Mohon tunggu...
Sosbud

Benarkah Surga dan Neraka itu Ada?

19 September 2009   09:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:42 3351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan saya tentang iming-iming ramadhan banyak mendapat tanggapan. Tulisan yang sangat pendek itu mengajak untuk beribadah kepada Allah bukan karena mengharap surga dan takut neraka. Bahwa mengharap surga dan takut neraka mencederai tauhid ‘ubudiyyah, monoteisme penghambaan. Ada yang menyebut tulisan itu tipuan, setidaknya membuat pembaca kehilangan arah yang benar.

Karena singkatnya tulisan tersebut, tidak sedikit yang salah paham. Atau saya yang mungkin salah dalam menyusun penjelasan.  Untuk itu, saya membuat  tulisan ini sebagai penjelasan, karenanya mungkin agak panjang. Saya juga akan menyertakan beberapa dalil naqli (rujukan teks) serta beberapa dalil aqli (pertanyaan logis) untuk dikritik dan dicermati.

Surga dan Neraka Di Dalam Alquran dan Hadits

Tanggapan yang paling ramai terhadap tulisan itu adalah tentang surga dan neraka. Saya dinilai mengabaikannya padahal surga dan neraka adalah janji Allah. Bahwa surga adalah nyata, balasan bagi hamba Allah yang mukmin; demikian juga neraka sebagai ganjaran bagi hamba yang durhaka. Saya tidak akan menulis lagi ayat-ayat Alquran yang dikutip untuk membuktikan keberadaan surga dan neraka serta janji Allah tentang keduanya.

Selama ini kita berpikir bahwa surga dan neraka itu adalah sebuah tempat. Alquran dan hadits Nabi memang banyak menjelaskan tentang keadaannya. Namun demikian,sehubungan dengan surga dan neraka ini, jika kita menelusuri penjelasan ulama di dalam berbagai literatur, setidaknya ada dua mazhab utama. Mazhab pertama menerima keterangan Alquran dan hadits apa adanya dan tidak mempertanyakannya. Adapun mazhab kedua, yang mayoritas berasal dari kalangan tasawwuf (dalam tradisi Syiah disebut irfan) dan mutakallim, mereka menjelaskan keterangan-keterangan tersebut lebih jauh. Saya akan menggunakan pendekatan mazhab kedua, karena mazhab pertama memang tidak memberikan ruang penafsiran dan pendapat apapun.

Sekuat apapun seseorang mengatakan bahwa ayat-ayat di dalam Alquran tidak ada pertentangan, sebagaimana firman Allah "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya" (QS 4:82); tetapi pada kenyataannya, penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran tetap melahirkan perbedaan. Belum lagi perbedaan dalam memahami hadits-hadits Nabi. Faktanya adalah adanya mazhab fiqh sebagai konsekuensi dari perbedaan memahami ayat-ayat dan hadits-hadits hukum Islam.

Tentu, orang-orang Islam harus menyakini bahwa ayat-ayat Alquran adalah satu kesatuan pesan dan firman Allah, karenanya tidak mungkin ada pertentangan di dalamnya.  Secara logis, jika di dalamnya terdapat pertentangan satu sama lain, maka dengan sendirinya Alquran akan kehilangan bukti rasionalnya sebagai wahyu Tuhan. Oleh karena itulah para ulama mengatakan, jika seseorang menemukan pertentangan ayat-ayat Alquran, maka itu adalah pertentangan dzahiri saja, atau setidaknya dia tidak mengetahui maksud yang sebenarnya. Inilah latar keniscayaan ilmu tafsir.

Dalam menjelaskan tentang surga dan neraka, ada beberapa ayat Alquran dan hadits yang patut ditelusuri.

