Katanya, sih. Ini katanya lho. Jokowi-Mahfud Vs Prabowo-Sandi. Ini katanya, ya. Masih katanya, sebab belum diumumkan secara resmi oleh masing-masing kubu, dan terutama oleh KPU, nantinya. Ini masih detik-detik akhir. Biasanya, selain menjadi waktu yang menegangkan, detik-detik akhir memungkinkan terjadinya kejutan-kejutan.
Seperti munculnya nama Sandi ini, kan, kajutan. Siapa yang menyangka. Sandi yang dianggap anteng di Jakarta dengan OK-OCE-nya, tetiba menjadi nama paling kuat-mencuat mengalahkan nama-nama lain yang sebelumnya kerap diperbincangkan. Sebut saja seperti Habib Salim Segaf, AHY, bahkan Ustad Abdul Somad.
Sosok Anies justeru lebih familiar dan kerap disangkut-pautkan dengan Cawapres. Setidaknya, namanya lebih "diidolakan" oleh PKS dan PAN, dibandingkan nama-nama yang lain. Tapi apa mau dikata, Sandi-lah yang saat ini paling digadang-gadang untuk mendampingi Prabowo. Meski nama Sandi, bahkan tak direkomendasikan oleh Ijtima' Ulama yang dihadiri langsung oleh Kiai Prabowo Subianto. Ingat, ini masih katanya, ya.
Tentu saja, koalisi partai (yang dianggap) pengusung Prabowo agak sedikit gaduh. Kemesraan dengan Demokrat menjadi tercoreng, terutama dengan munculnya istilah "Jenderal Kardus" dan mahar 500 M untuk PKS dan PAN yang diberikan oleh Sandi. Andi Arief disemprot karena statementnya itu, yang oleh Amir Syamsudin dianggap tidak etis dan menyakitkan.
Tapi bola semakin liar. Meski kemudian muncul statement tidak adanya masalah dengan koalisi, tapi tentu saja pertanyaan rakyat soal mahar harus mendapatkan jawaban. Sebab itu tuduhan, dan Sandi-lah yang paling dirugikan. Bagaimana jika itu benar? Hmm, seperti biasa, para elit selalu punya cara untuk membuat rakyat manggut-manggut.
Prabowo, barangkali menjadi sosok manusia Indonesia yang paling dilematis dan penuh tekanan. Ia sadar dengan kekuatan lawan, sebagaimana ia mampu menghitung kemampuannya, terutama pengalamannya saat bertanding dulu. Ia tahu, bahwa pertarungan tidak melulu soal popularitas, elektabilitas, dan kapasitas saja. Ia mengerti, bahwa "isi tas" juga harus dipertimbangkan. Ia sudah berpengalaman, sebab berkali-kali sudah "dikuras".
Habib Salim Segaf, atau nama-nama lainnya mungkin patut diperhitungkan, tapi bagaimana dengan "mobilitas" ke depannya? Nyapres dan Nyawapres itu berat, Bray. Butuh dana maksimal. Kalau perlu pakai kuota unlimited.Â
Apalagi yang dilawan petahana. Boleh saja ada masyarakat yang ingin patungan kalau Ustad Abdus Somad jadi pilihan, tapi seberapa besar? Dana sumbangan untuk Prabowo saja, yang katanya patungan rakyat, hingga kini masih berapa? Tentu saja, Demokrat dianggap tidak akan all out dan mati-matian untuk memenangkan. Ini juga perlu diperhitungkan.
Harapan itu ada ketika muncul nama AHY, anak sulung Sang Jenderal. Namun, Prabowo ternyata realistis. Bukan saja karena AHY masih belum berpengalaman dan belum saatnya berperang untuk kelas kakap, tapi apa yang terjadi di Jakarta takut terulang.Â
AHY mendapatkan suara mengenaskan, ketika penguasa datang "menyerang" di detik-detik akhir menjelang pencoblosan. Susah melawan penguasa, Bro. Pak Beye, sebagai mantan penguasa, tentu paham itu. Pak Beye punya cita-cita masa depan, dan ia tahu, ia harus hati-hati dengan penguasa.
Pada akhirnya, jika benar memang Sandi yang akan mendampingi Prabowo maka sebenarnya, itulah kejutan. Prabowo realistis, Sandi diharapkan bisa menyokong soal pendanaan. Meringankan beban finasial dan memberatkan "isi tas". Keakraban yang lama dan hutang budi, memungkinkan Sandi jor-joran. Apalagi Nyawapres itu prestige, Bos. Apapun hasilnya nanti.