SEORANGÂ dosen muda beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan ke depan ruangan. Dia langsung tunjuk tangan, tangannya mengambil microphone, begitu moderator menyerahkan waktu kepada saya. Pagi itu, sedang berlangsung workshop kepenulisan yang pesertanya adalah dosen-dosen muda peminat dunia menulis.
Sebenarnya, mereka sudah menulis sejak masih mahasiswa. Beragam karya tulis telah dihasilkannya. Ada makalah, skripsi, tesis, dan desertasi. Ada juga yang kemudian menulis artikel untuk diterbitkan jurnal kampus. Semua bentuk tulisan tersebut, tentu dikemas dalam rentang waktu yang panjang. Butuh riset pustaka, diskusi, dan kadang-kadang juga seminar.
Jenis karya tulis seperti itu jelas 'tidak laku' bila dikirim ke redaksi media massa; baik yang bercetak maupun elektronik dan online. Media massa ditujukan untuk orang banyak, lintas profesi dan status sosial. Artinya, karya tulis dengan kajian-kajian tinggi, berat-berat, dan sarat istilah teknis takkan dilirik oleh media massa.
"Bagaimana caranya menulis untuk media massa itu? Saya sudah lama ingin menulis, tapi gak jadi-jadi juga," sebutnya mengajukan pertanyaan, setelah sedikit berbasa-basi sebagaimana layaknya orang sedang menegakkan etika protokoler yang sudah jadi tradisi.
Saya sebenarnya tidak sedang mengulas teori Menulis Efektif, tapi secara spesifik materi yang diberikan pihak penyelenggara sebuah kampus perguruan tinggi negeri di Sumatera Barat itu adalah Menulis Feature. "Ibu tidak akan pernah menghasilkan karya tulis,, meskipun hanya satu artikel, selagi ibu ingin menulis," jawab saya, sekaligus melakukan ice breaking untuk seluruh peserta.
Saya pun meneruskan, menulis itu dikerjakan, bukan diniatkan. Menulis adalah keterampilan, bukan ilmu. Setinggi apapun niat kita untuk menulis, kalau tidak dikerjakan, maka tidak akan pernah jadi-jadi. Sebanyak apapun buku referensi yang dibaca, kalau tidak dilatih dan dibiasakan, maka Anda takkan kunjung mahir.
"Kalau sudah trampil, biasa menulis, maka Anda bisa menulis buku yang akan menjadi referensi dalam menulis. Bukan pendekatan teoritis, tapi pendekatan praktis. Walaupun pengalaman saya ini masih bisa diperdebatkan, tapi janganlah habiskan waktu untuk berdebat. Setelah worksho ini, langsung sajalah menulis," jawab saya.
Materi yang diberikan pihak penyelenggara, belum juga saya singgung-singgung. Saya tahu, kalau para dosen itu langsung disuguhkan teknik feature yang baik, maka saya akan lelah dan kalah. Referensi mereka dari buku-buku jurnalistik dan teori menulis yang ditulis banyak profesor, pasti  sudah mereka lahap sejak masih di kampus. Di perpustakaan kampus itu, tidak sedikit pula buku-buku bertema itu tersusun rapi di rak.
Tapi, maaf, mereka itu hanya berada di tahap menguasai ilmu, membaca teori-teori tinggi tentang cara menulis artikel, tapi tidak pernah melahirkan satu artikel pun. Walau hanya satu, yang berhasil menembus meja redaktur opini lalu kemudian diterbitkan diterbitkan media massa.
Kembali saya ingatkan, jangan pernah berniat ingin menulis, tapi jadilah orang yang menulis untuk menghasilkan artikel atau feature. Ibarat melintasi jalan dan mengendara dari Kota Padang Panjang menuju Batusangkar. Anda tidak akan mahir menaklukkan medan jalan yang menanjak dan berliku, bila Anda tak pernah melintasinya, meskipun banyak teori tentang cara mengendara di tanjakan dan tikungan.
Rumusnya, ya itu tadi, membiasakan menulis, bukan berniat untuk menulis. Tulis saja dulu, lalu kemudian dibaca lagi sambil melakukan editing.
Jangan merendahkan karya tulis Anda dengan menyatakan, "Artikel saya jelek", sedangkan para pembacanya belum menjatuhkan sikap tentang artikel Anda itu, apalagi memvonis dan menghukumnya.(musriadi musanif)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H