Terkait modal dan pemasaran, masyarakat Tanakeke pun terjebak realitas tengkulak. Penyebutan ''tengkulak'' merupakan sarkasme dari tradisi Ponggawa-Sawi.
Dalam masyarakat pesisir Bugis-Makassar, tradisi Ponggawa-Sawi adalah pola hubungan antara patron dan klien (patron-client). Ponggawa adalah bos atau pelindung yang siap memenuhi berbagai kebutuhan hidup sawi. Sementara sawi adalah anak buah siap menaati kehendak ponggawa. Dalam ranah sosial, hubungan ponggawa-sawi dibangun dalam konteks kekeluargaan saling menguntungkan (simbiosis-mutualisme). Keduanya terikat dalam pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing.
Namun dalam pemberdayaan ekonomi, pola ponggawa-sawi berpotensi menciptakan ketidakadilan. Ketergantungan keduanya berproses dalam perangkap dilematis, dan keuntunganya lebih diperoleh kaum ponggawa. Ponggawa yang punya modal mengendalikan sawi. Sementara sawi tidak bisa punya pilihan lain, ketika terikat kesepakatan dengan ponggawa.
[caption id="attachment_386219" align="aligncenter" width="300" caption="Rumput laut membuka lapangan kerja bagi ibu-ibu di Tanakeke. (foto: mustamarif)"]
Di Tanakeke, petani rumput laut diberi modal oleh ponggawa yang dalam implementasi lapangan lazim disebut juga pengumpul. Ponggawa memberi modal untuk pembelian bibit, tali, botol plastik dan lain-lain. Selain itu, jika sawi membutuhan biaya yang mendesak, ponggawa siap meminjamkan. Petani dan ponggawa mengikat kesepakatan pengembalian pinjaman dengan bunga tertentu. Selain itu, petani rumput laut tidak boleh menjual hasil panennya ke pihak lain.
Tiba masa panen, petani melunasi utang kepada ponggawa, baik pokok maupun bunganya. Ponggawa sering menetapkan harga rumput laut di bawah standar pasar. Petani rumput laut yang hasil penenya tidak mencukupi pengembalian pinjaman, berarti ia kembali berutang kepada ponggawa, nanti dilunasi pada musim panen berikutnya.
Jika musim panen berikutnya juga belum bisa dilunasi karena terakomulasi dengan bunga, maka utang petani rumput laut itu kembali bertambah. Apa yang terjadi? Dari musim ke musim utang sawi terus menumpuk bila hasil panen tidak maksimal.
Ketergantungan tidak adil ini terus terpelihara. Apa boleh buat. Ketika tidak ada sumber modal alternatif. Ketika bank tidak mampu diakses masyarakat rentan ekonomi. Ponggawa menjadi satu-satunya penyelamat.
Bantuan Bergulir
Saat Oxfam mendorong program peningkatan taraf penghidupan masyarakat pesisir, inisiatif ini juga menjadi harapan masyarakat Tanakeke. Sejak 2010, Program Restoring Coastal Livelihood (RCL) diimplementasikan Yayasan Konservasi Laut (YKL) dan Mangrove Action Project (MAP).
Salah satu kegiatan program yang akan berakhir di ujung 2015 Â ini adalah memperkuat dan memberdayakan petani rumput laut di Tanakeke. Kegiatan ini bertumpu pada pemberdayaan dan penguatan warga untuk bisa mandiri. Muara yang diharapkannya tentu bisa membawa warga bisa berdaya dan mandiri, terlepas dari jeratan masalah yang tak kunjung selesai.
Lewat RCL yang diimplementasikan di empat kabupaten, 13 kecamatan dan 31 desa, para petani rumput laut Tanakeke diberi modal dengan pola bantuan non tunai bergulir yang disebut Revolving In Kind. Lewat in kind, petani memperoleh bantuan berupa bibit rumput laut dan tali.