Tangan Ibu..
SETIAP kali menginjakkan kaki di rumah ibu, hati saya bergetar. Melihat halaman yang tertata rapi dengan berbagai macam bunga dan juga empon-empon yang ditanam di ujung halaman, teras rumah yang bersih dari debu, terasa tintrim; memanjakan mata dan menenangkan batin.
Deretan kerapian rumah ibu bukan hanya pada tanaman, tapi juga menyentuh perabotan. Rumah kuno yang bahannya banyak berasal dari kayu jati masih terawat rapi. Ibu menaruh semua barang seperti piring, gelas dan semua kebutuhan memasak langsung enak di pandang dan segera diambil jika diperlukan.
Ini yang kurindukan jika aku bermain mengunjungi rumah ibuku. Beliau tinggal dikampung bersama dengan adik lelakinya tetapi tidak serumah. Rumah adik lelakinya berjarak 500 meter dari rumah ibuku. Aku tinggal di kota karena pekerjaan menuntut untuk di sana. Pernah aku menawarkan ibuku untuk tinggal bersama kami, tetapi sama beliau selalu ditolak. Alasan yang dikemukakan adalah ibuku tidak mau jauh tinggal bersama almarhum ayah. Ayahku sudah meninggal dunia 3 tahun yang lalu karena penyakit kencing manis. Ibu menganggap ayah masih hidup dalam bentuk kenangan dan itu hadir di dalam rumah jati tua tersebut. Seringkali ayah datang pada ibu melalui mimpi, itu yang diceritakan kekami. Apakah ibuku sudah gila, tidak ibuku masih waras. Dia masih bisa mengingat semua orang - orang yang bertegur sapa dengannya.Ibu masih melakukan ibadah sembahyang kepada tuhan yang maha kuasa. Semuanya normal, hanya tentang ayah saja ibu sangat luar biasa cinta dan rindunya.
Pernah pada suatu saat aku dan anakku berkunjung, langsung ibu mengajak kekamar ayah. Di dalam kamar tersebut ibu menunjukkan benda peninggalan ayah paling bersejarah yaitu suatu kayu panjangnya setengah meter, yang buat untuk menggaruk punggung jika gatal.
Kayu tersebut ibu lap tiap hari, ditaruh diatas meja bersama dengan korek dan cerutu ayah. Apa yang ibu lakukan dengan cerutu - cerutu tersebut tiap pagi dan sore di lap bersih sambil menyanyi kidung mesra. Ibuku menganggap ayahku tidak mati, ia masih hidup. Diceritakan padaku sewaktu ibu dan ayahku masih muda sebelum aku lahir di dunia. Ayahmu itu pemuda yang sangat ulet dan berambisi besar untuk mendapatkan hati ibu. Cinta ayahmu awalnya ditolak oleh kedua orang tua karena ayahmu orang miskin, tapi ayahmu tidak pernah kendor semangatnya. Ia berjanji pada kedua orang tua akan membahagiakan ibu, nekad merantau kekota mendapatkan pekerjaan. Orang tua yang lebih memilih jodohku anak kepala desa kaya raya, selalu ibumu tolak karena memang tidak ada cinta. Ibumu setia menunggu ayahmu yang bekerja di kota.
Dua tahun selanjutnya setelah ayahmu merantau, cita - citanya tercapai, ayahmu sukses pulang membawa semua yang diinginkan kedua orang tua. Sudah punya pekerjaan tetap sebagai manajer pabrik, akhirnya kedua orang tua menerima lamaran ayahmu.
Setelah menikah ayahmu membawa ibumu di kota, pertama kedua orang tua atau kakek nenekmu menolak. Tapi ayahmu dengan halus dan sopan mengatakan kalau di sana, ibumu akan ditempatkan dirumah dinas yang sudah bersih dan rapi. Karena kegigihan ayahmu, kakek nenekmu menerimanya.
Tinggal di kota selama 5 tahun dan lahirkah kamu, kemudian setelah kakekmu meninggal. Maka ayahmu diminta pulang oleh nenek di rumah ini ayahmu membangun semua kenangan dan perjuangan. Membahagiakan semua yang tinggal, ibumu, kamu juga nenek. Setiap hari ayahmu rajin kerja ke sawah semua melakukan bercocok tanam. Betul - betul kepala keluarga yang luar biasa, bertanggung jawab dengan posisinya. Termasuk hobi ayahmu yaitu menanam bunga dan empon - empon di depan rumah. Ayahmu setiap pagi menyiraminya sehingga tanaman itu tumbuh segar. Itu cerita ayahmu seorang yang sangat sayang pada ibumu. Untuk membalas rasa sayang itu ibumu meneruskan semua kebiasaan ayahmu sampai sekarang. Karena setiap kali ibumu melakukan pasti bayangan ayahmu membersamainya. Dan ibumu sudah bahagia hidup bersama ayahmu, jika umur itu tidak ditentukan oleh tuhan ibumu mau menyusul ayahmu ssgera sekarang ke pusara. Tapi ibumu masih beriman dimana ajal kematian adalah punya tuhan, kita harus ikhlas menerima semua keadaan ini.
Aku menangis melihat tangan ibu yang sudah berkeriput membelai kepalaku di akhir nasihat itu. Dan aku sadar kalau yang membelai bukan hanya tangan ibu tapi ada tangan ayah juga. Ayah kami rindu padamu.