Di dalam Alquran, surga disebut sebagai jannah. Kata ini berasal dari kata janna yang akar katanya adalah janana yang arti asalnya tertutup. Dari kata ini pula muncul beberapa turunan kata yang lain seperti janin, majnun (orang gila yang tertutup akalnya), dan jannah (kebun yang rindang sehingga menghalangi pandangan mata). Mengapa surga disebut jannah?, karena ia tidak bisa dijangkau oleh pancaindra dan akal manusia, surga tidak bisa dibayangkan. Penamaan itu juga merujuk kepada penyebutan Allah tentang surga yang menyerupai taman.

Kita mempercayai bahwa balasan orang-orang mukmin di sisi Allah adalah surga. Akan tetapi bagaimanakah wujud surga itu, kita tidak tahu. Rasulullah Saw bersabda; Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Saw bersabda, "Allah berfirman, ‘Aku menyiapkan untuk hamba-hambaKu yang saleh apa yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam pikiran seorang manusia.' Bacalah oleh kalian jika mau ‘Seseorang tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka (berupa macam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata' (QS 32:17)" (Fathul Bari, hadits 3244).

Jika kita percaya bahwa balasan yang dimaksud adalah surga, maka balasan itu adalah janna. Artinya, apapun bayangan kita tentangnya tidak akan pernah benar. Ini argumen pertama.

Tetapi bukankah Allah dan Rasulullah Saw sering menjelaskan kondisi "pisik" surga dan neraka? Pertama-tama, kita harus memahami bahwa Allah dan Rasulullah Saw sering memberikan perumpamaan ketika menjelaskan sesuatu agar mudah dipahami. Belum lagi, ada pertimbangan psikis dan sosiologis masyarakat Islam awal ketika Alquran itu diturunkan.  Allah sendiri mengatakan, "Dan Sesungguhnya telah Kami buat dalam Al Quran ini segala macam perumpamaan untuk manusia..." (QS 30:58). Atau "Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu" (QS 29:43). Atau firmanNya, "...Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir" (QS 59:21). Maka ketika menjelaskan surga dan neraka, perumpamaan itu "harus" dibuat agar bisa dimengerti walaupun sudah jelas dari awal bahwa perumpamaan itu tidak bisa mewakili subjeknya.

Tentang surga dan neraka, Allah berfirman, "Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa , di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah, dan sungai-sungai dari susu yang tidak berubah rasanya, dan sungai-sungai dari khamar yang lezat bagi para peminum(nya) dan sungai-sungai dari madu yang telah tersaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan dia yang kekal dalam neraka dan mereka diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong usus mereka?" (QS 47:15, mengambil terjemahan Quraish Shihab)

Di ayat ini, perumpamaan disebut matsal dan bukan mitsil. Matsal adalah perumpamaan dua hal yang sama sekali tidak serupa, sementara mitsil adalah kemiripan dan keserupaan. Disini jelas, bahwa surga yang sering disebut-sebut di dalam Alquran "hanyalah" sebuah perumpamaan. Ini argumen kedua. Maka sekali lagi, kita mestinya tidak membayang-bayangkan surga itu sebagaimana deskripsi lahiriahnya. Membayangkan surga seperti kenikmatan duniawi dalam perumpamaan ini akan menjerumuskan khayalan ke dalam bayangan materi. Inilah yang saya sebut hedonisme dalam bentuk lain.

Namun demikian, mazhab dzahir mempercayai bahwa uraian-uraian Alquran tentang surga itu seperti apa adanya. Membayangkan sungai yang mengalir di dalamnya air susu, khamr, dan madu tidak ada salahnya dalam pandangan mereka. Dalam konteks ini, jika ada yang mengikutinya, kita juga tidak bisa mempersalahkannya.

Surga dan Neraka Bukan Tempat

Para ulama ‘arif (teosof), sufi, dan mutakallim (teolog) menjelaskan deskripsi lahiriah surga dan neraka di dalam Alquran dan hadits. Bagi mereka, wujud surga dan neraka tidaklah seperti penjelasan dzahirnya, semua deskripsi itu hanya perumpamaan. Surga dan neraka bukanlah tempat atau ruang. Keduanya adalah maqam.

Pada hakikatnya, perjalanan manusia adalah mendekat atau menjauhnya wujudnya kepada Sang Wajibul Wujud, Dzat Allah Swt. Semua perbuatan baik dan amal saleh pada hakikatnya adalah aktifitas untuk semakin mendekatkan wujud manusia kepada Allah; sebaliknya amal buruk akan menjauhkannya dari Allah. Itulah sebabnya, amal baik itu memerlukan niat yang benar, agar tujuannya juga jelas.

Perjalanan kembali kepada Allah itu sangat "panjang" dan "berliku". Ibaratnya sebuah pendakian. Disanalah banyak perangkap dan tipuan yang bisa memalingkan seseorang dari tujuan akhirnya dan menggelincirkannya ke bawah, ke tempat terendah. Para ulama kemudian menjelaskan perangkap-perangkap itu dan bagaimana cara menghindarinya. Untuk memberikan petunjuk yang baik, para ulama juga menjelaskan capaian-capaian dalam perjalanan tersebut, itulah yang disebut maqam. Disini saya tidak akan menjelaskan istilah-istilah "teknis" karena hanya akan memperpanjang catatan ini. Silahkan merujuk kepada kitab-kitab tasawuf maupun irfan untuk mengenalnya lebih jauh.

Singkatnya, perjalanan yang benar adalah menelusuri jalan kembali, "sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kepadaNya pula kita akan kembali". Rasa rindu kepada Wajibul Wujudlah yang memotifasi perjalanan ini. Semakin jauh "jarak"nya, mestinya semakin dalam pula rasa rindu itu. Jarak adalah siksaan, kedekatan adalah nikmat tiada tara.

Perbuatan manusia di dunia menentukan "jarak"nya dengan Allah dan realitas wujudnya. Wujud manusia sejatinya ingin selalu kembali kepada asalnya, kepada Wujud Allah Swt. Ketika bentuk materi manusia terlepas setelah melewati pintu kematian, manusia menemukan wujud hakikinya. Saat itulah dia akan mulai mengetahui posisinya dimana, apakah "jauh" atau "dekat" dengan asalnya. Ketika dia "dekat", dia akan merasakan kenikmatan tiada tara, kenikmatan yang tidak terbayangkan oleh pikiran sebelumnya. Sebaliknya jika ternyata dia "jauh", dia akan merasakan penderitaan yang sangat menyiksa. Inilah kenikmatan dan siksa kubur.

Setelah hari kiamat, manusia memasuki "periode" baru. Masa "penantian" sudah berakhir. Maka umat manusia akan "menemukan tempatnya" yang baru, tempat yang "dekat" atau tempat yang "jauh". Sekali lagi, mereka yang hidupnya di dunia mendekat kepada Allah akan menemukan "tempat"nya disisiNya, sementara mereka yang memilih menjauh akan terlempar "tempat yang paling bawah". Mereka akan diliputi siksaan yang sangat pedih, siksa karena terpisah dengan asalNya.

Surga dan neraka adalah istilah dari "tempat" ini. Surga adalah tingkatan kedekatan kepada Allah sementara neraka adalah jarak dariNya. Itulah sebabnya surga dan neraka diceritakan bertingkat-tingkat. Nikmat di setiap surga pasti berbeda, demikian juga siksa di setiap neraka juga tidak sama. Bayangkan saja kerinduan kita kepada orang yang kita cintai. Semakin jauh kita dengannya, semakin diliputi kita kerinduan, kekhawatiran, dan kecemasan karenanya. Jangankan bertemu dengannya, ketika kita mulai naik kendaraan saja menuju kediamannya, hati kita sudah berbungan-bunga diliputi kegembiraan. Membayangkan bertemu saja kita sudah bahagia, apatah lagi berpelukan dengannya.

Seperti itulah kerinduan para pencari Tuhan. Itulah sebabnya mereka tidak perduli rintangan dan halangan di perjalanan. Mereka juga tidak perduli dengan kenikmatan perjalanan atau kenikmatan lain yang akan ditemuinya di jalan. Mereka tidak mau terkecoh dengan tujuan-tujuan dan kenikmatan-kenikmatan antara dalam perjalanannya. Mereka tidak akan pernah puas sampai menemukan yang dicarinya. Ibaratnya, ketika kita hendak menemui orang yang kita rindukan, baru memulai perjalanan saja kita sudah bahagia. Naik kendaraan yang mewah saja tidak akan menghilangkan kerinduan itu, pelayanan yang sangat nikmat di kendaraan juga tidak membuat kita menghentikan perjalanan. Kita melakukan perjalanan ini bukan untuk mencari kenikmatan di jalan, tetapi karena ingin dekat dengan orang yang kita rindukan.

Inilah argumen saya yang ketiga, argumen ‘urafa, sufi dan musyafir spiritual. Selanjutnya, saya ingin menyentuh sedikit argumen filosofi, argumen keempat.

Para filosof menyebut dunia ini sebagai alam materi atau alam indrawi. Di atasnya adalah alam spiritual atau alam malakuti. Sederhananya alam non materi. Beberapa filosof bahkan menjelaskan lebih detail lagi, misalnya Mulla Shadra membagi alam menjadi indrawi, khayali dan aqli. Tetapi sekali lagi kita tidak perlu berpanjang lebar untuk menjelaskan istilah-istilah teknis di dalam ilmu filsafat ini. Kita sederhanakan saja karena saya juga tidak mengerti.

Alam materi adalah alam di dalam ruang dan waktu. Ruang adalah panjang kali lebar kali tinggi. Selama ini, tempat yang kita pahami adalah sebuah koordinat atau rentang koordinat yang "terperangkap" oleh ruang dan waktu.

Alam spiritual adalah alam non materi. Tentu saja, ia berada di luar ruang dan waktu. Maka tentu kita tidak bisa bertanya dimana dan bagaimana tentangnya, karena seluruh penjelasan yang kita berikan akan "terperangkap" dalam ruang dan waktu, yakni penjelasan yang "disini" dan "saat ini". Adakah yang bisa menjelaskan wujud malaikat atau iblis? Jika bisa, maka keduanya akan termaterikan. Maka satu-satunya penjelasan yang bisa diterima "disini" dan "saat ini" tentang malaikat dan iblis adalah penjelasan yang termaterikan. Itulah mungkin bentuk lain dari sebuah perumpamaan.

Jika kita menganggap bahwa surga dan neraka adalah mahkluk spiritual, maka tentu keduanya tidak bisa dijelaskan "sebagaimana adanya". Jika keduanya makhluk spiritual dan non materi, keduanya berarti tidak punya ruang dan tidak punya waktu. Kalaupun hendak menjelaskannya, terpaksa kita mematerikannya. Karena itulah, penjelasan tentang surga harus menggunakan penyerupaan yang sudah dikenal; jika tidak, kita tidak akan bisa mengenalnya sama sekali. Inilah (mungkin) alasan Allah dan Rasulullah Saw memberikan penjelasan-penjelasan pisik mengenai surga dan neraka, pada saat yang sama Allah dan Rasulullah Saw mengatakan bahwa surga dan neraka tidak bisa dicapai oleh akal pikiran.

Karena surga dan neraka bukan materi, dan karenanya tidak punya ruang dan waktu, dengan sendirinya keduanya bukanlah ruang itu sendiri. Disinilah titik pertemuan sederhana antara teosof dan filosof.

