Mohon tunggu...
Mustam Arif
Mustam Arif Mohon Tunggu... Freelancer - Warga

Mustam Arif, penggiat LSM tinggal di Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Semantis Multi-tafsir dalam Kekalahan Prabowo

27 Mei 2019   14:21 Diperbarui: 27 Mei 2019   15:25 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo Subianto (sumber: katadata.co.id)

Akhirnya, kubu Prabowo berlabuh di Mahkamah Konstitusi (MK). Di mahkamah inilah harapan terakhir. Mereka harus abaikan atau lupakan pernyataan sebelumnya, tak mau meniti jalur konstitusional di MK. Kita menunggu keputusan terbaik MK. Andainya kembali kalah di batas akhir ini, legowo-kah Prabowo sebagai negarawan? Atau masih adakah babak baru?

Ada diksi menarik dari imbauan Prabowo Subianto beberapa waktu lalu. Prabowo meminta para pendukungnya yang demo 22 Mei 2019 untuk mundur, tetap berjuang di jalan damai. Prabowo mengatakan, ''Kadang-kadang kita harus mundur, mundur tidak berarti kita menyerah.''

"Kadang-kadang dalam perjuangan ada taktik dan ada strategi, kadang-kadang kita harus kiri, kadang-kadang kita harus kanan. Kadang-kadang kita harus mundur, mundur tidak berarti kita menyerah, betul? Sanggup?," ungkap Prabowo seperti diberitakan di berbagai media.

Mendengar imbauan itu, massa yang berteriak ''Maju terus. Maju terus!''.

Kalimat dengan pilihan kata ''mundur bukan berarti menyerah'' secara semantis sesungguhnya tidak pas diletakkan dalam sebuah konteks protes massa sipil. Apalagi demonstrasi ini sebelumnya dilabeli sebagai aksi damai memprotes hasil pemilihan presiden (pilpres) yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Diksi ini lebih tepat digunakan dalam konteks perang fisik.

Dalam komunikasi verbal, Prabowo menyampaikan kalimat ''mundur bukan berarti menyerah'' sebagai pilihan untuk menenangkan massa pendukungnya agar mereka tidak merasa kecewa atau pesimis. Mungkin maksud Prabowo, menghentikan demo dengan kekerasan bukan berarti mengakui kekalahan. Tetapi ada jalan damai yang konstitusional, apakah nantinya menang atau kalah, tetap terhormat.

Tetapi penyampaian Prabowo dengan menggunakan diksi-diksi seperti mundur, menyerah, taktik, strategi, sanggup! secara semantis menyiratkan konteks revolusioner. Secara maknawi diksi ini lebih tepat dalam terminologi peperangan fisik.

Apalagi kemudian kalimat-kalimat ini digemakan dalam sebuah situasi demo yang telah rusuh menimbulkan korban jiwa dan fasilitas-fasilitas fisik. Kalimat ini disampaikan ke tengah-tengah tensi tinggi emosi massa yang terakumulasi dengan kelelahan. Mungkin dari lubuk hati Prabowo, kalimat-kalimat ini adalah ungkapan tulus. Tetapi dengan diksi yang terkesan agitatif, publik menilainya dengan multi-interpretasi.

Demikian juga massa demo. Dalam situasi emosi yang mungkin sedang labil, kata ''mundur bukan berarti menyerah'' belum tentu ini sesuatu yang menenangkan. Bahkan dengan diksi ini, massa tetap akan punya semangat melawan. Ini ibarat tangan kiri hendak memadamkan nyala api, tapi tangan kanan terus mengipas bara api.

Sebagai figur ''berdarah-daging'' militer, Prabowo tak bisa dilepaskan begitu saja dari karakteristik tentara. Dalam meniti profesi di jalur politik pun, Prabowo selalu di bawah bayang-bayang identitasnya. Dalam komunikasi politik, Prabowo kerap menggunakan diksi-diksi penuh semangat, tapi cenderung sloganistis, kadang bombastis.

Kalimat yang sloganistis sering berlandaskan asumsi-asumsi yang tidak bisa diukur. Kalimat sloganistis sering jauh dari konteks realitasnya. Kalimat sloganistis berangkat dari dugaan-dugaan, dan kadang menempatkan sesuatu tidak pada konteksnya.

Dalam kontestasi politik, kalimat sloganistis digunakan dalam orasi membangkitkan semangat. Namun dalam komunikasi politik, kalimat-kalimat sloganistis lemah dalam penerimaan dan apresiasi publik karena hanya asumsi-asumsi, klaim dan dugaan-dugaan.

Dalam kontestasi Pilpres 2019, Capres Prabowo kerap menggunakan kalimat-kalimat yang sloganistis. Diksi yang sloganistis ini melebur ke dalam semangat dan kehendak yang kuat, terkesan tidak terkelola dengan baik dalam setiap komunikasi politiknya. Prabowo kadang tak terkendali sehingga menempatkan kalimat-kalimat dalam konteks yang berbeda.

