Mohon tunggu...
Must Hand
Must Hand Mohon Tunggu... karyawan swasta -

must_hand aku slalu laper..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ciledug My Sweet Home

15 Januari 2014   06:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:49 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ciledug, sebuah kota setingkat kecamatan. Daerah yang pada eranya menurut gue adalah daerah yang nyaman, enak untuk ditinggali. Seinget gue sekitar tahun 1978-1979 kayaknya pindah ke Cileduk dari pinggiran selatan Jakarta.

Awal-awal yang indah saat gue pindah. Daerah asri yang layak ditinggali, tampak pematang sawah, padi hijau terhampar di belakang rumah, burung sawah berterbangan kesana kemari, bunyinya pun menjadi ciri khas kampung gue yang hampir 90% sawah. Kerlipan kunang-kunang saat malam datang menambah indah panorama kampung gue.

Gue kecil benar-benar menikmati masa-masa indah. Mancing di sawah dengan umpan cacing yang diambil sendiri di balik lumpur pematang. Bermain bola hingga larut sore atau sekedar bercengkrama dengan teman-teman untuk ngerujak kangkung dan ngerujak babal (buah nangka yang masih pentil/muda). Mmmmmm benar-benar memori yang indah.

Ada pengalaman yang benar-benar gue gak lupakan. Waktu itu gue kelas 1 smp, dapat tantangan 'ngadu' bola dengan teman sekelas. Dia anak Cipadu Kreo, sedangkan gue anak Inpres Larangan. Inpres Larangan menuju Kreo ditempuh dengan berjalan kaki. Rombongan kami berjalan beriringan, saling bersenda gurau,bernyanyi, sambil sesekali saling ledek. Saat itu kami berjalan melalui kampung Gaga, Taman Asri sampailah kami di Kreo.

Pertandingan yang menarik saat itu, jiwa muda kami muncul demi membela komunitas anak Inpres 2 Larangan. Gue sendiri gak jago-jago amat main bola tapi lumayanlah yang penting masih bisa berlari. Hingga tiba ditengah pertandingan terjadilah insiden, teman kami ribut dengan pemain lawan. Adu jotos pun tak terhindarkan. Hingga akhirnya preman kampung Cipadu ikut campur, kami pun lari terbirit-birit. Kami kompak lari tunggang- langgang. Bak dikejar setan kami yang berusia rata-rata abg lari dan terus berlari dari kampung Cipadu menuju Inpres Larangan.

Pengalaman yang benar-benar tak terlupakan. Hingga di sekolah kami cekcok dan berdebat dengan teman sekelas. Kami berdua yang memfasilitasi pertandingan ini. Kenapa musti ada keributan dan kenapa pula ada preman kampung yang ikut campur. Kalo merasa laki-laki duel dengan yang sepadan dong...

Cileduk kini, lebih spesial Inpres 2 Larangan. Dulu dikenal dengan sebutan Kampung Asem, mungkin karena banyak ditumbuhi pohon Asem hingga disebut Kampung Asem.
Kami tinggal di bantaran sawah, hampir 90% penduduknya pendatang. Inpres kini tak seperti dulu. Air jernihnya sudah tidak ada, keasriannya pun hilang. Air jernih tergantikan air keruh, keasriannya tergantikan dengan kesumpekan dan kepadatan penduduknya. Budaya kami adalah "Banjir" bila musim penghujan tiba. Tak ada istilah banjir siklus lima tahunan, setiap tahun bila musim hujan tiba kami terkena banjir. Maafin gue gak bisa bantu saat Inpres 2 Larangan kebanjiran. Tapi gue tetap cinta Cileduk, dan gue cinta Larangan.
Nama gue Hendardi ditambah Shliduuqii, bukti bahwa gue cinta Cileduk.
Hendardi Shiliduuqii artinya Hendardi dari Cileduk..he..he..he...salam kangen buat temen-temen di Cileduk. #JatiAsih150114

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun