DINAMIKA informasi pada pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 semakin tinggi. Jauh lebih tinggi dari Pemilu 2019 lalu, apalagi bila dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelum itu.
Apa yang membuat dinamikanya demikian tinggi? Kini sudah zaman digital. Media sosial (medsos) berkembang begitu pesat, memasuki semua lini kehidupan.
Dengan media bebasis jaringan internet itu, semua orang bisa terlibat menyebarluaskan informasi, terlepas dari apakah informasinya terverifikasi atau tidak, memenuhi standar informasi untuk massa atau tidak. Hampir semua orang menjadi penyebar informasi untuk dirinya sendiri. Ada juga yang memproduksi informasi untuk orang banyak.
"Di sinilah masalahnya. Dari banyak temuan, sajian informasi di medsos itu sering bermuatan misinformasi dan hoaks. Datanya terkadang tidak memadai, sehingga cenderung tersaji sepotong-potong yang muaranya adalah kekeliruan memahami dan menyikapinya. Medsos jadi tempat empuk dan strategis dalam menyebar hoaks atau kabar bohong," kata Aidil Ikhlas.
Aidil adalah ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Padang. Dia mengatakan hal itu, Selasa (15/11) malam, saat memberi sambutan pada kegiatan Pelatihan Jurnalis untuk Informasi Pemilu 2024 yang Sehat, Berimbang, dan Inklusif.
Kegiatan pelatihan itu dilaksanakan di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat, diselenggarakan atas kerjasama AJI Padang, Asosiasi Media Siber Indonesia (ASI) Sumbar, dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Menurut Aidil, agar tampil sebagai pioner penyaji informasi untuk publik, terutama sajian berita-berita pemilu, jurnalis memang harus senantiasa meng-ugdate informasi terus-menerus, agar dapat membuka cakrawala baru, terutama terkait dengan hak-hak demokrasi rakyat.
Selain karena serbuan informasi yang demikian gencar melalui medsos, AJI Padang juga tidak menafikan, ada pula media dan jurnalis yang gagal bersikap independen dalam pemberitaan pemilu.
"Ada juga jurnalis yang jadi calon anggota legislatif atau tim sukses peserta pemilu. Ini sangat rawan dalam upaya menegakkan independensi jurnalis dalam meliput pemilu," tegasnya.
Hal yang sangat miris, sebagaimana terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya, ada pula jurnalis yang turut menyuarakan suara pecah belah melalui medsos. Di medsos itu pula, sesama jurnalis 'bertengkar' terkait jagoan masing-msing. Ikut menyebarkan hoaks dan terlibat share-share yang tidak terverifikasi.
Padahal dalam pemilu, ujarnya, verifikasi informasi dan penyebarluasannya melalui media massa, haruslah dilakukan secara berlapis dan standar kerja yang ketat.