Mungkin sebagian orang memiliki persepsi yang buruk ketika mendengar kata "pajak". Percakapan di media sosial sering kali riuh ketika berembus isu pemerintah bakal menaikkan iuran pajak tertentu, atau pengenaan objek pajak baru. Walaupun sebagian belum paham benar jenis pajak apa yang menjadi objek bahasan. Bawaannya selalu overthingking kalau menyoal pungutan wajib oleh negara ini.
Salah satu contohnya saat hiruk pikuk pembahasan mengenai kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 nanti. Kenaikan itu sebagai pelaksanaan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) setelah sebelumnya naik ke angka 11 persen. Meski kenaikan tarifnya barakan efektif berlaku tahun depan, banyak protes sana sini.
Pemerintah memang memiliki kewenangan untuk mengatur nilai tarif PPN asal tidak melebihi angka 15 persen. Tapi protes-protes itu juga tidak sepenuhnya berlebihan.Â
Bagaimana pun pajak yang disetor ke pemerintah berasal dari dompet wajib pajak yang manfaatnya bisa dirasakan  manfaatnya secara langsung atau tidak. Kebanyakan orang menjadi kritis jika berkaitan dengan pajak dan kemana uang pajak itu akan dialokasikan? Pada pembangunan, pendidikan, kesehatan, atau jangan-jangan bocor ke kantong-kantong individu pejabat?Â
Dikutip dari Kompas.com (2022), Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini mengatakan bahwa penyebab utama rendahnya kesadaran warga untuk bayar pajak karena adanya tindak korupsi. Sedangan sebuah studi yang meneliti "Korupsi pajak dan keadilan perpajakan pada kepatuhan wajib pajak (studi kasus pada kantor pelayanan pajak (KPP) Batu" diperoleh temuan signifikan praktik korupsi pajak terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Batu.
Korupsi memang menimbulkan banyak persoalan serius pada bangsa Indoensia. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat total kerugian negara akibat tindak pidana korupsi selama tahun 2020 mencapai Rp 56,7 triliun (Kurnia Ramadan, 2021). Angka ini berdasarkan kasus -kasus yang berhasil diungkap melalui proses penegakan hukum. Praktik korupsi yang terus terjadi bahkan hingga lapisan terkecil membuat masyarakat menjadi kritis untuk membayar pajak.
Lalu muncul protes untuk  berhenti membayar pajak jika korupsi terus terjadi ? Tentu hal ini tidak bijak, sebab pajak sendiri merupakan instrumen paling  penting bagi negara untuk bisa menjalankan pembangunan. Bahkan sejak masa kerajaan- kerajaan nusantara sudah menggunakan pajak sebagai sumber pendanaan (Aris Prio Agus Santoso Dkk. 2020).Â
Tanpa pajak mustahil pemerintah dapat menjalankan berbagai programnya, termasuk di bidang pendidikan. Padahal pendidikan merupakan investasi penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Untuk memastikan pajak-pajak kita tidak salah penggunaannya, maka perlu pengawasan dari semua pihak, termasuk masyarakat. Di era saat ini semakin mudah untuk melakukan pengawasan dan pengaduan pada setiap penyelewengan kewenangan. Hampir semua instansi pemerintah telah menyediakan kanal-kanal pengaduan. Tentu pemerintah juga melakukan pengawasan melalui unit-unit pengawas internal lembaga/kementerian, dan penguatan otoritas anti korupsi baik kepolisian, kejaksaan, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi. Â
Pajak untuk Pendidikan
Pajak dan pendidikan memiliki keterkaitan timbal balik dalam membangun bangsa  yang sejahtera. Ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.Â