Kita yang bukan apa-apa dan tak berbuat apa-apa, hanya menyaksikannya melalui televisi atau membacanya melalui berita, keesokan harinya, selalu merasa terhipnotis. Menularkan semangat, haru dan bahagia, rasa cinta dan bangga pada bangsa ini. Apapun yang terjadi.
Sejenak, saat ia dinyanyikan, semua masalah bangsa ini seperti terlupakan, berganti keharuan sekaligus kegetiran karena kita masih belum berbuat banyak untuk memajukan negara tercinta ini.
Kita tak bisa membayangkan bagaimana proses pembuatannya, tapi yang jelas selalu ada hal luar biasa untuk sebuah karya yang luar biasa. Secara deskriptif-komprehensif, apa yang dialami WR. Soepratman belum bisa dijlentrehkan.Â
Tapi sebagai sebuah karya besar, hampir pasti ia mengalami apa yang disebut banyak orang sebagai "tirakat". Sebuah masterpiece, selalu didahului tidak hanya proses kreatif tapi sekaligus proses "magis", mungkin saja perjalanan spiritual atau emosional. Karena itulah, karya besar selalu mampu bertahan.
Imam Maliki, Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Hanbali hingga generasi Imam Nawawi. Dari Ibnu Arabi, Ibnu Sina, hingga Ibnu Khaldun. Semuanya memiliki karya-karya besar yang kerap didahului oleh sebuah masa bernama "perenungan", tak pernah ujug-ujug dan sekali jadi.Â
Da Vinci, Picasso, Coelho, Sartre, Tolstoy, juga pernah melakukannya. Proses kreatif yang tak pernah sederhana. Termasuk juga Chairil Anwar, Mochtar Lubis, hingga Rendra, Zawawi Imron, dan KH. Mustofa Bisri pun, barangkali mengalami hal yang sama. Begitu pula dengan orang hebat lainnya dan karya yang dihasilkannya.
Mungkin disitulah karya WR. Soepratman itu berada. Berjejer dengan sederet karya besar lainnya. Karena itulah, dalam setiap dendang, ia mampu memporak-porandakan apa yang ada dalam dada. Masuk dan meresap hingga tak tersisa.
Maka, dalam momentum sangat berharga ini, 17 Agustus 2019, usia kemerdekaan kita genap 74 tahun, perlu kita tanyakan sekali lagi, sebarapa gereget lagu Indonesia Raya di hati kita? Dengan segenap rasa atau biasa-biasa saja?Â
Betul, ini buka simplifikasi satu-satunya atas rasa cinta sebab bisa saja orang biasa-biasa saja saat menyanyikan tapi sebenarnya ada cinta dalam dirinya, tapi setidaknya, dengan segenap rasa yang ada itu menunjukkan nasionalisme kita masih tersisa, tetap terjaga.
Selain momentum untuk memupuk rasa nasionalisme, kecintaan, menghargai jasa-jasa para pejuang dan pahlawan, hari kemerdekaan ini adalah hari kebahagiaan. Hari di mana segenap elemen bangsa ini, dari Sabang hingga Merauke melakukan perayaan.Â
Kita bersyukur karena kita menjadi bangsa yang paling tahu cara bahagia saat hari kemerdekaan menyapa. Mungkin menjadi hari perayaan paling seru, heboh, asik dan unik di dunia. (Baca juga: Cerita Agustusan, Kita Tak Perlu Risau!)