Sebentar lagi idul fitri datang. Ia adalah hari yang dinanti-nanti oleh kaum muslimin yang menjalankan ibadah puasa. Ia adalah hari kemenangan. Akan tetapi, idul fitri juga menjadi hari perpisahan. Banyak orang yang menangisinya karena momen kemuliaan itu telah berlalu. Kesedihan muncul karena tidak ada yang tahu siapa yang akan bertemu dengannya lagi di tahun depan. Maka hari idul fitri adalah hari paradoks, hari kegembiraan sekaligus hari kesedihan.
Para perantau bersusah payah pulang ke kampung halaman untuk bertemu dengan karib kerabat dan merayakan hari kemenangan bersama keluarga. Kaum muslimin saling bersilaturrahmi dan bersalam-salaman. Kaum muslimin mengisi hari idul fitri dengan bermaaf-maafan. Dengan saling memaafkan, mereka meyakini akan kembali ke kesucian fitrah, terlahir kembali seperti bayi yang keluar dari perut ibunya.
"Jadilah engkau pemaaf, dan suruhlah orang berbuat kebajikan....." (QS 7:199)
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan" (QS 3:133-134)
Tapi adakah yang melebihi memaafkan itu sendiri? ‘Urafa dan para sufi menempuh jalan yang lebih jauh. Bagi mereka, memaafkan adalah seperti menghapus tulisan pada selembar kertas putih. Sebersih-bersihnya dihapuskan, bekas tulisan akan tetap nampak. Kadang-kadang memaafkan masih menyisakan sedikit luka, forgive but not forget. Maka ketika saling memaafkan, berjanjilah bersama untuk membuka lembaran yang baru. Buang dan lupakan lembaran-lembaran yang sudah pernah ditulisi dengan noda yang sempat melukai hati masing-masing.
Ketika mengomentari ayat "....maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik" (QS 5:13), beberapa ulama menerjemahkan "biarkan" itu dengan "lupakanlah kesalahan-kesalahan mereka di masa lalu". Oleh karena itu dikatakan bahwa cara terbaik untuk memaafkan adalah melupakan. Dan cara terbaik untuk melupakan adalah dengan membuangnya dan menggantinya dengan yang baru.
Sesungguhnya Allah yang Maha Pemaaf, juga adalah Maha Penutup. Dialah Allah yang memaafkan sekaligus menutupi dosa-dosa hambaNya. Sekiranya dosa-dosa seseorang disingkapkan semuanya, mungkin tidak akan ada orang yang mau memaafkannya. Dalam salah satu doanya, Sayyidina ‘Ali kw bermunajat:
"Wahai Maulaku. Betapa banyak keburukanku yang Engkau sembunyikan......Betapa banyak pujian yang tak pantas untukku Engkau sebarkan."
Selamat Idul Fitri. Di hari itu kita tidak hanya bermaaf-maafan, tetapi kita melupakan dan membuang hal-hal buruk yang telah kita lakukan. Mari kita membuka lembaran baru. Dan mari berjanji untuk menuliskan hal-hak bajik yang kita dapatkan dalam madrasah ruhani sebulan penuh di ramadhan yang lalu. Taqabbalallahu minna wa minkum.
Balikpapan, 1 Syawal 1430H/19 September 2009; 20:55
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H