Kalimat-kalimat seperti kekayaan Indonesia dirampok asing, kekayaan Indonesia bocor, elite Indonesia gagal kelola negara, kecurangan yang masif dan sistematis. Dalam wacana tertentu, kalimat-kalimat Prabowo kadang tidak ditempatkan pada konteks yang tepat sehingga menimbulkan masalah dalam penerimaan dan interpretasi publik. Misalnya tentang 'tampang Boyolali' yang kemudian membuat Prabowo harus minta maaf.

Segala Cara Telah Ditempuh

Menarik ditelaah himbauan Prabowo dengan kalimat "Kadang-kadang dalam perjuangan ada taktik dan ada strategi, kadang-kadang kita harus kiri, kadang-kadang kita harus kanan. Kadang-kadang kita harus mundur, mundur tidak berarti kita menyerah". Kalimat ini bagai mencerminkan realitas atau pengalaman Prabowo-Sandiaga dan pendukungnya dalam pertarungan politik pilpres 2019. 

Berbagai taktik dan cara telah dilakukan. Dari pidato kemenangan, sujud syukur, pasang baliho dan spanduk klaim kemenangan telah dilakukan sebelum pengumuman resmi KPU. Kemudian ada wacana tidak percaya KPU, tidak percaya lembaga survei dan quick count. Bahkan menyatakan tidak akan menempuh jalur Mahkamah Konstitusi (MK), selain seruan dan upaya membangkitkan  people power untuk melawan  hasil pilpres dari KPU.

Belum lagi diuntungkan dengan masifnya gelombang hoax media sosial menyerang kubu Jokowi. Dalam 'tsunami' hoax ini pula, diperkirakan berhasil mengokohkan opini sebagian masyarakat tentang kecurangan yang masif dan sistematis, yang kebenarannya tentu kita akan lihat dalam penanganan dan keputusan di MK nanti.

Penggunaan sentimen agama juga diruncingkan dalam kontestasi pilpres oleh kubu Prabowo. Lewat hoax yang masif, terbangun asumsi publik seolah-olah Islam dan pemuka agama terhina dan terkriminalisasi oleh kubu petahana dalam pertarungan pilpres 2019 ini.

Kalah dalam kontestasi politik pilpres yang beruntun, satu kali cawapres dan dua kali capres, menjadi pukulan berat bagi ambisi Prabowo memimpin Indonesia. Pada pilres 2019 ini boleh dikatakan ''the last war'' bagi Prabowo.

Prabowo masih punya kesempatan di 2024 yang saat itu berusia 72 tahun. Masih layak jika mengacu pada Mahathir Mohamad yang kini kembali memimpin pemerintahan Malaysia dalam usia 93 tahun. Namun, tantangannya mungkin sudah berbeda. Di 2024 nanti Indonesia bakal tak lagi miskin figur capres seperti pada pilpres 2019. Akan muncul figur-figur muda dalam persaingan yang ketat.

Selain itu, pengalaman pilpres 2019 yang membelah dan mengaduk-aduk emosi masyarakat, lewat sentimen agama, kemungkinan akan melahirkan kesadaran baru para pemilih di 2024 nanti. Itu berarti, ada kemungkinan yang terjadi untuk massa pendukung Prabowo. Pendukung fanatis kemungkinan akan bertambah apabila ketidakpuasan dan dendam politik pilpres 2019 terus dirawat. Atau sebaliknya, ada kesadaran baru akibat dari pengalaman buruk pilpres 2019.

Karenanya, tak heran, apapun cara dilakukan Prabowo di 2019 ini, dilihatnya sebagai pelaung terakhir. Demikian juga bagi pihak-pihak yang merasa tidak diuntungkan dengan pemerintahan Jokowi sebelumnya maupun kemungkinan ke depan, juga memanfaatkan kesempatan ini. Berbagai kepentingan politik kemudian bersimbiosis untuk menyudahi pemerintahan Jokowi.

Pasca Penyelesaian di MK

Kita berharap sengketa pilpres 2019 akan berakhir di MK. Apakah MK tetap memenangkan Jokowi-Ma'ruf atau sebaliknya Prabowo-Sandi. Setelah itu kedua kubu bersalam-salaman dan masing-masing pihak legowo, kembali bergendeng tangan membangun Indonesia. Jokowi dan Prabowo sama-sama adalah putra terbaik bangsa.

Namun harapan itu, sangat tergantung pada Jokowi dan Prabowo, pasca keputusan MK. Apakah keduanya dan para pendukung punya kebesaran jiwa dan membuktikan benar-benar negarawan. Ataukah ada lagi babakan baru dalam sengketa politik? Adakah lagi seruan karena belum menyerah? Yang jelas, rakyat sudah letih karena terbelah selama pertarungan pilpres 2019.*

Tulisan saya yang lain di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun