Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) adalah salah satu bentuk kecanggihan teknologi yang niscaya di abad ini. Kecepatan dan ketidakterbatasan informasi yang mampu diakses komputer, memungkinkannya untuk belajar mengenai segala hal secara mandiri.
AI sudah semakin menjadi hal yang biasa dan banyak kita jumpai di keseharian, seperti fitur-fitur di smartphone, mesin pencari di komputer, hingga mobil tanpa supir. Sebagian orang mungkin belum menyadari bahwa apa yang sering dijumpainya di media sosial, musik yang disarankan di aplikasi streaming, atau video-video yang muncul di beranda Youtube merupakan hasil perhitungan algoritma yang dikerjakan oleh AI.
Sejak awal perkembangannya, AI telah mendapat respons yang beragam. Sebagian orang membayangkan AI sebagai distopia, bahwa di masa depan robot-robot dan otomatisasi akan banyak merenggut pekerjaan manusia, yang akhirnya akan berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran secara besar-besaran. Penulis buku Homo Deus, Yuval Noah Harari, bahkan menyebutkan bahwa kelak otomatisasi akan mampu menghapus seluruh kelas pekerja.
Namun, tidak sedikit juga yang memberi pandangan positif. Mereka menganggap bahwa secanggih apapun teknologi AI di masa depan, tetap tidak akan mampu menggantikan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kepekaan manusia, seperti misalnya seniman. AI justru dianggap akan mampu membantu pekerjaan-pekerjaan manusia menjadi lebih baik.
Meski begitu, pada kenyataannya AI telah menyentuh berbagai sektor yang sebelumnya dianggap mustahil. Misalnya, pada ranah penciptaan musik. Selama berabad-abad, manusia telah menganggap bahwa musik adalah hasil karya manusia yang murni, karena hanya mampu diciptakan dengan cara menafsirkan pengalaman emosional ke dalam susunan nada dan irama.
Namun, Mengutip perkataan etnomusikolog Aris Setyawan, jika ingin dilihat lebih dalam, sebenarnya emosi bukanlah suatu fenomena yang murni dan mistik, melainkan buah dari proses biochemical. Maka, di masa depan yang tidak terlampau jauh, algoritma dan mesin akan mampu menganalisis data biometric yang mengalir dari sensor yang berada dalam tubuh manusia.
Data biometric tersebut akan dikombinasikan dengan equation matematika pada musik. Maka, dalam beberapa dekade, kecerdasan buatan (AI) dan algoritma canggihnya akan mampu menganalisis jutaan big data dari karya-karya musik yang telah digubah manusia selama beradab-abad, dan kemudian memprediksi bagaimana equation pada musik bekerja untuk menghasilkan sebuah output berupa gubahan musik.
Pada tahun 2018 lalu, Taryn Southern merilis album yang diberi tajuk I AM IA. Yang menarik dari album tersebut adalah, musiknya ditulis atau dikomposisi oleh sebuah kecerdasan buatan.
Meskipun baru sebatas musik-musik ringan seperti perpaduan pop dan EDM, namun ini merupakan satu langkah besar bagi kemajuan teknologi kecerdasan buatan. Selanjutnya, tidak menutup kemungkinan jika di masa depan AI akan mampu membuat komposisi yang lebih kompleks dan canggih seperti gubahan-gubahan klasik Debussy atau Mozart.
Tidak hanya itu. Dari ranah seni lukis, pada tahun 2018 lalu Kompas.com telah memuat berita mengenai terjualnya sebuah lukisan hasil karya sebuah kecerdasan buatan atau AI. Lukisan yang diberi judul "Portrait of Edmond Belamy" itu berhasil terjual dengan harga 432.500 dollar AS atau sekitar Rp6,6 miliar.
AI pelukisnya, Ovious, membuat lukisan itu dengan meniru gaya seniman Rembrandt van Rijn. Dalam proses pembuatannya, para ahli yang terlibat seperti Hugo Caselles-Dupre, Pierre Fautrel dan Gauthier Vernier, menggunakan metode generative adversarial network (GAN) dengan memasukkan lima belas ribu lukisan manusia dari abad ke-14 hingga abad ke-20 untuk dipelajari.
Badan pelelangan yang mengatur penjualan lukisan tersebut juga mengungkapkan, meskipun lukisan yang dihasilkan masih jauh ketimbang apa yang bisa diciptakan oleh manusia, namun harus tetap diakui bahwa ini merupakan sebuah langkah besar dan berani bagi AI.
Dua contoh di atas telah membuktikan bahwa kecerdasan buatan atau AI akan terus berkembang dan menggapai apa yang sebelumnya dianggap mustahil. Meskipun begitu, di balik setiap kecanggihan yang dicapai oleh sebuah teknologi, tetap ada tangan dan kecerdasan manusia yang membuatnya menjadi mungkin.
Oleh karena itu, daripada terus mengkhawatirkan masa depan distopia seperti yang digambarkan oleh film-film fiksi-sains, manusia juga harus terus berkembang dan berusaha meningkatkan kemampuan dirinya agar tetap dapat berdampingan dengan kecanggihan teknologi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H