih terpasang di mana-mana dalam berbagai bentuknya. Berbagai perlombaan digelar, semua terlibat dan ikut merasakan. Kebersamaan. Gotong royong.Â
Di jalan, di kampung, semuanya menjadi ramai. Satu pengecualian yang biasanya cenderung senyap: perumahan elite dengan pagar selalu tertutup. Kelompok yang suka berbicara persatuan, tapi lupa merawat kebersamaan atas nama privasi.
Damai berdampingan dalam perbedaan. Ada friksi, memang, tapi semuanya tak mengurangi semangat persatuan dan kesatuan bangsa ini. Lalu atas dasar apa ketika ada pihak-pihak tertentu yang ingin merusak suasana kebahagiaan ini? Apa yang ada dalam benak mereka ketika ingin mengacaukan kedamaian seperti ini?Â
Apa yang merasuki mereka yang ingin mengganggu kebhinnekaan kita dalam bingkai Pancasila? Mungkin saja, mereka tak pernah menghayati lagu Indonesia Raya dan tak pernah greget ketika menyanyikan atau mendengarnya, sekali saja dalam hidupnya.
Mungkin juga mereka itu tak pernah merasakan bahagia saat merayakan kemerdekaan ini melalui semangat yang terpancar dalam acara-acara Agustusan.
Mungkin.
Salam
Mustafa Afif,
Kuli Besi Tua
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI