Tulisan ini tidak untuk menjelaskan bagaimana keagungan, kehebatan, keluarbiasaan, kegemilangan dan kedahsyatan Rosulullah SAW. sebagai manusia terpuji, karena menuliskan kehidupan dan perjalanan sang Baginda, tak cukup rasanya disederhanakan dalam serangkaian kata-kata. Banyak penulis biografi Rosulullah yang membutuhkan ratusan, bahkan ribuan lembar untuk menjelaskan itu, itupun masih belum mampu menjelaskan segala aspek kehidupan Rosulullah. Hanya serpihan-serpihan saja. Penjelasan ilmiah Michael Hart, yang menempatkan Rosulullah pada peringkat pertama sebagai orang yang paling berpengaruh di dunia, barangkali menjadi sedikit legitimasi, bahwa Rosulullah diakui oleh seluruh umatnya.
Rosululllah adalah makhluk agung, yang bukan hanya perkataan, perilaku, dan ketetapannya saja yang kemudian menjadi sumber hukum (hadits), tapi al-Quran menyebutkan, bahwa Rosulullah adalah sejatinya sang teladan terbaik (uswatun hasanah).Keluhuran budi dan kemuliaan pekertinya adalah representasi dari sosok manusia terbaik sepanjang sejarah manusia. Siti ‘Aisyah pernah menyebutkan, bahwa akhlak Rosulullah itu (sebagaimana dalam) al-Quran, khuluquhu al-quranun(dalam sebuah hadits). Tak ada yang tak bermakna dari kehidupan beliau.
Artinya, Rosulullah menjadi teladan terbaik bagi umatnya dalam semua sisi dan aspek dalam kehidupan. Segala bentuk perilaku dan perkataannya menjadi acuan bagi umatnya untuk bertindak dan berperilaku sebagaimana Rosulullah menjalankannya. Bahkan tidak hanya itu, hal-hal yang berada di luar perkataan, perbuatan, dan ketetapannya juga mengandung banyak hikmah, sejak beliau dilahirkan hingga wafatnya.
Seperti, ketika Rosulullah dilahirkan, semua makhluk berucap syukur. Ketika masih kecil beliau menggembala kambing, dalam kondisi yatim piatu karena ditinggal pergi orang-orang yang paling dicintai beliau. Kemudian beliau menjadi pengusaha (berdagang), dan banyak peristiwa lain yang kemudian dikaji karena mengandung hikmah dan pembelajaran atas umatnya. Termasuk juga, kenapa beliau diangkat menjadi nabi ketika berumur 40 tahun? Ada apa dengan angkat 40, atau kenapa harus 40 tahun? Kenapa bukan 35 atau 38 tahun?
Allah memberikan apresiasi tersendiri terhadap manusia ketika mencapai usia 40 tahun. Secara jelas, dalam QS al-Ahqaf: 15, Allah berfirman “... sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa ...”. Seperti kita tahu, bahwa sesuatu yang disebutkan dalam al-Quran itu pastilah mempunyai nilai yang istimewa; nilai baik atau sebaliknya. Ayat ini diperkuat juga oleh beberapa hadits yang disabdakan Rosulullah SAW.
Seperti kita ketahui, bahwa usia 40 tahun adalah usia yang menjadi simbol dari kematangan hidup seseorang, baik dari segi fisik, intelektual, emosional, karya, dan tentu perkembangan spiritualitasnya. Sesuatu yang terjadi pada usia ini sifatnya akan stabil, mapan, kokoh, dan konsisten. Sehingga pada usia ini, biasanya menjadi ukuran (baromoter) untuk kehidupan setelahnya. Secara psikologis, usia 40 tahun adalah masa dimana seseorang telah benar-benar meninggalkan masa mudanya menuju masa dewasa, sebagaimana pandangan Hurlock dalam “Developmental Psychology”nya.
Begitu istimewanya usia 40 tahun, maka Allah mengangkat Nabi Muhammad sebagai Rosul ketika usianya 40 tahun, sebagai lambang dari kematangan dan konsistensi. Kenapa? Karena Rosulullah adalah pemimpin umat, pemimpin pemerintahan, sekaligus pemimpin agama. Secara logis saja, rasanya sulit untuk menjadi pemimpin yang terbaik, dalam skala tertentu seperti memimpin negara, memimpin provinsi, atau memimpin sebuah kota, ketika usia seseorang belum benar-benar dewasa –usia 40 tahun dalam konteks ini. Sejarah mencatat, ketika menjadi Presiden Soekarno berusia 44 tahun. Soeharto menjadi Presiden pada usia 46 tahun. Kennedy, Bill Clinton, Paul Keating, dan Tony Blair menjadi pemimpin ketika usia mereka 40 tahun ke atas.
Bagaimana kalau yang muda itu berkualitas? Permasalahannya adalah ketika calon yang lain justru terlihat lebih dewasa dan matang, serta dalam banyak hal lebih berkualitas ketimbangyang muda, maka tidak bisa dipungkiri akan munculnya kecenderungan untuk lebih memilih yang “terbaik”. Tapi masalahnya, ini persoalan politik penuh intrik, yang begitu salah kaprahnya dimaknai dengan tercapainya tujuan meski mempergunakan jalur-jalur yang bertentangan. Sebab rumusnya adalah kenegatifan yang terkordinir, akan mengalahkan kepositifan yang tidak terkordinir. Calon yang tidak “terbaik” bisa saja unggul, karena mesin dan gerakan politiknya lebih tokcer, dan bukan karena kematangan, kemampuan, dan kesiapannya untuk menjadi pemimpin.
Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, misalnya, faktor kematangan dan konsistensi dari masing-masing calon perlu dipertimbangkan dengan benar. Sebab ia akan menjadi pemimpin dari jutaan orang. Ia akan menjadi “orang tua” dari rakyatnya, bukan hanya untuk istri dan anak-anaknya. Ia akan menjadi “tempat sampah” dari segala keluh kesah masyarakatnya. Ia akan menjadi “imam” yang akan ditunggu kebijakan-kebijakannya. Ia akan menjadi tali, yang akan menyambungkan sedemikian banyak perbedaan. Ia akan menjadi “corong” yang mampu meyakinkan banyak orang atas kemajuan dan pembangunan.
Mungkin sebagian kita berpikir, “ah, begitu pentingkah sebuah umur!”. Tulisan ini bukan tulisan anti kemudaan. Tapi jangan sampai regenerasi terhadap kaum muda itu dimaknai dengan formulasi kepemimpinan muda yang “belum cukup umur”, dan pada saat yang bersamaan, belum terlihat kualitas dan kemampuan personalnya. Apalagi sampai terkesan demam panggung dan selalu menghindar ketika dikonfrontasi langsung dalam suasana diskusi dan debat. Karena itu akan “mencederai” kemudaan yang disandangnya, dan menampakkan ketidak-matangannya dalam menghadapi lingkungan sosial. Apalagi hanya mengandalkan muka, fisik, romantisme masa lalu, dan janji-janji yang bombastis.
Maka, hikmah dari diangkatnya nabi Muhammad sebagai Rosul pada usia 40 tahun, salah satunya adalah pentingnya mempertimbangkan usia dan kematangan dalam memilih calon pemimpin. Usia dan kematangan harus berjalan seiring dalam kehidupan seseorang, dan usia 40 tahun kecenderungan umumnya adalah kematangan dan konsisitensi dalam bersikap dan berprilaku, fisik maupun psikis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H