Sebagai orang Madura, saya merasa sangat bahagia ketika perjalanan sepakbola di Madura berkembang tanpa dihiasi anarkisme. Belum ada ceritanya suporter Madura "perang" dengan supporter manapun.
Sampai beberapa waktu, saya senang suporter Madura tidak mengenal kata musuh bebuyutan sebagaimana Jakarta-Persib, Arema-Persebaya, dll. Suporter Madura United nyaman dengan suporter manapun. Setidaknya tontonan itu mampu mereduksi stereotype yang sekian lama berkembang soal orang-orang Madura yang kerap bikin rusuh, kasar, kaku, dan terbelakang.
Namun, (kita sebut saja oknum) suporter Madura United mulai dimasuki virus mengerikan ketika pada beberapa waktu lalu (20 Juli 2019) melakukan chants (yang dianggap) rasis dan vandal, kata-kata kasar dan sarkas. Pagi penikmat bola, tentu saja ini mengecewakan.
Oknum suporter Madura United melakukan ejekan dengan menyanyikan yeal-yeal penghinaan terhadap Arema Malang. Hal itu diperparah dengan menyalakan flare di tribun penonton saat pertandingan. Dua hal yang merusak. Menyalakan flare, tentu saja mengganggu jalannya pertandingan. Sementara meneriaki, sarkasme verbal, dan ngata-ngatai, mengganggu psikis para pemain dan suporter lawan. 90 menit pertandingan menjadi hal yang mengerikan. Berpotensi menciptakan kegaduhan.
Buntutnya, Madura United didenda 100 juta karena menyalakan flare dan hukuman percobaan bertanding tanpa penonton pada saat menjadi tuan rumah selama dua bulan sampai akhir musim kompetisi tahun 2019. Maksudnya, kalau sekali lagi suporter Madura United berulah, secara otomatis hukuman dua bulan bertanding tanpa penonton itu akan berlaku.
Banyak yang mempertanyakan soal denda itu karena dianggap berlebihan dan terlalu berat. Terutama soal rasis dan vandal yang masih ambigu. Tapi yang jelas itu merugikan. Citra suporter Madura United tercoreng karena perilaku sarkas dan tindakan yang tak perlu dilakukan.
Tak ayal, Sang Presiden, Achsanul Qosasi, meradang dan "mengamuk". Ia menumpahkan kekecewaannya melalui cuitan yang cukup panjang di Twitter. Sebab ini bukan yang pertama. Kekecewaan yang sama pernah ditumpahkan oleh Achsanul Qosasi dua tahun lalu (10 September 2017) ketika oknum suporter Madura United melakukan hal yang sama dan terhadap klub sama.
Suporter Madura United, tak perlu diragukan lagi kecintaannya terhadap Laskar Sape Kerab. Mereka hanya mengekspresikan cinta dengan cara yang salah. Tak hanya salah, kecintaan itu justru merugikan dan hukuman terhadap yang dicintainya.
Sebelumnya, memang ada sedikit friksi antara Arema dengan Madura United, tapi tak sampai pada tahap ekstrim. Biasa saja.
Dalam perjalanannya, tak ada catatan suporter Madura United bebuyutan apalagi gontok-gontokan dengan Aremania. Sebab sejarah mencatat, Aremania justru memiliki "musuh bebuyutan" Bonek (suporter Persebaya Surabaya). Masalahnya, sebagian pendukung Madura United adalah "Separuh Bonek" yang "kembali pulang" ketika Madura memiliki tim yang membanggakan. Itu tak terhindarkan.
Catatan ini bisa dilacak melalui sejarah Surabaya yang dipenuhi oleh orang Madura, terutama di daerah bagian utara. Tapi, di Malang sana, juga banyak orang Madura.