Surga Bukanlah "Kenikmatan" Tertinggi

Allah Swt berfirman, "Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar" (QS 9:72)

Menjelaskan ayat ini, Quraish Shihab menulis:

"Allah menjanjikan dengan janji yang pasti kepada orang-orang mukmin yang mantap imannya, lelaki dan perempuan, bahwa mereka semua akan dianugrahi surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, yang mereka nikmati secara terus menerus, kekal mereka di dalamnya, dan ada juga tempat-tempat yang bagus yakni istana-istana hunian di surga 'Adn. Di samping itu mereka juga mendapat ridha Allah, Dan keridhaan Allah walau sedikit adalah lebih besar dan lebih agung daripada surga dan tempat-tempat yang bagus itu; itu adalah keberuntungan yang besar, tiada keberuntungan yang melebihinya."

Dalam penjelasan selanjutnya mengenai ayat ini, para mufassir menjelaskan bahwa ridha Allah adalah kenikmatan tertinggi yang diperoleh para penghuni surga, bukan surga itu sendiri. Inilah argumen saya yang kelima.

Sudah banyak ulama yang menjelaskan tahapan-tahapan perjalanan spiritual.  Dan "aneh"nya, disana hampir tidak pernah ditemui pencarian surga atau ketakutan kepada neraka. Silahkan merujuk beberapa kitab ‘irfan dan tasawuf mengenai masalah ini. Sekedar ilustrasi, saya hanya akan menyebut contoh Kitab al-Luma', karya Abu Nashr al-Sarraj (w. 378H/988M). Konon kitab ini menjadi referensi bagi ulama-ulama setelahnya, semisal al-Ghazali dan Aththar.

Di kitab ini al-Sarraj menyebutkan tujuh maqam pejalan spiritual. Maqam puncak adalah maqam ridha. Mengutip al-Junaid, ridha "adalah pilihan yang dihilangkan." Atau menurut Ibn ‘Atha, ridha "adalah takzimnya hati atas pilihan abadi dari Tuhan untuk sang hamba karena dia tahu bahwa Allah telah memilihkan yang terbaik untuknya dan menerimanya serta melepaskan segala bebannya."

Maka bagi pejalan spiritual, surga bukanlah tujuan dan bahwa keinginannya akan surga menjadi hijab baginya dalam mencari tujuan sejatinya. Oleh karena itu mereke membersihkan hati dan pikirannya dari keinginan-keinginan sendiri dan menghilangkan semua pilihannya untuk menyerahkannya kepada pilihan-pilihan Allah. Itulah mungkin cerminan dari perkataan Rabi'ah al-Adawiyah, "Ya Tuhan, jika sekiranya Engkau ridha dengan menempatkanku di dalam neraka, maka biarkan aku berada di dalamnya".

Terakhir, saya ingin mengutip syair lagu yang menjadi kesukaan saya: "Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud kepadaNya. Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau menyebut namaNya"

Ringkasan

1.       Surga dan neraka adalah balasan Tuhan kepada manusia yang berada di luar capaian akal, tak pernah terlihat oleh mata dan terdengar oleh telinga

2.       Gambaran tentang surga dan neraka dalam Alquran dan Hadits adalah perumpamaan

3.       Surga dan neraka adalah maqam spiritual bagi para pencari Tuhan

4.       Surga dan neraka bukanlah materi, karenanya bukan sebuah ruang yang berada di dalam waktu.

5.       Surga bukanlah kenikmatan tertinggi, tetapi ridha Allah.

Referensi

1.       Fathul Barii, Jilid 17, Pustaka Azzam

2.       Terbakar Cinta Tuhan, Michael A. Sells, Mizan

3.       Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab, Lentera Ilahi

4.       Tafsir al-Azhar, Hamka, Pustaka Panjimas

5.       Terjemahan Alquran Depag

6.       Alquran Digital ver. 2.1, Agustus 2004

7.       Menuju Kesempurnaan, Mustamin (editor), Safinah

8.       Ensiklopedi Alquran, Quraish Shihab (editor), Lentera Ilahi

9.       Ensiklopedi Nurcholis Madjid, Budhi Munawar Rachman, Paramadina

10.   Ensiklopedi Islam,  Ichtiar Baru Van Hoeve

Balikpapan, 29 Ramadhan 1430H/19 September 2009; 16:20

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun