Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kali Ini, Kita Mesti Angkat Topi untuk Mahfud MD

10 Agustus 2018   11:58 Diperbarui: 5 Februari 2019   13:53 1869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasca Jokowi mengumumkan nama Cawapresnya, banyak mata tercengang ketika nama KH. Ma'ruf Amin diumumkan sebagai pendamping yang akan menemaninya bertarung pada Pilpres 2019 nanti. Banyak orang kaget ketika Kiai Sepuh --yang menjadi Rais Aam NU sekaligus Ketua MUI itu, dipastikan menjadi Cawapres dari kubu petahana. 

Tak dinyana, tak diduga. Setidaknya bagi rakyat kecil seperti saya. Detik-detik akhir yang menegangkan, mungkin meniscayakan kejutan-kejutan. Sah-sah saja, toh, memang sisi dramatisasi itulah yang, mungkin, paling menarik dari politik.

Ada yang bahagia, adapula yang kecewa. Ada yang menganggapnya langkah cerdas, ada pula mengatakan itu permainan culas. Banyak orang tidak percaya, bahwa Jokowi yang kemana-mana selalu mengatakan "kerja" kini memilih sosok yang kurang menjadi representasi dari kerja keras, semangat, dan energik. Banyak analisa sebelumnya yang menyatakan, bahwa yang paling dibutuhkan Jokowi adalah seorang teknokrat dan profesional berpengalaman, benarkah tidak ada pilihan lain, kemudian?

Akhirnya, kita kembali tersadarkan dengan satu hal, bahwa segala macam persyaratan menjadi tidak penting kecuali kepentingan: menjaga, mendongkrak suara dan menang. Maka pertimbangan politik menjadi lebih dominan. Jokowi dan orang-orang yang paling dekat dengannya mengambil cara itu. Sah-sah saja, sebab ini adalah urusan politik, maka yang paling pas untuk dijadikan pertimbangan adalah pertimbangan politik. Ngono toh?

Otomatis, munculnya nama Prof. Dr. KH. Ma'ruf Amin sekaligus menenggelamkan nama Prof. Dr. Mahfud MD, yang sebelumnya paling santer diberitakan sebagai Cawapres pilihan. Mahfud MD, untuk yang kedua kalinya, kembali gagal menjadi Cawapres. Terganjal dengan pola yang hampir sama meski untuk saat ini, ukuran rasa kecewanya barangkali jauh lebih besar.

Secara kemanusiaan, dengan mempergunakan ukuran kelaziman manusia kebanyakan, barangkali Mahfud MD adalah orang yang paling berhak untuk kecewa dan sakit hati. Ia yang sudah dijanjikan dan diperintah untuk mempersiapkan, ternyata tidak menjadi pilihan. Ia yang sudah mengurus berbagai surat keperluan dan menyerahkan CV, ternyata di-PHP. Ia yang sudah memberikan keterangan dan berbicara "soal keterpilihan serta takdir sejarah", rupanya pada detik-detik akhir semuanya terjarah. Ia yang sudah mengukur dan menjahit baju, ternyata dibuat malu.

Bisakah kita membayangkan, ketika calon pendamping sudah oke menuju pelaminan. Menyuruh mempersiapkan persyaratan, kelengkapan. Baju sudah diukur, dan sudah membuat pernyataan meyakinkan, bahwa "saya calon suaminya, dan Beliau calon mertua saya", tapi tiba-tiba, di depan banyak orang ketika diumumkan, rupanya bukan nama kita yang disebutkan? Tentu kita merasa lalu, dan harga diri kita akan terganggu. Sungguh kenyataan hidup yang begitu pahit. Terlebih bagi orang Madura, etnis ramah yang menjunjung tinggi rasa malu dan harga diri. Madura dikenal sebagai etnis yang mempunyai self-esteem yang tinggi. Apapun akan dilakukan untuk mempertahankan harga diri. Malu banget, Bro.

Mahfud MD patah hati. Berkali-kali.

Banyak analisa yang kemudian bertebaran, bahwa sebenarnya Jokowi dan orang-orang dekatnya sudah cocok dengan Mahfud MD. Tapi karena tekanan dan kepentingan dari pihak tertentu, akhirnya disepakati nama yang berbeda; yang dianggap jalan tengah dan titik aman bagi Jokowi. 

Ada yang bilang, mungkin karena Mahfud MD adalah salah satu loyalis Gus Dur yang sukanya "berhimpun", bukan "bergerak" jadi ditakutkan akan ada riak dari pihak yang selama ini paling ngebet menjadi dan mengajukan Cawapres dengan membawa-bawa masa kultural, meski selama ini mereka lebih cenderung elitis-struktural. Mungkin karena itulah Mahfud MD tidak diakui ke-NU-annya: sesuatu yang sebenarnya lucu dan ahistoris. Katanya. Ini katanya, ya. Bahkan kemudian muncul istilah "Amar Ma'ruf Nahi Mahfud". Ini juga katanya lho.

Tapi rupanya, Mahfud MD tampil beda. Ia mengenyampingkan semua asumsi dan analisa banyak kalangan. Berbagai statement yang muncul pasca penetapan Cawapres Jokowi, justru menunjukkan sikap kenegarawanan dan penerimaan yang luar biasa. Kita melihat itu dari yang tampak, tidak mau tahu soal yang disembunyikan sebab manusia tak bisa membacanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun