Mohon tunggu...
Mussab Askarulloh
Mussab Askarulloh Mohon Tunggu... Editor - Sastra Indonesia

Menaruh perhatian pada budaya dan literasi, juga kesenian terutama sastra dan musik.

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Membayangkan Dangdut, dari Budaya Populer ke Gerakan Global

19 Februari 2021   22:58 Diperbarui: 24 Maret 2021   18:36 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agaknya pemerintah Indonesia harus mulai lebih serius lagi dalam berinvestasi pada musik dangdut. Selain karena penggemarnya yang kini mulai beragam, dangdut juga berpotensi menjadi ujung tombak ekspansi budaya Indonesia ke mancanegara.

Begini. Barangkali kita perlu sedikit mencontek bagaimana cara Korea Selatan bisa menjadi raksasa budaya populer dunia hari-hari ini. Percaya atau tidak, sebelum tahun 1990an, masyarakat dunia belum terlalu banyak mengenal budaya Korea.

Sampai kemudian drama-dramanya meledak di pasaran internasional menjelang akhir 90-an, kemudian disusul dengan boyband, girlband, dan lain-lainnya. Ledakan besar budaya populer Korea ini kemudian kita kenal dengan istilah Korean wave.

Sejak itu, dunia menjadi gandrung dengan segala hal tentang Korea. Terutama sekali negara dengan tingkat konsumtivitas tinggi seperti Indonesia. Hebatnya lagi, selain menyukai drama dan oppa-oppa boyband, masyarakat Indonesia juga mulai menggandrungi kebudayaan-kebudayaan utamanya, seperti makanan, pakaian, mode, dan bahasa.

Tidak sampai di situ, demam Korea ini pelan-pelan juga telah meningkatkan hasrat masyarakat Indonesia untuk datang ke Korea, terutama Seoul. Sebuah penelitan mengungkapkan bahwa wisatawan dari Indonesia meningkat setiap tahunnya di Seoul. Hal ini sampai membuat pemerintah Korea mempersiapkan penyambutan secara lebih serius dengan cara membangun tempat-tempat ibadah bagi umat muslim serta memperbanyak restoran-restoran berlabel halal.

Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa serial drama dan musik-musik Korea telah membantu mendongkrak eksistensi mereka ke atas panggung dunia. Melalui produk-produk budaya populernya, Korea mampu membius masyarakat dunia untuk terus mengonsumsi, dan selanjutnya mencintai, budaya mereka. Di tengah zaman ekonomi perhatian seperti saat ini, eksistensi adalah komoditas penting.

Lalu, selain bahwa semua fakta di atas pasti juga sudah Anda ketahui, apa hubungannya dengan dangdut?

Sabar.

Indonesia perlu sedikit mencontoh Korea dalam berinvestasi pada produk-produk budaya populer. Mungkin kita sering mendengar berita-berita tentang kebudayaan Indonesia yang sudah mendunia, seperti angklung, batik, wayang, tari-tarian, dan sebagainya, serta bagaimana kebudayaan-kebudayaan tersebut tampil di festival-festival kebudayaan di luar negeri. Tentu saja itu sangat membanggakan, namun itu saja belum cukup.

Yang jarang disadari, justru kita masing sering terjebak dalam konsepsi tentang "hanya" memamerkan eksotisme Indonesia saja. Jika terus demikian, dunia hanya akan memandang Indonesia sebagai sebatas bangsa dengan kebudayaan eksotis yang sesekali perlu "diapresiasi" dan "dilestarikan". Padahal, Indonesia mampu menjadi lebih dari itu.

Seperti halnya Korea Selatan, Indonesia juga perlu memamerkan produk budaya populernya ke tengah panggung dunia agar bisa mendapatkan lebih banyak perhatian. Untuk itu, kita membutuhkan suatu produk budaya yang ringan, populer, disukai banyak kalangan, serta yang juga tidak kalah penting, tetap memiliki ciri otentik Indonesia. Dangdut adalah sebuah paket lengkap untuk hal itu.

Dangdut adalah genre musik yang cair dan merakyat. Terutama hari-hari ini. Dangdut kini tidak lagi hanya menggetarkan hajatan-hajatan di kampung, melainkan juga masuk ke klab-klab fancy ibukota. Penikmatnya bukan lagi hanya bapak-bapak paruh baya dan pemuda-pemuda ormas, melainkan juga anak-anak muda milenial.

Musisi dangdut "kekinian" seperti Feel Koplo dan NDX AKA, misalnya, mampu membawa penyegaran terhadap atmosfir musik dangdut, serta memboyongnya ke tengah-tengah skena anak muda yang tidak banyak tersentuh sebelumnya.

Belum lagi bicara soal jagoan-jagoan koplo dan campursari seperti Denny Caknan atau Didi "The Godfather of Broken Heart" Kempot almarhum. Meskipun tetap ada pro-kontra soal kemurnian dangdutnya, mereka telah turut memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap peningkatan penikmat musik dangdut di kalangan anak muda.

Selain itu, dangdut juga merupakan musik yang ringan. Irama dan hentakan gendangnya yang magis tentu mampu menarik minat masyarakat dunia untuk ikut berjoget, bahkan tanpa perlu memahami lagu atau arti dari lirik yang dibawakan.

Dari sisi keotentikan, mulanya dangdut memang musik orkes melayu yang banyak terpengaruh oleh musik-musik India dan Timur Tengah. Namun, seiring waktu dangdut sudah mulai merumuskan dan menemukan bentuknya sendiri yang, jika boleh dibilang, sangat Indonesia.

Belum lagi dari sisi spiritualitasnya. Nah, ini yang sangat tidak kalah penting. Bagi sebagian orang Indonesia, musik dangdut merupakan sarana terapi atas tragedi patah hati. Ia mengusung semangat kebangkitan diri atas keterpurukan akibat berbagai masalah percintaan.

Meski lirik-liriknya banyak berisi gubahan rasa duka dan kehilangan, irama dan hentakannya akan tetap menyuntikkan energi bagi tubuh untuk terus bergerak dan bangkit (baca: joget). Dangdut adalah penerapan yang paling paripurna atas konsep happy-sad di dalam musik. Bagi para sadboi dan sadgirl nusantara, sabda yang mereka pegang teguh adalah "patah hati lebih baik dijogeti".

Bayangkan jika pesan ini sampai kepada sadboi dan sadgirl di seluruh dunia. Bagi para sobat patah hati di luar sana, yang sudah capek terus-terusan menguras air mata sambil memutar ulang lagu-lagu Adele atau Taylor Swift, joget dangdut bisa menjadi alternatif meditasi. Jiwa-jiwa yang terluka bisa mendapatkan penyaluran emosi sekaligus semangat kebangkitan di saat yang bersamaan.

Jika sudah begitu, dangdut bukan lagi sekadar genre music. Ia sudah menjadi sebuah movement. Kedudukannya akan sejajar dengan gerakan-gerakan mendunia lainnya seperti rastafarian atau kaum hippies.

Saat ini dangdut sedang mendapatkan momentumnya. Karena itu, tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda. Sejujurnya saya juga kurang begitu paham sejauh mana pemerintah sudah melakukan pengkajian terhadap dangdut. Namun, kita semua boleh berharap agar pemerintah dapat segera merumuskan strategi yang tepat untuk membawa dangdut ke atas panggung dunia.

Jika hentakan gendang dangdut sudah merasuk ke dalam sendi-sendi masyarakat dunia, produk-produk kebudayaan yang lain seperti bahasa, makanan, atau pariwisata akan dengan mudah mengikuti. Jika budaya populernya sudah banyak diminati, dunia akan dengan senang hati mengenal dan mempelajari produk-produk kebudayaan kita yang lain.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun